Minggu, Oktober 6, 2024

Duh, Ironi Privasi dan Kita yang Diawasi

Mimpi Ujian

Ariana Fatma
Ariana Fatma
ASN di Pemkab Magetan. Seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan.

Sejak mulai diberlakukannya tatanan normal baru Juni lalu, kantor saya mulai memberlakukan presensi pegawai secara online dengan share location melalui aplikasi Whatsapp sesuai jam kerja pegawai tiap pagi dan sore. Sejak saat itu pula, fitur location di HP saya mulai saya aktifkan, termasuk location history-nya. Kini, tiap awal bulan Google mengirim email berisi semacam rekapan lokasi yang saya kunjungi selama sebulan itu.

Belum cukup, foto-foto yang tersimpan dalam HP saya juga saya back up ke Google Drive. Jadi, rekapan itu sekarang lengkap sekali isinya. Iseng saya cek satu hari secara acak. Di situ tercatat tempat apa saja yang saya kunjungi, berapa KM perjalanan yang saya tempuh dengan bersepeda motor atau naik mobil, lengkap dengan berapa lama waktunya.

Contohnya, pada hari Jumat di akhir bulan Juni, tercatat pagi hari saya mengunjungi teman kantor saya yang sedang sakit telinga, pulangnya mampir rumah teman sambil sarapan soto, siangnya tertulis posisi saya di kantor dan muncul gambar es dung-dung.

Rupanya, siang itu saya mengerjakan laporan di kantor sambil minum es dung-dung yang saya beli dari penjual keliling yang lewat di depan kantor. Es dung-dung itu memang saya foto dan saya jadikan status whatsapp siang itu. Sorenya seperti biasa berisi perjalanan saya pulang kantor ke rumah. Akhirnya, hari itu ditutup dengan foto tugas anak saya yang musti dilaporkan ke gurunya sebelum pukul 8 malam.

Sampai di sini saya merasa takjub dengan betapa detailnya Google memonitor kegiatan saya hari itu. Takjub sekaligus ngeri menyadari betapa saat ini ada mata dan telinga tak terlihat yang setiap saat memantau kita, minimal mencatat kemana saja kita pergi dan menyimpan foto-foto kegiatan kita.

Film dokumenter Connected: The Hidden Science of Everything dalam salah satu episodenya berjudul “Surveillance” membahas tentang pengawasan, mulai dari pengawasan terhadap kawanan burung untuk mengetahui pola migrasinya yang bertujuan untuk memprediksi badai sampai dengan database raksasa berisi foto-foto kita yang tersebar di media sosial.

Kita tentu sudah tidak asing dengan beredarnya kabar tentang aplikasi-aplikasi tertentu yang menyalahgunakan data pribadi kita. Dihimpun KompasTekno dari 91Mobiles Januari lalu, Cybernews mencatat, setidaknya ada 30 aplikasi yang secara diam-diam mengumpulkan data pengguna, menampilkan iklan berbahaya, dan mengarahkan pengguna ke halaman phishing.

Meski saat kuliah dulu saya sudah sudah pernah mendapat mata kuliah Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan), saya masih saja takjub dengan fitur Facebook yang secara otomatis menandai foto kita. Sudah beberapa tahun ini saya sudah jarang sekali meng-upload foto diri sendiri ke Facebook, tapi kadang ada teman yang meng-upload foto yang ada wajah saya di sana. Akibatnya muncul pemberitahuan bahwa saya foto saya muncul di status Si Anu. Kadang memang benar foto saya, tapi sering juga itu adalah foto orang lain, yang tidak saya kenal, yang herannya memang mirip sekali dengan saya.

Beberapa teman di timeline juga ada yang mengeluhkan, betapa sekarang itu Facebook seperti cenayang yang bisa membaca pikiran orang. Baru saja ngobrol dengan suami ingin membeli suatu barang, eh besoknya iklan barang itu sudah lewat di beranda. Ada juga yang baru membatin ingin sesuatu, eh lha dalah iklannya nongol dengan semena-mena. Jangan-jangan, besok-besok Facebook juga bakal tahu detail mimpi saya semalam, ngeri nggak sih?

Satu hal yang saya catat dari Connected adalah ironi tentang privasi kita. Kita yang sering tersinggung saat privasi kita dibuka  dan diutak-atik orang lain, tapi  di lain pihak, kita dengan ringan hati membuka privasi diri sendiri, salah satunya tentu dengan meng-upload foto-foto di media sosial.

Kita tentu paham apa sebabnya, meski mungkin enggan mengakuinya. Foto, status, atau apa pun yang kita upload sendiri dengan kesadaran penuh itu telah melalui banyak proses pemikiran dan penyuntingan sehingga yang tampil di halaman media sosial kita adalah citra diri yang kita inginkan, sementara jika orang lain yang meng-uploadnya, belum tentu yang tampil itu sesuai dengan citra diri yang kita inginkan, bisa jadi malah bertentangan.

Demi citra diri itu, kita rela-rela saja jika seluruh aktivitas kita dipantau dan dicatat. Tak cuma sekedar tempat-tempat yang kita kunjungi, tapi juga merambah ke apa saja yang kita cari, baca, tonton, dan dengar di internet. Selain ironi tentang privasi, kita masih menyimpan satu lagi ironi yang tak kalah menyesakkan. Kita resah diawasi oleh Google, Facebook, atau aplikasi entah apalagi, tapi adakah kita juga resah dan  merasa berada di bawah pengawasan Allah, Tuhan Yang Maha Mengawasi?

Hal-hal yang dulu tak terbayangkan seperti tugas malaikat Raqib dan Atid untuk mencatat semua amal perbuatan kita, baik atau pun buruk, ternyata saat ini meski sebagian telah dapat dilakukan oleh teknologi. Teknologi masa kini punya mata dan telinga tak terlihat yang siap mengawasi segala gerak-gerik kita.

Bermacam rekam jejak kita, mulai dari kemana kaki kita melangkah, apa yang kita pikirkan-ucapkan-tuliskan, apa yang kita lakukan, sampai apa saja yang kita konsumsi dan belanjakan terekam dalam media sosial dan di aplikasi-aplikasi yang hanya kita yang bisa mengaksesnya secara pribadi.

Meski yang lebih sering terjadi, yang tampil di permukaan bisa jadi adalah kebalikan dari apa yang sebenarnya terjadi dalam kenyataan. Wilayah batin selamanya akan tetap menjadi hak prerogatif Tuhan yang sulit disentuh teknologi secanggih apa pun itu.

Di hadapan internet, kita adalah sekumpulan obyek yang dikelompokkan ke dalam klasifikasi sesuai jenis segmentasi tertentu. Di hadapan internet, kita tak lebih dari sekumpulan data untuk dijadikan target market banyak kepentingan, mulai dari bisnis sampai politik.

Kita mungkin tak bisa menghindarkan diri kita untuk dijadikan obyek semacam itu, tapi kita masih bisa mengupayakan setidaknya rekam jejak kita tetap baik dan berada di jalur yang benar. Caranya? Salah satunya dengan memelihara perasaan merasa diawasi. Kalau masih kesulitan membayangkan merasa diawasi Allah, bolehlah latihan dulu dengan merasa diawasi aplikasi-aplikasi pintar itu.

Ariana Fatma
Ariana Fatma
ASN di Pemkab Magetan. Seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.