Pergantian tahun menuju 2020 dirayakan dengan cuaca ekstrem di penjuru kota. Curah hujan dengan skala tinggi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah menimbulkan luapan banjir di mana-mana. Tak terkecuali di ibukota Jakarta yang mengundang pro dan kontra.
Banjir dan kemacetan adalah dua masalah utama yang menghantui ibukota. Semua gubernur yang menjabat selalu dihadapkan pada tantangan bagaimana mengatasi persoalan menahun yang tak kunjung terurai. Sejumlah inisiatif dan terobosan dilakukan untuk menyelesaikan satu per satu.
Seperti kritik Dandhy Dwi Laksono dalam video dokumenter terbarunya Jakarta Kota Air, ibukota yang dulunya bernama Sunda Kalapa memang daerah tangkapan air berupa rawa-rawa. Toponimi ibukota banyak mencirikan hal tersebut, seperti Rawa Buaya, Rawamangun, Rawasari, dan sebagainya.
Bukan hanya di era modern saja banjir jadi masalah, sejak Belanda mendirikan benteng pertama di Pasar Ikan sudah Jakarta sudah banjir. Belanda menyiasati dengan membangun sistem kanal banjir serupa seperti yang dibangun di negeri asalnya nun jauh di Eropa.
Persoalannya, iklim di negeri tropis tidak bisa serta-merta disamakan dengan negeri di belahan bumi dengan empat musim. Proses hidrologis berupa penguapan air berlangsung lebih masif, dan dikembalikan ke bumi dalam bentuk curah hujan dengan volume besar.
Pada sejumlah masyarakat tradisional, konstruksi bangunan didesain untuk mengantisipasi banjir dengan mendirikan rumah panggung. Rumah-rumah modern sebagian besar berupa rumah tapak, yang tentu saja rentan terhadap banjir.
Karena itu mengalirkan air lewat sungai, kanal, hingga drainase jadi sangat penting. Secara teknik, semua saluran air seharusnya dirancang untuk bisa menghadapi debit air maksimal. Dalam kenyataan, tekanan populasi dan urbanisasi membuat sungai-sungai menyempit dan hunian memenuhi bantaran.
Banyak daerah tangkapan air beralih fungsi menjadi daerah perumahan atau properti lainnya. Banjir besar yang melanda Pondok Gede Permai (Bekasi) dan Villa Nusa Indah (Bogor) salah satu fenomenanya. Padahal perumahan ini berupa cekungan dan persis di titik pertemuan sungai Cileungsi dan Cikeas.
Aspek kelembagaan birokrasi dan leadership eksekutif turut menyumbang pada kompleksitas persoalan. Jakarta sebagai ibukota negara terbagi kewenangannya antara pemerintah pusat dengan DKI, ditambah pula fenomena urban sprawl atau melebarnya kawasan megapolitan Jabodetabek.
Perdebatan antara normalisasi ataukah naturalisasi mencerminkan ketegangan birokratik sekaligus nuansa politik. Sejatinya tidak penting betul metode mana yang akan dipilih, yang penting dikerjakan sehingga terwujud hasilnya, tidak berhenti sebatas wacana atau kata-kata belaka.
Pembangunan juga bukan sukses pribadi tokoh A atau B semata. Masterplan penanganan banjir berupa banjir kanal sudah dibuat sejak awal Orde Baru, tetapi baru tuntas pada masa Bang Yos dan Foke. Selalu ada kesinambungan pekerjaan, tapi lagi-lagi yang penting ada pada kemampuan mengeksekusi program.
Dalam hal ini dibutuhkan koordinasi dan sinergi antara berbagai pihak, baik pusat maupun DKI serta kota-kota penyangga. Barangkali ini yang dimaksudkan oleh Jokowi ketika mengatakan bahwa banjir akan lebih mudah diatasi setelah menjadi presiden. Harus ada kerja bersama, tak hanya kata-kata.
Celakanya, yang terjadi masing-masing seperti jalan sendiri-sendiri. Simpang siur informasi soal penyebab banjir menjadi buktinya. Gubernur DKI Anies Baswedan mengklaim semua pompa berfungsi dengan baik, tetapi dari hasil survei yang dilakukan tim Kementerian PUPR mengatakan sebaliknya.
Ironisnya, pernyataan Anies bahkan dibantah oleh bawahannya sendiri Walikota Jakarta Barat, Rustam Effendi. Diakui bahwa pompa air mengalami kerusakan, selain persoalan drainase dan jebolnya tanggul. Anies sendiri menyebut tidak ada tanggul yang jebol, hanya retak-retak saja.
Demikian pula dengan permintaan Anies agar bupati Bogor Ade Yasin mengendalikan “banjir kiriman”. Penelitian LIPI justru menunjukkan bahwa banjir baru-baru ini di Jakarta lebih banyak disebabkan hujan lokal yang ekstrem alih-alih kiriman dari daerah hulu.
Rencana DPRD DKI untuk membentuk Pansus Banjir juga harus didukung, sebagai upaya untuk memperjelas informasi untuk penanganan banjir. Pansus diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dan tidak melebar kepada persoalan politik yang menimbulkan keriuhan di tengah masyarakat.
Yang tidak kalah penting adalah menguatkan solidaritas antar-warga dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Mengingat berbagai prediksi cuaca ekstrem masih akan terus berlanjut beberapa waktu ke depan. Begitu pula dengan kesadaran untuk menjaga lingkungan demi mencegah perubahan iklim.