Kebakaran hutan dan lahan masih banyak terjadi di banyak titik di Indonesia, mencakup wilayah Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Sepanjang tahun 2019 saja, seperti yang sempat dicatat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mencapai 328.722 hektar.
Efek sebaran asap yang meluas meliputi sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke luar negeri. Hal ini tentu sungguh sangat mengkhawatirkan, belum lagi kerusakan lingkungan yang terjadi menyebabkan hancurnya keanekaragaman hayati, rusaknya keseimbangan ekosistem, potensi bencana alam, serta resiko penyakit bagi masyarakat yang secara langsung terdampak.
Sebuah harga besar yang harus dibayar demi pemenuhan hasrat akan kapital. Bukan rahasia lagi jika kebakaran hutan dan lahan sebagai problem ekologis terkait secara langsung dengan pemerintah sebagai perwakilan negara, dan pengusaha yang mewakili perusahaan tertentu, serta masyarakat selaku yang terdampak dan menjadi korban.
Selalu ada kaitan dalam ranah kepentingan antara aktor-aktor yang terlibat dalam perusakan ekologi demi kepentingan akumulasi kapital. Tidak begitu sulit melihat relasi antara kebakaran hutan dan lahan dengan apa-apa yang terjadi di balik kebakaran itu, serta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
Film The Burning Season (1994), mengajarkan hal itu kepada kita. Film yang disutradarai John Frankenheimer dan diproduksi pada tahun 1994 ini jelas bukan film baru. Mereka yang akrab dengan isu-isu lingkungan atau aktivis ekologi pasti sudah tidak asing lagi dengan film ini; sebuah film yang mengajarkan kita alasan sebuah perjuangan dalam mencintai, menjaga, dan mempertahankan lingkungan hidup demi kelangsungan kehidupan itu sendiri.
Meskipun terbilang lama, selagi masih ada kerusakan ekologis, film ini masih terasa relevan dan memiliki konteksnya untuk dibicarakan, ditonton, dan belajar tentang harga mahal yang harus dibayar untuk menjadi seorang environmentalis.
Film ini berangkat dari kisah nyata dan terinspirasi dari perjuangan seorang aktivis lingkungan dan penyadap karet bernama Fransisco “Chico” Mendes. Chico Mendes, diperankan oleh Raul Julia, adalah seorang pemimpin serikat pekerja yang memimpin aksi protes melawan pemerintah dan pengusaha yang ingin menebangi dan membakar hutan Amazon antara 1983 hingga 1988.
Chico bersama temannya Wilson Pinheiro membentuk sebuah organisasi bersama jamaah gereja dan merintis sebuah serikat pekerja. Wilson berhasil mengambil emosi masyarakat untuk mendukung aksi kolektif melawan dan mencegah aksi penebangan pohon karet yang sedang berlangsung di Chacoeira.
Serikat Pekerja yang terdiri dari pemuda hingga orang tua paruh baya berhasil menghalau penebangan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkerja sama dengan seorang pengusaha, tuan tanah dan pemilik peternakan domba.
Aksi kolektif tersebut menimbulkan ancaman pembunuhan yang disimbolkan dengan kepala kambing segar yang tergantung di depan pintu rumah Wilson. Meskipun ancaman itu tidak mengurungkan niat Wilson dalam perjuangannya, namun Wilson akhirnya berhasil ditembak mati oleh seorang kaki tangan penentang aksi mereka.
Semenjak kematian Wilson, praktis kepemimpinan gerakan diwariskan kepada Chico Mendes. Jika sebelumnya gerakan ini menggunakan senjata dalam aksinya, di bawah kepemimpinan Chico aksi bersenjata tidak lagi pernah diperkenankan. Bagi Chico, penggunaan senjata bukanlah cara terbaik dalam melakukan aksi perlawanan. Buatnya, senjata hanya akan berdampak kematian bagi orang-orang di kedua belah pihak yang masing-masing adalah saudara sendiri.
Maka dari itu, satu-satunya alat dalam pergerakan aksi massa hanya mengandalkan kata-kata sebagai senjata. Meskipun perlawan tanpa senjata ini juga harus dibayar dengan kematian teman-temannya, Chico tetap pada prinsip untuk tidak membalas nyawa dengan nyawa.
