Jumat, Maret 29, 2024

Film Joker, Tak Sekadar Orang Baik dan Jahat

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.

Banyak pihak memetik nilai yang salah dari film Joker. Melalui quote “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”, sikap Joker melawan perundungan, oleh beberapa pihak, justru dijadikan dalih membenarkan tindak kekerasan. Menurut saya, film yang berdurasi kurang lebih selama dua jam itu, tidak sesimpel orang baik yang berubah menjadi jahat karena perundungan. Lebih dari itu, film Joker merupakan gambaran realita sosial pahit yang diciptakan oleh kapitalisma. Kenapa? Mari simak secara saksama.

Digambarkan dalam film bahwa Gotham mengalami disfungsi menyeluruh terhadap kelola kota, dengan kata lain, Gotham mengalami krisis, hingga melahirkan kelompok lumpen di setiap sudut kota yang kelaparan dan melakukan tindak kriminal. Hal yang lumrah terjadi di tengah keadaan krisis ialah, munculnya individu atau kelompok yang mengultuskan dirinya sebagai seorang ‘pahlawan’, yang mampu menuntaskan krisis tersebut. Hal itu digambarkan melalui tokoh Thomas Wayne, yang mencalonkan dirinya sebagai Walikota Gotham. Wayne masif mengampanyekan dirinya sebagai seorang yang mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Gotham, padahal Wayne merupakan salah satu kelompok oligarki. Wayne mencoba jadi obat atas kekrisisan yang diciptakannya sendiri.

Kekrisisan yang melanda Gotham menyentuh sampai pada sektor ekonomi, budaya, hingga kehidupan sosial. Di tengah keadaan krisis tersebut, hiduplah seorang Arthur Fleck. Seorang badut yang merasa dilahirkan untuk membahagiakan orang banyak. Fleck menemukan eksistensi dirinya dalam tawa setiap orang yang mendengar komedinya.

Fleck tinggal di sebuah rumah susun bersama ibunya yang sudah lanjut usia, yang memanggil Fleck dengan sebutan Happy, dan selalu memberikan simpul senyum di wajah Fleck. Fleck harus tetap merasa “happy”, meski realita menuntut sebaliknya. Melalui gambaran ini, saya melihat bahwa Fleck merupakan representasi dari bagian masyarakat kelas tertindas, yang terus dipaksa tersenyum dan tunduk terhadap sistem, demi kelangsungan hidupnya.

Kehidupan suram Fleck dikonstruksi oleh beragam fenomena; latar belakang sakit yang diderita, latar belakang krisis kota Gotham—yang kemudian memberhentikan pengobatannya—latar belakang sejarah ibunya yang mengakui bahwa semasa muda; dirinya memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih dengan Wayne dan dianggap delusional, intrik dalam dunia pekerjaan yang mengharuskan dirinya dipecat, hingga perundungan yang ia alami. Sulitnya kehidupan Fleck yang digambarkan dalam film, membuat dirinya—yang memiliki trauma pada bagian kepala—teralienasi dalam kehidupan sosial. Fleck tidak mampu menciptakan eksistensi dirinya sendiri. Ia tidak mampu bertahan dalam persaingan yang diciptakan oleh sistem.

Fleck, di tengah keadaan yang menghimpitnya, kembali dihadapkan oleh kondisi tidak adil, ia harus menyaksikan tiga pekerja Wall Street yang melecehkan perempuan dalam gerbong kereta. Namun ketiga pekerja Wall Street berbalik memukuli Fleck, tatkala tawa Fleck tak terkontrol ketika menyaksikan kejadian tersebut. Fleck—di tengah kegelisahannya—mencoba melawan, dan menerima konsekuensi harus babak belur karena statusnya yang lemah di hadapan ketiga pekerja tersebut. Derita Fleck sudah naik seleher. Materi objektif yang digambarkan melalui latar belakang kehidupan Fleck yang suram terus-menerus menekannya,  hingga membawa dirinya melewati batas absurd, kemudian melepaskannya dengan tindakan “sadis”.

