Kalau ada sekumpulan orang yang mengaku ulama, tapi berniat mengalahkan kemasyhuran sinetron Cinta Fitri, mungkin merekalah yang sekarang paling getol menggelar Ijtima Ulama. Sampai saat ini episode Ijtima Ulama memasuki babak keempat.
Tiga Ijtima Ulama yang digelar rasanya tidak ada pengaruhnya apa-apa. Jauh lebih berdampak jika para anggota Karang Taruna rapat untuk kerja bakti di kampungnya.
Mulanya adalah orang yang hobi mengasong agama ikut terjun ke politik. Mereka tidak memasuki partai. Hanya mau berposisi sebagai kelompok penekan. Jualannya adalah jubah putih dan klaim tentang umat.
Jika politik membutuhkan fatwa agama, mereka siap menyediakan. Kalau politik membutuhkan apa saja, termasuk contohnya mengkafir-kafirkan, mereka juga punya paket lengkap. Jika politik membutuhkan masjid untuk memanipulasi, orang-orang model seperti ini sejatinya tidak lebih dari calo kampanye.
Jika calo kampanye menjajakan kepala rakyat yang diklaim sebagai rombongannya, orang-orang jenis ini menjajakan kepala umat untuk ditukarkan dengan kepentingan politik. Satu paket dengan embel-embel agama.
Jika diperhatikan, permainan ijtima-ijtimaan ini tidak lebih hanya merespons kepentingan Prabowo saja. Coba saja perhatikan. Ijtima Ulama I digelar sebelum kampanye presiden. Hasil dari Ijtima Ulama I itu merekomendasikan Prabowo sebagai calon presiden dan Abdul Somad serta Salim Segaf sebagai calon wakil presiden. Alasannya, Prabowo membutuhkan pendamping dari kalangan ulama.
Tapi, rupanya Prabowo ogah mengikuti seruan itu. Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno sebagai cawapresnya. Pertimbangannya apalagi kalau bukan soal dana kampanye. Sandiaga Uno yang banyak duit lebih enak diajak kerjasama untuk kampanye ketimbang Salim Segaf yang secara finansial hanya akan memberatkan saja.
Yang pasti, ditolaknya cawapres hasil Ijtima Ulama I oleh Prabowo mengindikasikan rombongan orang bersorban itu memang tidak punya kekuatan apa-apa. Prabowo bisa berjalan dengan agenda dan pikirannya sendiri, lalu para lelaki berdaster putih itu menyesuaikan diri dengan mencocok-cocokkan dalil demi kepentingan politik. Ya, namanya juga kongkow-kongkow ulama abal-abal. Jadi, hasilnya bisa direvisi, ditambal atau diubah. Sesuai dengan kepentingan politik mereka saja.
Dasar para pengasong agama, daripada kehilangan muka karena rekomendasinya diacuhkan oleh Prabowo, mereka menggelar lagi Ijtima Ulama II. Ini adalah Ijtima Ulama edisi revisi dari sebelumnya. Sebab, hasil sebelumnya ternyata tidak kompatibel dengan kemauan Prabowo. Hasil dari Ijtima Ulama II ini seperti mencoret hasil Ijtima Ulama I, lalu dibuatkan aturan tambahan. Sudah bisa ditebak, kali ini Ijtima Ulama menyetujui Sandiaga sebagai cawapres.
Inilah akibat rombongan politisi amatir pengasong agama itu sok-sokan punya usulan dan ide. Mau ijtima kek, mau fatwa kek, kalau Prabowo enggak setuju, terus mereka mau apa? Jadi, hasil ijtima yang harus menyesuaikan dengan kemauan Prabowo. Bukan Prabowo yang mengikuti para politisi berkedok ulama itu.
Lalu pemilu digelar. Hasilnya Prabowo-Sandi keok melawan Jokowi-Ma’ruf Amin. Seperti pemilu yang sudah-sudah, meskipun kalah telak, mereka tetap ngotot memenangkan pemilihan presiden. Kalau melihat dari ngototnya, memang wajar jika Prabowo bisa berdekatan dengan kelompok ijtima itu. Sama-sama tameng.
Selain menyebarkan narasi pilpres curang, Prabowo juga menggugat sampai ke Mahkamah Konstitusi. Nah, untuk menunjang kepentingan ini, Ijtima Ulama III digelar lagi. Hasilnya bikin sakit perut. Gerombolan itu meminta MK untuk menetapkan Prabowo-Sandi sebagai pemenang pilpres dengan mendiskualifikasi Jokowi-Amin. Entah, datang dari mana ide tersebut. Apa mereka piker pemilu yang melibatkan ratusan juta rakyat bisa seenak sorbannya saja dibatalkan hasilnya?
Ketika MK mengetuk palu memenangkan Jokowi-Amin, Komisi Pemilihan Umum juga telah menetapkan sesuai konstitusi. Di sinilah akal sehat mulai muncul di kepala Prabowo. Baginya, tidak ada gunanya terus-menerus melawan narasi pemerintah yang legitimate, sebab dia akan menjadi tertawaan dunia. Maka, luluhlah hati Prabowo.
Belum lama berselang ketua umum Gerindra itu bertemu dengan Jokowi di MRT. Pertemuan keduanya menandakan era pilpres sudah berakhir. Prabowo juga bertemu Megawati. Sepertinya, Prabowo sadar ia harus lebih mempertimbangkan akal sehat ketimbang mengikuti dorongan ulama abal-bal yang kerap membuat dia seperti tukang pukul untuk menghantam Jokowi. Menang engak, yang ada malah tambah babak belur.
Di sinilah orang yang mengaku ulama mulai keliatan belangnya. Di mana-mana ulama pasti akan senang jika dua orang yang berseteru kini menjalin tali silaturahmi. Sebab, silaturahmi adalah ajaran Islam yang hakiki. Agama tidak pernah mengajarkan permusuhan. Agama membenci orang-orang yang berselisih. Hanya setan dan para begundal saja yang suka melihat orang saling bertikai.
Nah, Ijtima Ulama IV yang digelar belakangan adalah respons ketidaksukaan gerombolan itu ketika Prabowo mulai turun tensinya. Para ulama abal-abal itu gerah, kenapa kok ada manusia bisa saling berangkulan padahal secara politik mereka berbeda. Para lelaki berdaster putih itu kaget bagaimana mungkin silaturahmi terjalin, padahal selama ini yang mereka hembuskan melulu soal permusuhan.
Ulama adalah mereka yang menganjurkan silaturahmi. Hanya setan yang suka dengan permusuhan.
Artikel terkait
Tommy Soeharto dan Islamisasi Oligarki
Obrolan Jokowi dan Prabowo di Gerbong MRT [Satire]