Seorang selegram perempuan pindah agama, sebagian (besar) warganet berontak. Bahkan tidak sedikit yang keranjingan menghujat di layar gawai mereka. Pasalnya, selebgram yang bersangkutan dulunya menganut agama Islam dan setelah dikabarkan salah satu media daring dengan tajuk “terciduk di gereja”, kita semua lalu merasa berwenang menghakiminya.
Terus terang, saya tidak mengerti apa yang dipikirkan si pewarta. Mungkin dipikirnya gereja seolah-olah hal tabu dan layak dijauhi. Padahal, di tangan si “tukang ketik” inilah opini publik dipertaruhkan.
Sama tapi tak serupa, sebelumnya seorang presenter dan mantan pesulap nomor wahid juga pindah agama. Bedanya, yang kali ini bernasib gembira. Perpindahan status keagamaanya disambut baik oleh publik.
Sepertinya, fenomena pindah agama, apalagi dari Islam ke luar Islam, bagi sebagian besar psikologi masyarakat kita masih dianggap sebagai aib mugholadoh alias besar Pokoknya sebisa mungkin dijauhi. Bahkan bila perlu jangan sampai berinteraksi, apalagi bersentuhan, dengan segala hal yang dapat merontokkan iman.
Celakanya, batasan-batasan tentang apa saja yang dapat merontokkan iman itu kini mengalami degradasi yang sedemikian menyedihkan. Lebih-lebih Islam Indonesia abad 21. Kasus tentang seorang pendakwah menggugat arsitektur masjid garapan Ridwan Kamil yang ditengarai mengandung unsur illuminati beberapa waktu lalu, umpamanya, menegaskan hal itu.
Lebih sial lagi, tipikal pendakwah setamsil itu kini semakin melimpah ruah. Bermodal baju takwa, lalu disponsori sedikit dalil yang diproduksi entah dari mana mata-rantai kesahihannya, plus sedikit sentuhan bahasa Arab, mereka kemudian mentahbiskan diri sebagai seorang yang paling mengerti ajaran Nabi Muhammad.
Orang-orang memanggilnya ustaz, atau kalau perempuan ustazah, kendati sebetulnya tidak ada yang keliru dengan konsep ustaz ini. Soalnya memang dalam tradisi umat Muslim tidak ada sertifikasi pendakwah.
Alhasil, siapa saja berhak mendakwahkan Islam. Berbeda dengan tradisi Katolik, misalnya, yang memang ada kaderisasi missionaris. Ada sekolahnya dan ada pelantikannya ketika memang si pelajar alias calon pendeta itu telah dirasa layak membawa misi Gereja.
Saya jadi teringat sebuah jurnal berjudul Indonesian and The Malay World yang memuat artikel “The Art of Dakwah”. Dalam ulasannya, Hew Wai Weng memaparkan wawancara dengan Felix Siauw, pendakwah yang cukup kondang di bumi Indonesia.
Kepada Weng, Felix mengatakan kalau meskipun pamahaman keislamannya tidak sedalam yang lain, senyatanya banyak Muslim tertarik untuk mendengarkan dia (Felix) ketimbang pendakwah yang lain.
Di saat yang sama, Felix juga terang-terangan menyebut kalau ia dengan sangat sadar bertujuan menyebarkan ideologi HTI lewat dakwahnya, khususnya kepada para kelas menengah perkotaan, Muslim urban, dan mereka yang tidak memiliki pengetahuan tentang agama.
Rupanya, kepopuleran Felix bukan omong kosong semata. Direktur Riset Setara Institute Halili (2019) menyatakan bilamana ceramah Felix lebih mendapat tempat di forum-forum tertutup kelompok Islamis di 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dibanding ceramah ahli dan pakar tafsir Quran, Prof. Quraish Shihab.
Bahkan beberapa waktu lalu Fellix juga mengisi ceramah di Balai Kota Jakarta, tanda bahwa kegandrungan terhadap Felix kini semakin meriah.
Apakah Felix Siauw salah? Tentu saja tidak.
