Sabtu, April 27, 2024

Apa Salah Intelektual di BPIP Dibayar Mahal?

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.

Di Indonesia, seorang intelektual diminta untuk hidup melarat. Ia haram menjadi makmur. Pemikir seperti Ahmad Syafii Maarif, Yudi Latief, atau Said Aqil Siroj menjadi pendosa saat ia dibayar layak.

Polemik bayaran tinggi pengurus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) jadi sorotan. Di tengah penghematan dan pengetatan anggaran, mengapa presiden membayar mahal sebuah unit kerja? Ya, ini reaksi wajar, karena toh selama ini kita tak pernah menganggap profesi intelektual atau pemikir sebagai pekerjaan yang layak dibayar mahal.

Padahal beberapa dari kita mengutuk artis yang dibayar sangat mahal, hanya untuk menurunkan mutu nalar warga melalui tayangan bobrok. Beberapa dari kita demikian keras mengonggong, memberi cap, bahwa kualitas pembuat konten di Youtube tak lebih baik dari berak babi, karena hanya mengejar sensasi.

Tapi kan artis-artis itu tidak dibayar dengan uang pajak?

Benar. Yang dibayar dengan pajak adalah anggota dewan dengan gaji tinggi beserta segala fasilitas untuk kemudian tidak hadir saat pembahasan undang-undang. Ini adalah contoh buang uang dengan menggunakan pajak. Tapi tentu BPIP lebih seksi untuk dijadikan pro-kontra. Di sisi lain ada guru honorer yang mendidik puluhan tahun tanpa gaji layak, atau dosen-dosen dengan pengabdian serius yang penelitiannya dianggap kurang penting karena tak mendukung industri juga dibayar pakai uang pajak.

Masalahnya: Intelektual di Indonesia tak pernah jadi profesi penting. Berbeda dari para artis penghibur. Ini kenapa Presiden SBY lebih suka bikin album daripada menuntaskan masalah HAM yang perlu berpikir. Kita kaget, gagap, dan tidak bisa menerima ada orang yang dibayar mahal untuk merumuskan ide, membuat kurikulum pemikiran, dan menyusun paradigma moral.

“Kok bisa orang-orang yang hendak membuat kebijakan pendidikan Pancasila dibayar demikian mahal,” katanya.

Mungkin, mereka lebih suka menerima seorang artis dibayar puluhan juga sehari untuk berjoget di depan televisi, atau seorang pembuat konten Youtube yang hobi memaki-maki dibayar ratusan juta. Tapi kan mereka enggak dibayar pajak ….

Iya, mereka enggak dibayar pakai pajak. Tapi kalau ada ustadz dibayar mahal buat kampanye bunuh orang atau membunuh Ahmadiyah, kita nggak protes mereka dibayar pakai pajak atau enggak, tapi soal profesionalitas, integritas, mutu konten, dan pekerjaannya.

Jika melulu sumber upah yang dipersoalkan, saya punya proposal lain. Bolehkah seorang presiden dibayar ratusan juta sebulan oleh perusahaan untuk jadi komisaris? Bukankah ia dibayar pakai uang korporasi? Jadi masalah karena itu soal integritas, profesionalitas, dan etik. Tapi ini bisa kita bahas di tulisan lain.

Sebenarnya apa yang kita kritik dari sebuah profesi yang dibayar mahal? Apakah karena ia tak mahir dan dibayar berlebihan? Apakah karena pekerjaannya terlampau ringan dan ia seharusnya mengerjakan yang lebih berat? Atau karena kita tidak suka orang itu melakukan pekerjaan yang semestinya dilakukan yang lebih ahli?

Kita jelas kesal kepada orang yang dibayar mahal tapi tak melakukan apa-apa. Yang kita benci bukan pekerjaannya, atau upahnya, tapi fakta bahwa seseorang yang dibayar mahal untuk pekerjaan yang tidak layak dibayar sama sekali. Di sini intelektualitas semestinya jadi penting dipahami. Orang dibayar karena keilmuan, integritas pengabdian, atau kepakaran, bukan karena pangkat apalagi karena anak mantan presiden.

Yudi Latief itu penulis dan penelaah pemikiran Pancasila yang brilian. Bukunya, Negara Paripurna, demikian fasih menjelaskan sejarah, relevansi, dan aktualitas Pancasila saat ini. Said Aqil Siroj dan Buya Syafii Maarif punya rekam jejak panjang terkait toleransi, keberagaman, dan kerukunan antarumat beragama sebagai pengamalan Pancasila. Lantas masalahnya apa?

Alih-alih mengkritik kepakaran, kemampuan bernalar, atau profesionalitas seseorang dalam sebuah pekerjaan, kita mengkritik upah yang demikian besar untuk merumuskan pemikiran. Maka tidak salah jika kemudian intelektual Indonesia lebih memilih berkarier di negeri orang. Selain karena dianggap tidak tahu diri bila menerima bayaran tinggi, kegemaran kita berkomentar pada suatu hal lebih mirip borok daripada obat.

Susah benar jadi intelektual di Indonesia.

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.