Disahkannya Paris Agreement pada tahun 2015 membuat sebuah pergerekan yang masif dalam pengembangan green energy. Hal ini menciptakan paradigma global dalam pemanfaatan sumber energi dari energi fosil menjadi energi baru dan terbarukan. Secara langsung ini berefek pada penurunan permintaan batubara dunia. Seperti yang kita ketahui ekspor batubara Indonesia merupakan salah satu penyumbang besar dalam devisa negara. Dengan berubahnya paradigma ini membuat percepatan hilirisasi batubara Indonesia semakin ditunggu kelanjutannya.
Isu hilirisasi ini sebenarnya sudah sejak 20 tahun yang lalu dihembuskan. Program hilirisasi ini merupakan usaha untuk mengkonversi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME). Produk DME ini bisa digunakan sebagai subtitusi untuk bahan baku Liquified Petroleum Gas (LPG).
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) impor LPG mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2019 Badan Litbang ESDM mencatat Indonesia telah mengimpor 6 juta ton LPG atau 75% dari total penggunaan bahan bakar LPG di dalam negeri.
Berdasarkan undang-undang no 3 tahun 2020 tentang perubahan atas undang-undang nomor 4 tahun 2008 tentang pertambangan minerba, terdapat enam skema hilirisasi yang dapat dilakukan oleh pelaku pertambangan. Saat ini sendiri baru tiga skema yang sudah direalisasikan yaitu coal upgrading, coal briquette dan cokes making.
Secara matematis angka pemanfaatan batubara untuk dilakukan hilirisasi hanya sebesar 402 ribu ton atau 0,07% dari total produksi batubara nasional sebesar 560,7 juta ton (Kementerian ESDM, 2021). Terdapat berbagai tantangan untuk merealisasikan hilirisasi batubara ini. Keterbatasan teknologi dan aspek perekonomian merupakan salah satunya. Saat ini teknologi gasifikasi batubara menjadi DME baru ada di negara Tiongkok dan Afrika Selatan. Sehingga untuk alih teknologi membutuhkan biaya yang mahal.
Rendahnya permintaan produk hilirisasi batubara juga menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan hilirisasi. Hal ini membuat perusahaan berfikir ulang lagi untuk berinvestasi dalam pengembangan hilirisasi. Selama ini pasar batubara dalam negeri didominasi oleh PLN untuk PLTU, smelter, pupuk, semen tekstil, kertas dan dalam bentuk mentah untuk bahan bakar.
Padahal peluang untuk diversifikasi setelah dilakukan gasifikasi sangat terbuka, khususnya sebagai bahan baku LPG. Roadmap pengembangan batubara melalui hilirisasi yang belum jelas antara pelaku usaha, pemerintah daerah dan institusi perguruan tinggi juga membuat hilirisasi batubara di Indonesia seakan jalan ditempat.