Akhir pekan yang mewah ini telah membawa saya menyelesaikan satu buku karya Erich Fromm, You Shall be as Gods.
Bagi kalangan kutu buku dan aktivis era 80-90-an, Erich Fromm bukanlah nama yang asing karena beberapa karyanya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan sedikit-banyak mempengaruhi bagaimana mereka menghayati hubungan interpersonal antara diri dan kawan-kawannya sampai memahami realitas sosial, mengasah kritisisme untuk membongkar kemapanan struktur politik dan ekonomi pada landasan yang paling subtil: yakni tembok penghalang dan penjara bagi realisasi kesatuan, kehendak, dan pemerdekaan manusia.
Banyak para peminat karya-karya Erich Fromm (termasuk saya) pada awalnya dimulai dari kecele ketika menoleh satu karyanya, yakni The Art of Loving (Seni Mencintai), dikira buku ini adalah buku soal teknik merayu perempuan atau buku Kamasutra. Namun, ternyata ia buku filsafat mbulet. Toh, meskipun kecele, saya banyak bertemu teman gila baca yang menggunakan penjelasan Erich Fromm dalam The Art of Loving sebagai terapi hati kalau cintanya ditolak sama gebetannya atau diputus kekasihnya.
Hidup ini ibarat juru taman yang merawat kebun bunga. Juru taman tidak pernah memetik bunga, ia puas dengan merawat dan memberinya kehidupan. Esensi kehidupan adalah menjadi dan menumbuhkan, bukan memiliki yang hanya memuaskan keegoan personal. Untuk soal ini sepertinya Erich Fromm menjadi obat yang tidak kalah dengan Sobat Ambyar Sang Master Didi Kempot.
Tiga sumber mata air pengetahuan yang mengilhami pikiran Erich Fromm adalah Judaism, psikologi Freud, dan ekonomi-politik Karl Marx. Dua yang terakhir ini juga diadopsi oleh kawan-kawan Erich Fromm dari Mazhab Franfurt seperti Herbert Marcuse dan Theodore Adorno (mereka memiliki benturan pikiran dengan Fromm, khususnya terkait penafsiran atas Sigmund Freud).
Beberapa kalangan menafsirkan corak pemikiran Erich Fromm dengan istilah Freud-Marxism, sementara yang lain memahaminya sebagai radical humanism, dan saya lebih cocok dengan pemahaman yang terakhir.
Untuk memahami pandangan humanisme radikal dari Fromm, maka tidak bisa dilepaskan dari kerja tafsir hermeunetiknya atas tradisi religiusitas Yahudi melalui pembacaan atas Torah dan Talmud.
Jadi, Erich Fromm ini juga lahir dan dibesarkan dari keluarga Yahudi Rabbi; dari pihak ibunya adalah keturunan Rabbi kondang Seligman Bar Bamberger dan pakliknya adalah Ludwig Krause, pemberi syarah kitab-kitab Talmudik ternama di kawasan Eropa.
Pendeknya, Erich Fromm ini kalau dalam tradisi kyai bisa dikatakan sebagai Gus, Gus Erich Fromm, seperti halnya dengan Gus Karl Heinrich Marx.
Dalam karyanya yang diberi judul You Shall be as Gods (Manusia bisa menjadi seperti Tuhan), ia menguraikan thesis humanisme radikal bahwa manusia yang diciptakan berdasarkan citra Ilahi memiliki esensi satu kesatuan kemanusiaan, memiliki potensi daya cipta dan imajinasi yang kaya dalam otonomi dan kemerdekaan kehendaknya.
Peran manusia, baik dalam sejarah personal maupun evolusi sejarah kemanusiaannya, adalah merealisasikan segenap potensi tersebut sehingga mencapai kemanunggalan dengan manusia lainnya, dengan lingkungan alamnya dalam hubungan komunikasi yang intim dengan Sang Pencipta dari kondisi awal ketidakberdayaan dan terikat pada alam menjadi manusia yang merdeka.
