Anies menghentikan reklamasi, menyegel bangunan di atasnya, lalu belakangan terbitkan IMB properti-properti yang sudah dibangun di sana. Ada apa?
Ini preseden bagus untuk bisnis. Uruk dulu sambil urus Amdal-nya. Lalu mulai pasarkan unit propertinya sambil mulai bangun. Soal IMB bisa diurus belakangan. Akan ada drama sebentar soal moratorium dan penyegelan bangunan tak ber-IMB. Tapi IMB akan keluar juga.
Beberapa malam lalu saya masuk ke sana dan melihat baliho: “Di sini akan dibangun dealer bla-bla-bla”. Artinya akan ada bangunan baru mengikuti bangunan-bangunan lama yang “sudah kadung ada”.
Pergub terkait kegiatan reklamasi memang sudah dicabut oleh Gubernur Anies, tapi pergub pemanfaatan pulau palsu yang kadung ada itu masih meneruskan warisan Gubernur Ahok.
Ini mirip kisah reklamasi Teluk Benoa, Bali. Yudhoyono dan Jokowi boleh beda kubu, tapi perpres reklamasinya jalan terus. Ahok diganti Anies, tapi pergub-nya dipakai terus.
Kisah reklamasi Teluk Jakarta ini seperti sinetron. Persis hari ini tahun lalu saya menulis bagaimana perubahan sikap para aktornya:
Aktivis yang mendampingi warga melakukan gugatan hukum, dan bahkan secara simbolis ikut menyegel Pulau G, sudah masuk Istana. Mungkin berjuang dengan caranya sendiri. Mungkin juga tidak.
Menteri Koordinator Kemaritiman yang menyerukan moratorium reklamasi diganti dengan Menko baru yang jauh lebih bersemangat melanjutkan reklamasi dengan mencabut moratorium.
Gubernur DKI pendukung reklamasi yang menandatangani Pergub Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E dua hari sebelum cuti kampanye, telah kalah dan digantikan gubernur baru yang tampaknya tak banyak berkutik karena proyek ini sudah melibatkan Presiden dan dikunci kanan kiri. Belakangan ia menyegel bangunan di pulau yang tak ber-IMB, tapi lalu mengeluarkan Pergub yang isinya tak menggambarkan semangat membatalkan reklamasi.
Padahal menolak reklamasi dan penggusuran adalah salah satu isu utamanya dalam kampanye.
Masih segar dalam ingatan saat debat calon presiden lalu. Isu reklamasi sama sekali tidak dibahas. Meski ada pembahasan tentang kemaritiman, isu reklamasi seolah jadi barang berbahaya, siapapun bisa kena “gebuk”. Padahal ada 42 titik proyek reklamasi di sekujur Indonesia dan menyangkut nasib 747 ribu keluarga yang hidup di pesisir.
Jokowi sangat beruntung punya lawan debat Prabowo, yang hampir tak punya amunisi apapun selain retorika-retorika yang diulang-ulang sejak 2009 (sebagai calon wakil presidennya Megawati).
Retorika Prabowo tak jauh dari kemandirian, kebepihakan pada rakyat, dan –tentu saja– “nasionalisme anti-asing”. Tapi tak ada konsep turunan dari narasi besar itu.
Orang sudah tahu dan hafal bunyi pasal 33 UUD 1945 yang sering dikutip Prabowo. Soeharto pun 32 tahun berkuasa dengan pasal itu. Begitu juga dengan Jokowi.
Yang ingin didengar orang adalah bagaimana pasal itu diterjemahkan dalam kebijakan yang operasional dalam hal ini reklamasi di berbagai tempat di Indonesia.
Reklamasi adalah salah satu bentuk pengkhianatan pada pasal 33 konstitusi kita yang agung. Laut sebagai kawasan publik, hak semua makhluk hidup dari ekosistem hingga nelayan atau petambak garam, dikonversi begitu saja menjadi milik privat, yang sebagian besar untuk kepentingan ekspansi properti.
Tak ada lagi semangat “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Setelah diuruk, semua yang pernah hidup di sana harus tumpas atau menyingkir.
Jokowi beruntung punya lawan Prabowo yang tak memberikan perlawanan apa-apa saat ia menyatakan tak pernah membagi-bagikan tanah kepada pengusaha besar, padahal faktanya ia memberikan sertifikat pulau reklamasi di Jakarta, yang membuka peluang para gergasi properti tak kehilangan kesempatan mengelola hasil urukan yang bermasalah itu.
Ia juga meneruskan rencana reklamasi Teluk Benoa di Bali dengan tak kunjung mencabut Peraturan Presiden yang diterbitkan SBY, enam bulan sebelum ia lengser. Menterinya bahkan menerbitkan Izin Lokasi yang baru.
Dalam hal retorika, untuk isu maritim, Jokowi tak kalah menggelegarnya dengan Prabowo. Dari jargon “poros maritim dunia’ sampai “sudah lama kita memunggungi laut dan teluk”.
Bagi mereka yang jeli, dalam debat itu kedua capres sama-sama mengindari menyinggung kepentingan tiga bisnis besar: Kelapa sawit, batu bara, dan properti.
Mungkin mereka merindukan peta Indonesia seperti di zaman es, dan ingin terus menguruk laut sampai Sumatera, Jawa, dan Kalimantan bersatu kembali seperti 75 ribu tahun silam. Bayangkan, berapa kapling yang bisa dijual di atasnya. Dan berapa partai, caleg, atau capres yang bisa diongkosi dari sana.
Presiden yang saat dilantik mengatakan “kita sudah terlalu lama memunggungi laut” dan pernah menyampaikan pidato kemenangannya di atas kapal Phinisi di pelabuhan tradisional Sunda Kelapa, telah memberikan sertifikat pulau reklamasi. Dan ia bahkan hendak melindungi investasi swasta itu dengan tanggul raksasa yang sebagian akan diongkosi dari pajak publik.
Dalam proses hukum, apa yang sudah dimenangkan warga, dikalahkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. KPK yang telah melakukan gebrakan luar biasa dengan menangkap politisi dan pengembang yang terlibat suap, belum mengembangkan kasusnya lebih jauh. Pengusaha kakap yang pernah dicekal, tak terdengar lagi kelanjutannya.
Benar kata peneliti dan pegiat masalah perkotaan, Elisa Sutanudjaja, kasus reklamasi Teluk Jakarta adalah gambaran kekacauan semua sendi kehidupan kita sebagai bangsa: hukum, ekonomi-bisnis, politik, sosial, dan lingkungan.