Minggu, Oktober 6, 2024

Golput Sekadar Menyalurkan Kemalasan

Mimpi Ujian

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial

“Sampai saat ini saya memutuskan Golput,” ujar seorang panelis di acara Rosi Kompas TV. Dia mengemukakan alasannya. “Ada yang salah dengan demokrasi kita, sehingga Pilpres begini-begini saja. Makanya saya Golput.”

Saya tersenyum. Mendengar statemennya saya jadi ingat doktrin HTI. Organisasi pengusung khilafah itu juga punya pandangan yang sama. Bahwa banyak yang salah dengan sistem demokrasi kita. Karena itu seluruh anggota HTI juga mengharamkan ikut Pemilu. Alias Golput.

Asumsi dasarnya sama. HTI dan orang yang mikir Golput itu merasa kecewa dengan demokrasi kita. Mereka mengambil jalan ekstrim. Lebih baik gak ikut memilih. Jika HTI alasannya karena dosa sebab doktrin agamanya yang aneh, panelis tadi alasannya karena mau menyelamatkan hati nurani.

“Kalau pilihannya gak ada yang sreg dengan hati nurani, terus gimana?” ujarnya bangga. Mungkin karena dia merasa, hanya dia saja yang memiliki apa yang disebut dengan nurani. Orang lain gak ada yang punya. Makanya dia Golput. Yang lain gak.

Bedanya dengan HTI, panelis ini tergolong kaum Golput pasrah. Maksudnya Golput dilakukan karena gak berdaya. Mungkin baginya dijalankan sebagai protes. Tapi setelah itu ya, sudah.

Sedangkan HTI, Golput dijalankan sebagai jalan dakwah agar semua orang gak percaya pada demokrasi. Tujuannya meruntuhkan sistem demokrasi. Solusinya adalah khilafah.

Memang ada satu masa ketika Golput dianggap sebagai sebuah gerakan perlawanan. Di jaman Orde Baru, ketika jauh sebelum Pemilu kita sudah tahu hasilnya, Golput adalah alternatif menjaga kewarasan. Buat apa ada Pemilu, jika kita sudah tahu hasilnya. Bahkan kita juga tahu siapa Presidennya.

Golput pada jaman Orde Baru adalah semacam perlawanan pada rasa percuma. Pemilu dianggap sarana kebohongan. Karena buat apa kita ke TPS jika tidak akan mengubah apa-apa.

Penguasa saat itu juga menutup semua lubang kritik. Pemerintah berjalan di atas pundak rakyat yang dibungkam. Nah, ketika ada Pemilu, rakyat yang dibungkam itu ingin menyatakan sesuatu. Sebuah perlawanan. Caranya: Golput.

Setelah reformasi, apalagi ketika era pemilihan langsung, agak susah untuk berkata bahwa Golput tetap bisa dianggap sebagai tindakan perlawanan. Perlawanan kepada siapa? Perlawanan pada apa?

Sebab suara kita dalam sistem yang sekarang, ikut menentukan siapa yang masuk Parlemen dan siapa yang jadi Presiden.

Sekarang suara kita ikut mengubah keadaan. Sementara dulu, suara kita gak akan mengubah apa-apa.

Bukan hanya saat Pemilu. Sekarang kita babas mengkritik pemerintah. Bebas menelanjangi anggota dewan. Bebas bikin petisi. Bebas memprotes kanan-kiri. Bebas nyinyir. Bebas menulis apa saja asal gak nyebar fitnah dan hoax.

Bahkan kalau mau jujur, penghargaan sistem Pemilu Indonesia pada setiap suara jauh lebih bagus dibanding Pemilu AS. Di AS Hillary boleh saja mendapat suara terbanyak. Tapi dia kalah oleh Trump yang memenangkan wilayah pemilihan terbesar. Suara individu pada Pemilu AS tidak semahal di Indonesia.

Lalu bagaimana jika dalam Pilpres ada yang gak sreg dengan kedua kandidat yang tersedia. Apakah dia harus dipaksa memilih?

Gak harus memilih keduanya, gak apa-apa. Tapi setidaknya datanglah ke TPS. Ungkapkan keterlibatan Anda dalam proses demokrasi. Silakan saja coblos keduanya agar suara Anda gak syah. Atau gak usah dicoblos.

Toh, selain Pilpres ada juga Pileg. Ada pemilihan DPD juga.

Menjadi Golput dengan sama sekali gak datang ke TPS, dan setelah itu merasa paling jawara memenangkan hati nuraninta sendiri, sama saja orang onani untuk kepuasan diri sendiri. Setelah itu merasa sudah membuktikan kejantananya. Kepuasannya palsu.

Kecuali jika baginya demokrasi adalah barang haram. Seperti doktrin HTI. Mereka akan sama sekali melepaskan diri dari proses demokrasi.

Golput adalah hak. Tapi berpartisipasi dalam Pemilu adalah kewajiban. Makanya menyebarkan Golput dianggap tindakan kejahatan. Sebab banyak orang yang sudah bersusah payah memperjuangkan sebuah sistem dimana suara kita begitu berarti.

Jangan takut setelah memilih nanti pemerintahan berjalan tidak sesuai dengan aspirasimu. Toh, sekali lagi, Indonesia adalah negara paling demokratis. Kapanpun anda bisa berteriak memprotes ketidakberesan. Kapanpun pemerintah bisa dikoreksi. Bisa dihujani dengan kritik.

Kecuali kalau Anda salah memilih. Misalnya dengan mengangkat seorang penguasa yang kupingnya tipis dan tak tahan mendengar kritik. Penguasa yang punya track record membungkam demokrasi. Itu sama saja dengan kiamat.

Jika sistem demokrasi kita sudah membuka ruang yang terus menerus pada perbaikan dan kritik, Golput hanya terkesan menjadi tindakan seorang pemalas dengan segudang cara ngeles.

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.