Sebab, sekali lagi, dalam tradisi umat Muslim tidak ada sertifikasi pendakwah. Sama dengan para selebriti yang hijrah —kemudian tampil di televisi bukan lagi sebagai aktor atau aktris, melainkan sebagai pembaca naskah berisi bejibun hadis Nabi—mereka juga tidak salah.
Hanya saja, perlu kita sadari bersama bahwa apa-apa yang instan itu biasanya penuh kerapuhan. Termasuk dalam hal berislam, tidak ada jaminan kebenaran sejati kecuali perkara-perkara yang memang telah dinashkan baik dalam Quran dan lalu didetailkan melalui sabda serta titah Nabi, bil khusus soal ibadah mahdah. Lebih dari itu, kita hanya berkutat di ranah tafsir.
Masalahnya, ada sebagian kelompok Muslim yang terkaget-kaget melihat fenomena khazanah tafsir Islam yang tidak tunggal ini. Kelompok ini memahami dan menempatkan realitas kehidupan dalam dua sisi yang saling bertentangan secara diametral, alias suatu pendekatan oposisi biner yang membagi dunia dalam dua kutub: positif-negatif.
Akibat dari itu, Islam kita pun lalu tereduksi menjadi begitu konyol. Lebih jauh, Islam dan realitas keberislaman mengalami penyederhanaan ke dalam dua polar, yakni “Islam kaffah” versus “bukan Islam kaffah”.
Dalam pendekatan ini “Islam kaffah” dimengerti sebagai satu-satunya paham keagamaan dan cara beragama yang dipandang ortodoks, murni, utuh, sesuai al-Quran dan Sunnah Nabi.
Sebaliknya, lawannya yang “bukan Islam kaffah” diidentifikasi sebagai paham dan cara beragama yang telah terkontaminasi atau tercampuri unsur-unsur asing, dan oleh karena itu disebut heterodoks, sekuler, liberal, dan bahkan kafir.
Bertolak dari klaim ortodoksi itulah mereka seolah memperoleh pembenaran ilahi untuk melakukan hegemoni. Dan parahnya, kelompok ini cenderung kurang kritis dalam menyikapi atau setidaknya ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang diproduksi sekurang-kurangnya empat belas abad lampau.
Padahal, setiap zaman itu memiliki semangat dan tantangannya masing-masing. Di titik kesadaran inilah daya kritis itu penting. Sebab, sulit membayangkan untuk mengkaji sebuah ayat, misalnya, tanpa menyertakan bejibun rumpun keilmuan penunjang lainnya, seperti sababun nuzul, nasakh mansukh, makkiyah-madaniyyah, dan masih banyak lagi.
Sialnya, segala kompleksitas demi menggali world view dari sebuah firman Tuhan atau sabda Nabi itu kini hendak dihempaskan sedemikian banal oleh kecenderungan hegemonik “Islam kaffah” versus “bukan Islam kaffah” itu tadi.
Dan diakui maupun tidak, karakter-karakter hegemonik kelompok menang-menangan ini telah semakin masif dan bahkan mulai mengkristal ke dalam cara beragama Muslim Indonesia dewasa ini. Julidnya sebagian umat Muslim dalam menyikapi fenomena selebgram perempuan di atas merupakan salah satu beban teologis yang harus kita sadari bersama.
Akhirnya, di era kebebasan berekspresi seperti hari ini, melarang atau bahkan membungkam ide, betapapun menyedihkannya gagasan tersebut, memang bukanlah solusi alternatif. Lebih-lebih sebuah ide yang menunggangi nama Islam, bisa-bisa Anda disebut anti-Islam kalau sampai berani menghardiknya.
Dengan begitu, menyadari betapa riskan dan dilematisnya realitas keberagamaan kita hari ini, rupanya ada benarnya ketika Kiai Mustofa Bisri berulang kali menegaskan agar “yang waras jangan lagi mengalah”.
Sebab, kalau yang waras mengalah, yang gila akan merajalela. Ya, seperti para warganet julid dan kagetan itu tadi.
Baca juga
Pindah Agama Demi Pacar? Kenapa Tidak
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?
Menteri Lukman dan Perlunya Sertifikasi Khatib