“Dalam keadilan tidak boleh ada persaingan. Dalam persaingan perlu dicari titik keadilan”
Industri, di mana pun telah memaksa kapasitas manusia untuk melampaui zamannya. Begitulah sejarah pemikiran manusia tergores dalam peradaban dunia. Setiap orang atau kelompok berlomba untuk menghasilkan apa yang diyakini sebagai sebuah kebaruan. Tapi sialnya, sering pula selalu ada kaum mimikri yang dengan sigap mengambil kesempatan dibalik karya otentik.
Dalam masyarakat digital, seringkali sesuatu yang otentik dianggap tidak lagi relevan. Padahal, dalam sebuah keadaban, seorang yang menemukan sebuah gagasan ide ataupun sebuah teknologi dialah orang berilmu yang patut dihargai kontribusinya. Artinya, seorang penemu, pencipta atau pemikir adalah mereka yang memiliki otentisitas dalam kehidupan keseharian kita.
Sebagai seorang yang tinggal di kota super macet, tentu kita membutuhkan alternatif dalam menjalani aktivitas. Hal-hal seperti itu yang kerap menghambat lajur aktivitas kota, dengan begitu proses produktivitas juga menurun. Tulisan ini akan membahas seluk-beluk kehidupan kota dan sebuah apresiasi ide.
Berangkat dari sebuah perpindahan kehidupan yang tadinya menggunakan metode konvensional, hingga tergantikan oleh yang digital. Kita mulai dari sebuah perusahaan e-commerce yang dirintis oleh anak bangsa yang kita kenal Gojek. Mungkin banyak dari kita adalah pengguna atau penikmat keuntungan dari industri itu.
Kita kerap menggunakan fasilitas aplikasi itu, tanpa pernah menyadari bahwa dengan hadirnya bisnis berbasis teknologi seperti Gojek telah banyak melakukan perubahan fundamental. Bahkan perubahan-perubahan itu sedikit banyak merubah etos kerja masyarakat perkotaan.
Niat awalnya sederhana, seorang Nadiem Makarim dengan pengalaman pendidikan dan jaringannya yang dikeruk di negeri luar didedikasikan untuk sesuatau yang kita kenal dengan istilah “ojek”.
Tidak ada cerita yang pasti darimana kata itu bermuasal, tetapi sepertinya kata itu diserap dari sebutan obyek, yang diserap masyarakat “ngobyek”. Tentu kita tidak sedang membedah lingustik yang kemudian dikenal sebagai sebuah prosfesi ditengah masyarakat. Dan hampir semua dari kita yang tinggal di tengah kota, wilayah urban atau juga pedesaan pasti mengerti dan pernah menggunakan “ojek”.
Dalam konteks itu, seorang Nadiem melakukan lompatan diksi. Dari sebuah istilah serapan yang terputus dilontarkan menjadi sebuah perusahaan berskala Internasional.
Nadiem perlu dibaca sebagai seorang penemu, dia berhasil menemukan sebuah cara yang memperkuat ‘konektivitas’ masyarakat. Secara sosiologis, Gojek setidaknya berhasil menyerap potensi tenaga kerja. Bahkan kehadiran awal Gojek digadang-gadang sebagai sebuah lapangan pekerjaan baru.
Secara ekonomi, platform ini berhasil menghidupkan usaha kecil kaliberasi warung makan kecil untuk mendapatkan “kesetaraan” konsumen ditengah persaingan rumah makan besar. Sejatinya, azas-azas keadilan bekerja dalam sistem itu.
Niat baik tidak selalu berujung pada kebajikan pula, dalam dunia bisnis persaingan adalah keniscayaan. Tetapi, persaingan yang sehat adalah selalu menawarkan ide baru atau sebuah alternatif yang tidak dimiliki oleh salah satu pihak. Sebut saja Grab-Indonesia yang di inisiasi oleh investor asing, hadir sebagai salah satu pesaing dari Gojek.
Tidak ada yang salah dengan situasi itu, karena masyarakat sudah diperlakukan sebagai pasar dalam kacamata Grab-Indonesia. Tentu logika bisnis tidak salah, jika saja saat itu Gojek tergolong sukses dengan merintis transportasi online, mengapa Grab-Indonesia juga tidak mengambil market sharing itu.
Awalnya, Grab mulai merambah transportasi kendaraan bermotor yang menjadi core dari Gojek. Persaingan pun dimulai, para konglomerasi di Singapura un ikut tergiur. Membayangkan sebuah oligopoly pasar yang yang menjadi ladang uang mereka.
Tidak saja berhenti disitu, seketika kesuksesan Gofood juga di bebeki oleh program-program digital Grab. Hingga berujung pada perang harga disetiap took-toko makanan siap saji. Kita sama-sama saksikan dalam sebuah kedai kopi menawarkan ‘cash back’ beragam dengan upaya mengambil simpati ‘keuntungan’ kepada konsumen. Apa jadinya?
Dalam masyarakat yang begitu cepat dalam mengambil keputusan dan luasnya informasi, pesan dalam bentuk citra menjadi sangat menentukan. Ditengah masyarakat yang digital, jangan-jangan orang menggunakan sesuatu bukan karena merasa untung (benefit), tetapi karena mereka berhasil dipercayai oleh iklan bahwa sistem yang mereka usung adalah punya keuntungan lebih dari pihak atau komoditas lainnya.
Dengan posisi seperti itu, posisi iklan atau kampanye, maupun promo-promo menjadi salah satu ujung tombak untuk menyakinkan calon konsumen atau memperkuat konsumen yang sudah ada. Jangan salah, bentuk fitur dan efisiensi metoda pembayaran juga menjadi faktor penting bertambah atau berkurangnya konsumen.
Ketika kita masuk dalam wilayah kampanye, maka aka ada banyak catatan yang bermasalah. Dalam kacamata awam boleh jadi imitasi dibaca sebagai sesuatu yang lumrah. Kendati dalam sebuah bentuk pencapaian aktualitas, imitasi adalah problem utama. Karena, imitasi sejatinya bentuk rampasan kekayaan intelektual secara serampangan.
Lebih-lebih ketika imitasi itu dijadikan alat bantu membunuh dalam dunia persaingan bisnis. Ini adalah cikal-bakal bentuk persaingan yang berujung pada perendahan kualitas daya kreatif generasi muda.
Dalam pembacaan citra yang hendak disampaikan, pola-pola kampanye Grab begitu kentara mengandung unsur mimikri dari apa yang sudah dikaryakan oleh Gojek. Lagi-lagi, tulisan ini bukan dalam melangsungkan kerangka persidangan ide. Namun, ini bentuk sebuah protes warga media yang menolak bentuk-bentuk pembajakan gagasan demi alasan meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Sebagai kesimpulan awal, jika sebuah komoditas sejak awal sudah melakukan imitasi. Kita kembali bertanya lantas otentisitas sebagai sebuah gagasan yang baru apa? Apakah industri digital sudah membuat pekerja kreatif mati dan kehabisan ide?