Fleck kemudian membunuh tiga pekerja Wall Street di dalam kereta, yang melakukan tindakan sesukanya, karena mereka merasa memiliki kekuatan dan eksis di tengah keadaan yang timpang. Ketiga pekerja Wall Street tersebut merupakan representasi orang kaya yang bersikap semaunya terhadap yang lemah (miskin). Pembunuhan yang dilakukan oleh Fleck malam itu tak lebih dari wujud akumulasi emosi kaum tertindas. Perlawanan dimulai.

Cerita berlanjut, dalam suatu kesempatan langka, Fleck diundang ke sebuah acara talkshow Tv populer, yang dibawakan oleh presenter kondang, sekaligus tokoh kesukaannya; Murray Franklin. Sebelum diundang, Fleck sempat berbangga diri, tatkala menyaksikan cuplikan stand up comedynya ditayangkan dalam talkshow tersebut. Kesukaannya berbalik menjadi amarah ketika lawakan Fleck diolok-olok oleh Franklin, dan menyebut dirinya sebagai “Joker”. Di momen Fleck berada di atas panggung bersama Franklin, ia mengakui bahwa dirinyalah yang membunuh tiga pekerja Wall Street. Alih-alih ingin menunjukkan kerundungannya atas jokes memuakkan Franklin sebelumnya, ia justru ingin setiap audiens acara tersebut tahu seberapa akut keresahan yang ada dalam dirinya terhadap krisis yang terjadi di Gotham.

Tensi cerita meningkat saat Fleck memutuskan untuk membunuh Franklin di depan kamera, saat jutaan pasang mata menonton acara tersebut. Saya rasa, tujuannya jelas bukan sekadar perlawanan Fleck terhadap perundungan yang dilakukan Franklin. Fleck tak butuh kamera untuk melawan perundungan, sebagaimana yang ia lakukan pada Randal (teman satu profesi dengan Fleck, yang melakukan intrik terhadap dirinya, yang mengakibatkan Fleck harus kehilangan profesinya) dan tiga pekerja Wall Street. Ia tak butuh kamera untuk hal itu. Semua sikap “sadis” yang dilakukan Fleck di depan kamera merupakan pernyataan perang pada oligarki. Melalui hal tersebut, Fleck menabuh genderang, memantik api perlawanan.

Pada bagian akhir film, Wayne ditembak oleh sipil. Penembakan tersebut merupakan gambaran dari puncak perlawanan sipil—yang dipantik oleh Fleck—pada penguasa, yaitu pihak yang mengonstruksi krisis dan tampil sebagai penawarnya. Seluruh tindakan yang dilakukan oleh Fleck mendapat sambutan dari komune. Ia diselamatkan dan ‘dipuja’ oleh sipil yang sudah muak oleh para oligarki. Joker adalah simbol pemberontakan terhadap oligarki.

Krisis dalam Kehidupan Nyata

Ada bagian unik yang saya lihat dari film ini, yaitu kesamaan keadaan objektif yang terjadi. Krisis yang digambarkan dalam film memiliki kesamaan dengan gerakan sosial yang terjadi hari ini di Indonesia, Hong Kong, Lebanon dsb. Oligarki atau pemerintahan yang memiliki kekuasaan terhadap setiap instrumen negara (produk hukum, aparatur, dsb) memberi ruang terhadap relasi produksi kapitalisma kepada pemilik modal, menciptakan keadaan timpang melalui penguasaan alat produksi. Lebih dari itu, sebagai penawar atas kekrisisan yang mereka buat sendiri, mereka menghasilkan segala bentuk kebijakan. Kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat kelas tertindas. Liberalisasi hukum yang dihasilkan hanya kembali menguntungkan para oligarki dan jajarannya. Klasifikasi kaya dan miskin terus terjadi. Atas keadaan krisis hari ini, rakyat mulai frustasi. Rakyat pun mulai menunjukkan gerakan perlawanan di berbagai daerah.

