Tahukah antum kenapa Muhammadiyah disebut organisasi modern kala itu? Sebab banyak pikiran dan gagasan Kyai Dahlan melawan jumud, melawan kebodohan, melawan kekolotan. Karenanya banyak gagasan Kyai Dahlan melawan tabu, melawan tradisi, dan melawan kelaziman.
Kyai Dahlan menterjemahkan al Quran meski sebagian ulama tradisional takut maknanya berubah. Membangun sekolah dengan sistem klasikal, menggunakan kapur dan papan tulis, meski kemudian disebut tasyabuh, karena mirip sekolah paroki. Carl Whyterington menyebut bahwa Kyai Dahlan bukan ulama biasa, tapi sekaligus juga seorang ’pragmatikus’ agama yang gigih dan ulet’.
Kyai Dahlan melakukan pembaharuan pemahaman Islam— Ir Soekarno menulis artikel yang sangat bagus berjudul ‘memudakan pemahaman Islam’ sebab umat Islam saat itu telah lunglai, lusuh dan kalah, karena pemahaman yang kolot, jumud dan tradisional. Bahkan beberapa malah terpapar paham Jabbari— sikap nrimo ing pandum. Dan menjadikan agama tak lebih sebagai media ritual kematian. Fachri Ali menyebut ‘Islam yang masuk ke Indoenesia adalah Islam yang sudah terkalahkan’.
Di mana-mana umat Islam mengalami kekalahan, karena jauh dari al Quran, jauh dari as Sunah. Al Quran hanya di hapal tapi tak paham maksud. Kyai Dahlan memulai dengan surat al Maaun, tidak hanya dibaca atau di hapal, tapi dipahami kemudian di amalkan.
Ini gerakan pembaharuan pertama— cara baru, sistem baru dan strategi baru di luar mapan—para ulama terkesima, banyak yang kaget dan beberapa melawan. Teologi al Maaun adalah teologi pembebasan. Pembebasan dari jumud, eksklusif, kolot, fanatisme dan kebodohan massal.
Kyai Dahlan terinspirasi gagasan Syaikh Abduh dan muridnya Syaikh Rasyid Ridha: al Islam mahjubun bil muslim. Ini kata pendek, tapi cukup menjadi pengingat bahwa gerakan Muhammadiyah adalah pemodernan. Kembali pada al Quran dan as sunah—bukan kembali ke masa lampau dalam pengertian yang leterljick.
Al Islam ya’lu wa la yu’la alaih dipahami positif, sebagai kemuliaan dan ke anggunan ajaran Islam yang mulia. Islam itu melebihi dari peradaban apapun di dunia. Thaha Husein memberi catatan menarik bahawa kekalahan umat Islam lebih di karenakan tiadanya pemahaman umat Islam atas kesadaran kemuliaan Islam, sebab Islam sering dimaknai bukan sebagai ajaran hidup”.
Tapi bagaimana jika fenomena ortodoksi pemikiran Islam dikalangan ulama dan aktifis Persyarikatan adalah seperti pendulum—atau mungkin saja dua arus besar pemikiran sedang bersaing berebut dominan.
Setelah hampir satu abad modern, kini balik kembali ke awal. Risign ke titik nol— saat di mana umat Islam belum mengenal Muhammadiyah? Bukankah kegelisahan ini makin nampak terlihat, dalam relasi-relasi keberagamaan, baik internal atau eksternal yang ditampakkan? Adanya semacam gejala pengerasan dan kejumudan.
Di atas semua itu, saya sangat yakin bahwa Muhammadiyah punya daya imun yang sangat kuat, menetralisir pikiran-pikiran yang singgah sementara, dan merubahnya menjadi sebuah kekuatan baru. Sebab Muhammadiyah bukan Persyarikatan biasa.