Dari mana landasan esensi kemanusiaan ini diambil oleh Fromm? Dari sumber-sumber religius, terutama terkait dengan kisah turunnya Adam dan Hawwa ke bumi. Berbeda dengan tafsir pesimistik yang memahami Adam turun ke bumi sebagai momen kejatuhan, Erich Fromm memandang bahwa dengan perintah Allah, Adam dan Hawwa turun kebumi, hal itu adalah lahirnya momen kesadaran, momen paripurna Adam sebagai manusia yang memiliki kesadaran, rasionalitas, moral, dan cinta.
Artinya, kemampuan Adam dan Hawwa serta umat manusia untuk mengaktifkan daya cipta dengan segenap kemampuannya ini yang dapat menyalakan iman (dalam pengertian membangun hubungan) kepada Ilahi sekaligus menjadikan dirinya sebagai makhluk terbuka untuk mengelola relasi sosial dengan manusia maupun alam semesta. Inilah yang menurut Erich Fromm disebut sebagai jalan Mesianik (messianic turn).
Meskipun dalam karyanya ini Erich Fromm menganggap dirinya sebagai pemikir non-religius, namun pandangannya bertemu dengan tradisi filsafat perenial dari berbagai keyakinan religius; mulai dari tradisi kabbalah Yahudi, mistikus Hindu dan Kristen sampai tasawuf Islam maupun laku kejawen. Intinya, mengenal dan berhubungan dengan Sang Pencipta bukanlah dilakukan dengan mencari tahu dzat dan partikel Tuhan, tapi dengan jalan penegasian Tuhan dengan segala hal di luar dirinya.
Menurut Fromm, aksi ibadah paling otentik adalah dengan aksi yang memanifestasikan negative devotion, yakni penolakan atas berbagai bentuk-bentuk Penuhanan atas sesuatu yang tidak pantas disembah.
Sebab, dengan itu, segenap potensi revolusioner dari umat manusia dalam kesatuan kemanusiaannya, kepeduliannya, daya cipta, dan inovasi serta welas asih-nya akan mandek, mandul, dan hilang. Pemberhalaan sebagai segala bentuk pengasingan kekayaan daya hidup manusia dari dirinya. Eksternalisasi dari segenap daya kemanusiaan sehingga manusia kehilangan kemanusiaannya.
Apakah manifestasi pemberhalaan dalam pandangan Erich Fromm? Menurut Fromm, penyembahan berhala bukan saja muncul pada kepercayaan manusia atas sesembahan atas patung, atau penyekutuan atas Sang Pencipta dalam bentuk sempit, namun juga bisa berwujud pada sikap rasistik, pemujaan nasionalisme chauvinistik, sistem politik otoritarian, keyakinan bahwa mekanisme pasar adalah hukum utama yang mengatur kehidupan umat manusia, fasisme dan populisme sayap kanan, dan faham keagamaan yang sempit dan fanatik.
Salah satu hal mengagumkan darinya adalah penolakan total Erich Fromm atas negara zionisme; di mana semua ideologi, pandangan maupun hukum yang merupakan konstruksi sosial itu dipercaya sebagai prinsip tertinggi dan dengan itu semua manusia kehilangan potensi kemanusiaanya.
Menurut Fromm, hanya dengan jalan memahami iman seperti ini, maka tradisi religius maupun kaum beragama bisa bertemu dengan kaum lainnya, bahkan kaum yang tidak beragama dalam kerja-kerja liberasi dan humanisasi umat manusia. Dalam pemikiran Islam Indonesia, Kanda Almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah menulis dan mengutip Erich Fromm dalam pidato kontroversialnya tahun 1991 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Bagaimana Fromm menganalisis dan membongkar kontradiksi dan ketegangan atas perjuangan untuk merealisasi potensi revolusioner manusia dan kekuatan-kekuatan alienatif yang membelenggunya? Dia melakukannya melalui Marx dan Freud.
Bacaan terkait
Kenapa Takut Berpikir Tentang Tuhan? (Membela Mun’im)