Ketika Chico mencalonkan diri sebagai Gubernur, Ia mencoba mencari dukungan dari warganya namun tidak berhasil. Ketika pemilihan, Chico hanya mendapatkan 10% suara. Ia dikalahkan oleh lawannya yang secara ekonomi memang kaya raya, dengan sekaligus mendapat bantuan dari para kapitalis.
Meskipun kalah pemilihan, perjuangan tidak berhenti. Selain dengan masyarakat yang mendukungnya, Chico juga dibantu oleh seorang filmmaker asal Amerika Serikat. Dengan bantuan seorang kawan wartawan Amerika yang kerap meliput dan membuat film dokumenter tentang penebangan hutan, pembakaran dan aksi perjuangan Chico Mendes terekspos dan didengar dunia.
Bahkan Chico diundang untuk menerima penghargaan PBB atas upayanya dalam melindungi dan memperjuangkan hutan. Chico sempat berpidato pada sebuah media dan menyampaikan keadaan dan tuntutannya untuk menghentikan tindakan pengrusakan hutan. Sontak pidato tersebut mendapat sambutan dunia dan berhasil menjadikan isu perusakan hutan Amazon meluas ke mana-mana.
Pemerintahan yang menjalin kongsi dengan kapitalis geram. Maka diajaklah Chico berunding dengan menawarkan sejumlah uang agar ia menghentikan tindakannya. Perundingan itu terjadi sampai pagi, dan Chico tetap bersikeras pada apa yang menjadi prinsipnya. Pihak penguasa pun sadar bahwa Chico bukanlah orang yang mudah dibeli dengan sejumlah uang.
Hasil perundingan membawa dampak baik bagi warga: negara akhirnya mau melindungi tanah Chacoeria, dan menegakkan hukum seadil-adilnya. Kaum kapitalis pun pada akhirnya mau menghentikan dan melepaskan lahan yang pernah ditempati dan mengembalikannya kepada masyarakat.
Cerita perjuangan Chico tidak berakhir sampai disitu, seorang tuan tanah nampak marah dan tidak terima dengan keputusan itu. Untuk membalaskan dendam dan sakit hatinya, mereka menembak mati Chico.
Akhir dari kisah Chico Mendes merefleksikan secara tajam apa yang terjadi dalam konteks pengrusakan lingkungan di Indonesia. Kebakaran hutan yang terjadi, dan kerusakan ekologis lainnya, dan ancaman bagi mereka yang berjuang demi menghalau dan menentang pihak pemerintah dan korporat menghiasi lini masa kita hari-hari ini. Data yang berhasil dicatat Walhi Eksekutif Nasional, mengungkapkan sepanjang tahun 2018, ada 163 aktivis lingkungan yang menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan.
Selalu ada problem ketidakadilan yang diproduksi negara dalam melindungi investasi. Selain hutan dan lahan yang dibakar, selalu mengiring setelahnya korban dari masyarakat terdampak, juga kekerasan bagi mereka yang berani bersuara.
Layaknya film The Burning Season, Chico Mendes, beserta teman-teman environmentalisnya, mengungkap orkestrasi dari kerja-kerja gelap yang terbilang murah demi kepuasan kapital. Dan negara cenderung membiarkannya, berlaku ramah dan mengongkosinya, serta tidak jarang mengawal dengan ketat agar roda investasi menjadi mulus jalannya, bahkan kalau perlu, dengan membunuh sekalipun.
Jika memang sepeti itu kenyataannya, dimana pemerintah seolah tidak punya komitmen yang kuat dalam menjaga alam, dan cenderung membiarkan para korporat berlaku semena-mena, maka perjuangan rakyatlah yang menjadi kuncinya. Kesadaran rakyat harus tetap tumbuh, dan memastikan lingkungan hidup tidak terus tergerus dan dirusak oleh segelintir orang.
Chico Mendes harus senantiasa lahir di Indonesia, menjadi seorang environmentalis dan siap berjuang demi terjaganya lingkungan hidup yang sehat demi generasi mendatang. Semoga saja.