Dalam dunia pemikiran Barat, kita mengenal dua prinsip, yaitu monarki dan republik. Mereka memiliki struktur sosial yang berbeda. Sebenarnya, perubahan rezim dari monarki ke republik tidak banyak mengubah struktur sosial secara radikal. Dalam praktik dan aplikasi, keduanya mirip.
Dua prinsip pemerintahan tersebut, terjadi juga di Burma (Myanmar), dalam bahasa Jingphaw dikenal dengan Gumsa dan Gumlao.
Gumsa memahami bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang dipimpin/diperintah oleh pemimpin yang merupakan anggota keturunan aristokrat. Sedangkan Gumlao adalah kelompok yang menolak gagasan tentang perbedaan kelas/keturunan.
Gumsa menganggap Gumlao adalah orang biasa tanpa kelas yang memberontak melawan pemimpinnya yang sah. Gumlao menganggap Gumsa sebagai pribadi yang sombong.
Kedua kelompok itu mewakili pemikiran organisasi gang saling bertentangan, tetapi mereka sebenarnya berada di dalam budaya yang sama, yaitu budaya Kachin. Mereka berasal dari klan yang sama, berbicara dengan bahasa yang sama, secara mitologis dan historis saling mengkonversi satu sama lain.
Oposisi gagasan ini digunakan sebagai simbol permusuhan. Gumsa dan Gumlao dalam kehidupan bertetangga, biasanya menganggap satu sama lain sebagai musuh bebuyutan. Mereka menggunakan cerita tradisional tentang asal muasal Gumlao sebagai pembenaran untuk permusuhan mereka.
Ceritanya begini, dulu Kachin diperintah oleh seorang pejabat turun temurun yang disebut dengan Sawbwa (sao-hpa). Ia mewajibkan penduduk untuk mengolah tanahnya tanpa kompensasi dan dikenakan banyak pajak dan lainnya, pajak ini sangat memberatkan.
Pada tahun 1870 terjadi revolusi, mengarah pada pembunuhan dan deposisi sejumlah Sawbwa. Desa-desa yang sekarang tanpa Sawbwa adalah kelompok Gumlao (desa pemberontak), yang bertolak belakang dengan desa-desa lainnya yaitu Gumsa (desa yang memiliki Swabwa).
Gumsa, para pemimpinnya menganggap hubungan mereka dengan rakyatnya adalah hubungan antara tuan dan budak. Hal ini kemudian membenarkan pemberontakan bagi kelompok Gumlao. Sedangkan Gumlao menghdapi paradoks bahwa dalam bahasa, mereka terbagi pada kategori-kategori tertentu; Mayu dan Dama, walaupun secara politik mereka semua sama.
Jadi, Gumsa dan Gumlai merupakan sebuah pola struktur sosial yang berbeda, namum dalam praktik dan aplikasinya mereka saling terkait satu sama lain. Demikian.
Tulisan ini merupakan chapter highlight dari buku klasik E.R. Leach (Author), Raymond Firth (Foreword), Political Systems of Highland Burma a Study of Kachin Social Structure, Part III: Structural Variability, Chapter VI, 1967