Jika di dalam film makna jahat-baik dikonstruksi oleh khalayak yang menontonnya, maka dikehidupan nyata, media dan penguasa mengonstruksi makna tersebut. Massa yang melakukan aksi demonstrasi, yang termasuk di dalamnya adalah almarhum Randy, Bagus, Akbar, Yusuf dan Suryadi adalah si kelompok jahat. Sedangkan aparat, yang memukul massa aksi, bersenjata dan menembak korban adalah si kelompok baik. Negara adalah ‘pabrik produksi kebenaran’, di mana setiap perbuatan negara adalah tindakan tanpa cacat dan dilegitimasi sebagai tindakan yang baik dan benar. Rakyat dalam perlawanannya hanyalah sekumpulan perusuh yang kadung dikonotasikan sebagai ‘evil‘ oleh negara. Mereka harus dimusnahkan, bahkan dengan pendekatan kekerasan sekali pun. Tak peduli pada alasan dan faktor penyebab, pemberontak terlanjur distigma negatif. Stigma ini dikonstruksi selama bertahun-tahun dalam bingkai kapitalisma.

Kembali ke permasalahan quote. Kalau warganet melihat tindak-tanduk sadis yang dilakukan Fleck karena perilaku perundungan, menurut saya hal tersebut tidak tepat. Mengapa harus menjadikan perundungan sebagai faktor utama perbuatan sadis Fleck? Padahal kita tahu bahwa, perundungan yang dialami oleh Fleck adalah akumulasi dari gagalnya pemerintah Gotham dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Gotham, termasuk menghilangkan kelas sosial di sana.

Pemerintah kota yang korup, dan pemilik modal yang rakus adalah ‘kelas borjuis’ yang akan terus-menerus menciptakan penindasan di Gotham. Mereka lahir sebagai kelas yang mempercayai privilege, sehingga harus dihancurkan demi tujuan mulia umat manusia; kemerdekaan. Menurut saya, segala kesadisan yang dilakukan oleh Fleck, merupakan tindakan yang lahir atas rasa muak dan marah dirinya terhadap borjuasi. Serupa dengan aksi massa yang terjadi di berbagai daerah, tindakan tersebut merupakan akumulasi kemarahan warga sipil atas ketimpangan yang dihasilkan oligarki.

Maka, saya rasa quote “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” itu tidak valid, karena sesungguhnya baik-jahat selama ini dikonstruksi oleh oligarki. Film Joker menggambarkan secara eksplisit bahwa media dan penguasa berkolaborasi untuk membentuk standar sosial, sesuai kepentingan kelompok elit. Suprastruktur oligarki dan investor menghasilkan penggiringan opini publik, yaitu orang jahat adalah mereka yang memberontak pada status quo, dan terhegemoni di lingkup sosial.

Konstruksi stigma dalam film yang membuat Joker dianggap jahat, dan tiga pekerja Wall Street sebagai orang baik yang jadi korban kejahatan Joker (lihat wawancara Wayne di Tv). Kemenangan Joker mengubah konstruksi sosial (dalam film). Bahwa sedari awal Joker adalah orang baik. Ia tak pernah menjadi jahat, sekali pun telah membunuh. Perubahan stigma ini digambarkan dengan membludaknya dukungan dari banyak orang pada pemberontakan Joker. Topeng dan simbol-simbol perlawanan semakin marak.

Tanpa pemberontakan Joker, krisis ekonomi cukup menghilangkan banyak nyawa. Sikap abai penguasa merupakan wujud lain dari pembunuhan secara struktural. Jika perlawanan Joker diorganisir secara matang menjadi perlawanan yang menggunakan pendekatan demokratis, dan dengan tuntutan penghapusan kelas, alias “perjuangan kelas”, saya yakin, film ini akan jadi pembelajaran baik bagi pembacaan ekonomi politik di masa mendatang. Aksi massa dengan pendekatan kekerasan untuk melawan kekerasan, adalah jalan terakhir demi merebut demokrasi yang seutuhnya.

Ini bukan bentuk pemakluman pada tindak kekerasan, bahkan lebih fatal hingga menelan korban. Sejarah umat manusia justru membuktikan bahwa, perubahan sosial hanya terjadi melalui perjuangan kelas. Kelas-kelas tertindas harus bersatu melawan kekuasaan yang menindas.

Long Live People Struggle! No War, but Class War!

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.