Kamis, April 25, 2024

Golkar Unggul di Pilkada 2018? Yang Benar Saja

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.

Gambar dengan tabel warna-warni ini muncul berkali-kali di akun media sosial saya. Setidaknya, saya ketemu gambar ini di grup WhatsApp group, Facebook, dan Instagram.

ampg-golkar-menang-pilkada-geotimes

Pembuat gambar ini, sesuai dengan logonya adalah AMPG. Kalau itu benar, maka AMPG itu tidak lain dan tidak bukan adalah Angkatan Muda Partai Golkar. Memang ada juga logo Golkar disana. Saya tidak bisa mengkonfirmasi apakah ini benar dikeluarkan secara resmi oleh AMPG atau tidak, tapi ia muncul di akun Instagram AMPG.

Tapi tidak masalah. Gambar ini beredar luas. Itu yang jadi soal. Kita setia pada gambar ini saja karena banyak orang memamahnya mentah-mentah.

Benarkah Nasdem dan PAN mendapat nilai tertinggi masing-masing 58,8 persen dalam Pilkada serentak ini? Golkar mendapat 52,94 persen; diikuti Hanura 52,9 persen; PKS dan PPP masing-masing mendapat 41,2 persen. PKB dan Partai Demokrat meraih 35,3 persen; dan yang paling kasihan adalah PDIP yang hanya mendapat 23,5 persen; sementara yang paling buncit adalah Gerindra yang hanya duduk di 17,6%.

Dari kemarin saya bertanya-tanya. Apa artinya persentase ini? Apakah dia bicara sesuatu?

Dalam Pilkada, seorang kandidat didukung oleh koalisi partai-partai. Ketika seseorang mencalonkan diri, dia mencari tumpangan partai-partai politik. Pada umumnya kandidat membayar yang namanya “mahar” kepada partai-partai itu.

Partai-partai inilah yang kemudian menjadi “mesin elektoral” si kandidat. Orang-orang dalam partai ini  akan mencari orang-orangnya di grass-roots. Nah, di sini kandidat membayar mahar lagi agar mesin ini bergerak. Tentu di samping membuat mesin bergerak, masinis dan sopirnya juga harus dibayar bukan?

Pemilihnya? Kalau yang ini, mungkin Saudara mengerti dari mana istilah “Serangan Fajar” berasal.

Ketika seorang kandidat menang, apakah ini juga adalah cerminan dukungan kepada partai? Sulit untuk mengukurnya. Tidak ada jaminan bahwa kemenangan Khofifah-Emil di Jawa Timur adalah kemenangan Partai Golkar dan Demokrat; serta kekalahan PDIP.

Sekali lagi, kandidat didukung oleh koalisi partai. Dalam hal ini, suara yang diperoleh kandidat itu BISA JADI (hipotetis) adalah suara gabungan dari partai. Namun, banyak juga pemilih yang memilih berdasarkan orang.

Di Sulawesi Selatan, pasangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman bisa mengalahkan dua klan oligarkis yang sangat berkuasa di provinsi itu. Banyak orang mengatakan bahwa pasangan ini menang karena pemilih muda di perkotaan dan suburban yang rasional memilih pemimpin, dan tidak tersangkut pada ikatan partai dan patronase.

Jadi apakah artinya Partai Golkar mendapat 52,94 persen dalam Pilkada langsung ini? Jelas tidak. Kalau saya membacanya begini: 52,94 persen dari pemenang Pilkada 2018 ikut didukung oleh Partai Golkar. Partai Golkar hanya satu komponen dari koalisi pendukung seorang kandidat bersama-sama partai lain.

Adakah itu mencerminkan kekuatan Partai Golkar? Ya enggaklah. Jelas tidak bisa disamakan kekuatan elektoral Partai Golkar dengan Nasdem (yang peringkat 1), misalnya.

Kalau demikian, benarkah ini mencerminkan PDIP dan Gerindra keok? Ya enggak juga. Itu menyesatkan. Angka-angka ini tidak bicara apa-apa.

Nah, sekarang kita masuk ke bagian kedua. Lalu, mengapa orang membuat “angka-angka yang sesungguhnya tidak bicara apa-apa” ini?

Di sinilah sisi pelintiran politiknya. Orang awam terpesona dengan angka. Kalau Anda berdebat dan Anda mengeluarkan angka, itu artinya Anda sudah 50 persen menang …. He-he-he. Orang takut pada angka. Orang segan pada angka. Orang selalu menganggap angka itu sebagai kemutlakan.

Angka 23,5 persen sudah cukup membuat para Cebongers pendukung PDIP gelagapan. Dan, kemudian menghibur diri: Ah Gerindra juga cuman dapat 17,6 persen. Padahal sebenarnya angka ini tidak mencerminkan apa-apa.

Bagi saya, ini adalah sebuah political gimmick—yang tidak salah juga. Seperti halnya supermarket yang mengumumkan diskon 30 persen untuk daging, ada catatan kecil di bawahnya—diskon tergantung dari ketersediaan; yang disediakan adalah daging yang sudah di luar selama seminggu dan akan kedaluwarsa dalam dua hari. Ini tidak salah sama sekali. Tapi gimik diskon 30 persen itu sangat bagus, bukan?

Kesimpulan saya, angka-angka ini menyesatkan kalau kita tidak bisa membacanya. Dan, ya itu tadi, angka-angka ini sesungguhnya tidak bicara apa-apa. Tapi saya terkesan dengan para pembuatnya.

Bukankah dulu selama 32 tahun mereka juga bikin begini dan kalian percaya saja? Dan kini, mereka bikin lagi, dan kalian juga percaya? Kalau iya, kali ini saya percaya bahwa kodok bisa tertawa!

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.