Hitler Nababan, anggota DPRD Karawang dari Partai Demokrat babak belur dikeroyok. Hitler, yang tidak ada hubungan sodara dengan jagal dari Jerman Adolf Hitler itu, dipukuli karena membagikan meme Amien Rais dan Rizieq Shihab di grup WhatsApp. Untuk kalangan sangat terbatas sebenarnya. Namun meme itu merembes keluar. Meme yang seharusnya lucu menuai amarah. Jadilah Hitler bonyok dipukuli pendukung kedua tokoh itu.
Di belahan bumi lain, ada lagi cerita lain. Seorang ibu memesan kue untuk merayakan kelulusan anaknya. Jacob, si anak, rupanya amat pandai. Dia lulus dengan Summa Cum Laude.
Namun apa lacur, supermarket tempat kue itu dipesan punya satu kebijakan: Tidak boleh ada kata-kata tidak senonoh dan tidak sopan tertulis di kue-kue yang dipesan. Kebijakan itu menghasilkan kue dengan tulisan Summa *** Laude. Tanpa kata “Cum.”
Saudara yang sering menonton film senonoh tentu tahu artinya. Kalau tidak, bisa saya jelaskan sedikit. “Cum” itu slang dalam bahasa Inggris yang artinya kurang lebih “cairan yang muncrat ketika orgasme.”
Juga sedikit konteks. South Carolina, tempat peristiwa ini terjadi, dalam geografi politik Amerika Serikat termasuk wilayah “southern.” Ini adalah wilayah Sabuk Injil (Bible belt). Tentu saja mereka adalah penganut Kristen yang taat. Taat sampai ke akar-akarnya.
Kasus Hitler Nababan memberikan pelajaran kepada kita bahwa politik kita sudah sangat beracun (toxic). Orang tidak saja hidup mati membela keyakinannya. Lebih mengenaskan lagi, orang merasa harus membela mati-matian tokoh pujaannya—seolah-olah tokohnya tidak bisa “cum“. Mereka mengamuk dan merasa dirinya juga terhina kalau tokoh pujaannya dijadikan bahan untuk membuat tertawa.
Satu kualitas dari masyarakat yang sehat adalah kemampuan untuk menertawakan diri sendiri (self-depreciating). Kemampuan seperti itu hanya ada kalau orang tidak menuhankan keyakinan, apalagi menuhankan tokoh—yang sebenarnya hanya manusia biasa. Masyarakat itu membusuk ketika anggota-anggotanya mulai berkeyakinan “Pejah gesang ndherek ….”
Politisi pantas ditertawakan dan sedikit diejek. Mereka bukan dewa atau Tuhan. Tidak juga mereka mewakili Tuhan—sekalipun mereka memakai Tuhan untuk mencari kekuasaan. Lebih dari itu, mereka punya kekuasaan untuk menentukan nasib orang banyak.
Humor dan lelucon adalah sebuah cara untuk membikin politisi setia pada janjinya.
Kemuliaan seorang politisi muncul bersama sentilan dan ejekan-ejekan yang lucu. Itulah sebabnya dalam pertunjukan rakyat selalu ada punakawan, orang-orang kecil yang mengkritik dan menertawakan tuannya sendiri.
Saya yakin, para komedian di Amerika akan membikin lelucon soal “Cum” tadi. Kebahlulan tidak mengenal agama, ras, suku, atau golongan. Keyakinan yang diperlakukan sebagai Tuhan malah kadang menjadi lucu. Dalam hal ini, Amerika adalah tempat yang lebih memungkinkan untuk menertawakan keyakinan ketimbang Indonesia.
Kita punya problem yang sangat besar dalam masyarakat kita ketika kita tidak bisa membikin hal-hal yang lucu darinya.
Harapan saya, Hitler Nababan segera sembuh dan bekerja kembali melayani rakyatnya.