Jumat, Oktober 11, 2024

Indonesia, Negara Demokrasi yang Tak Pernah Demokratis

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.

Tak lama lagi masyarakat Indonesia akan berbondong-bondong menghampiri kotak suara. Hal ini lumrah, mengingat masih banyak orang di negara ini yang menganggap bahwa Pilpres 2019 adalah penentu hajat hidupnya. Artinya, 2019 (dianggap) menjadi tahun penentu, bagaimana nasib Indonesia selama lima tahun ke depan.

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa akhir-akhir ini masyarakat Indonesia ramai-ramai membicarakan perihal memilih untuk tidak memilih, alias Golput. Mereka yang meyakini bahwa Pemilu bukanlah sebuah solusi. Tak luput pula dari pandangan mata saya, status-status yang menggaungkan perihal demokrasi—mereka yang meyakini bahwa demokrasi dijalankan melalui coblos-mencoblos, memilih pemimpin untuk negeri ini.

Tahun lalu, pada Pilkada 2018, di tempat saya menempuh pendidikan tinggi, saya melihat sebuah spanduk. Pada spanduk tersebut, bertuliskan sebuah kalimat “Golput bukan solusi, ayo memilih”. Setelah membaca kalimat pada spanduk tersebut, saya bertanya pada diri saya sendiri; kalau Golput bukan solusi, lalu apa solusi yang sesuai untuk Indonesia yang ‘katanya’ menjalankan sistem demokrasi?

Sebagai pengguna media sosial, tentu saya juga tertarik untuk membahas hal ini. Sebelum beranjak terlalu jauh, mari kita lihat apa makna demokrasi, agar tulisan ini tidak menjadi konsumsi yang ahistoris.

Secara etimologis, demokrasi berasal dari Yunani. Demos yang berarti rakyat, dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Secara bahasa, demos-cratos atau demos-cratein memiliki makna pemerintahan atau kekuasaan rakyat. Konsep demokrasi lahir dari Yunani Kuno yang dipraktekkan dalam hidup bernegara, antara abad ke-4 SM hingga abad ke-6 M. Dengan konsep, untuk membuat keputusan-keputusan politik yang akan berpengaruh bagi warga negara, dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.

Pada penjelasan makna demokrasi secara etimologis, dapat saya simpulkan bahwa; jika bicara perihal demokrasi, maka harus bicara kedaulatan (seluruh) rakyat. Demokrasi adalah penghapusan kelas. Semua berdaulat, semua sejahtera, semua memegang kuasa. Demokrasi tidak diwakilkan.

Akhirnya muncul pertanyaan; lalu, sudah benarkah pelaksanaan demokrasi di Indonesia?

Aaah, kalau memang negara ini demokrasi, mengapa masih menggantungkan nasib kita sebagai warga negara untuk bagaimana lima tahun ke depan nanti? Kenapa banyak yang ketar-ketir dan memaki mereka yang kemudian menjadi Golput? Bukankah sebuah tindakan Golput merupakan reaksi dari gagalnya wujud demokrasi di Indonesia? Tak cukupkah menunjukkan kekecewaan pada rezim yang berkuasa hari ini dengan menunjukkan sikap politiknya?

Iya, memang, Indonesia itu demokratis. Melibatkan rakyat dalam keputusan. Keputusan untuk memilih pemimpin yang dilakukan lima tahun sekali. Sibuk menampilkan diri sebaik mungkin di depan rakyat, agar terpilih dan menjadi pemenang dalam kontestasi politik yang berbalut ‘demokrasi’.

Saya sendiri meyakini bahwa, selama pemerintahan masih diwakilkan oleh oligarki elit politik, tidak akan ada keputusan-keputusan politik yang memihak pada rakyat miskin. Tidak akan ada kesejahteraan bagi para buruh yang kian hari kian diperas tenaganya. Tidak akan terwujud reforma agraria sejati. Kemudian semakin sulit saja menjangkau pendidikan yang ilmiah. Semakin banyak pemandangan rakyat miskin kota yang sibuk mengais sisa-sisa makanan, pula dengan pemuda desa yang tak kerja dan berputus asa mengadu nasib di Ibukota.

Lantas apa solusinya?

Solusinya adalah rebut demokrasi sejati. Organisir dan perkuat massa rakyat agar memegang kuasa dan kedaulatan. Bukan lagi diwakili oleh oligarki elite politik yang sibuk mengeyangkan kelompoknya masing-masing.

Kalau setelah Pemilu masih ada pengemis yang meminta belas kasihan saat kamu sedang makan enak di warung makan, artinya Indonesia belum demokratis. Sesederhana itu, kawan.

Percayalah, untuk menjadi seorang yang demokratis, tidak melulu dan harus menjadi pemilih di Pemilu, tapi menjadi seorang yang terlibat di dalam perjuangan untuk merebut demokrasi sejati. Jadi, mari kita berjuang bersama(:

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.