Pekan ini publik diguncang oleh sejumlah bencana. Pertama, bencana alam gempa bumi berkekuatan 6,9 skala richter yang berpusat di perairan Banten. Gempa terasa sangat kuat di ibu kota Jakarta, terutama mereka yang berada di gedung-gedung tinggi. Untungnya gempa tidak diikuti oleh tsunami yang dikhawatirkan menyapu bagian barat Pulau Jawa dan selatan Pulau Sumatera.
Kedua, padamnya listrik secara luas di wilayah barat Pulau Jawa termasuk di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Blackout yang berlangsung selama beberapa jam mengganggu jaringan kereta listrik (KRL dan MRT), mesin tapping elektronik jalan tol, hingga layanan provider seluler yang menggunakan listrik PLN sebagai sumber daya tower BTS.
Gangguan yang melanda seputar ibukota ini makin memperparah situasi yang sudah semakin akut. Persoalan klasik kemacetan dan banjir musiman saat hujan, hingga yang memprihatinkan saat ini adalah polusi udara yang menempatkan Jakarta di peringkat pertama kota-kota di dunia.
Disadari bahwa Jakarta sebagai ibukota negara telah menanggung beban berat sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat kegiatan ekonomi. Pola pembangunan yang Jawa-sentris dan Jakarta-sentris telah mulai didobrak menjadi Indonesia-sentris selama kepemimpinan periode pertama Presiden Jokowi.
Tuntasnya pembangunan tol Trans-Jawa juga diharapkan dapat menyebar pertumbuhan ke seluruh Pulau Jawa, tidak hanya terkonsentrasi di Jabodetabek dan Surabaya.
Usulan pemindahan ibu kota ke Kalimantan menjadi tonggak baru pada periode kedua Jokowi, yang akan memperdalam anti-tesis terhadap era sentralisme warisan Orde Baru.
Gagasan tersebut sebetulnya telah dilontarkan jauh pada masa Bung Karno yang diwujudkan dengan pembangunan kota Palangkaraya. Saat itu Bung Karno meyakini bahwa Indonesia membutuhkan ibu kota baru yang modern dan terlepas dari konteks kolonialisme. Jakarta, seperti dicatat dalam sejarah, adalah bekas pos utama VOC dalam mengendalikan perdagangan rempah-rempah yang berkembang menjadi penjajahan selama berabad-abad.
Pemilihan Jakarta sebagai “ibu kota sementara” Republik setelah sempat mengungsi ke Yogyakarta antara lain juga didasari oleh watak multikultural sebuah kota. Jakarta tumbuh sebagai melting pot berbagai etnis Nusantara, seperti tecermin dalam toponimi kampung-kampung di Jakarta. Ada Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Makassar, Matraman, dan sebagainya.
Sayangnya, gejala menguatnya intoleransi selama Pilkada DKI 2017 telah menodai spirit Jakarta, merusak citra sebagai ibu kota yang ramah kepada semua golongan.
Tentu saja, pemindahan ibu kota bukanlah hal yang sederhana. Kita tidak bisa lari dari satu bencana (gempa, banjir, dan polusi) menuju bencana lain yang membayangi Kalimantan (kabut asap).
Ibu kota baru juga harus dilengkapi infrastruktur yang memadai, termasuk kelistrikan. Tidak boleh lagi ibu kota terkena blackout seperti kejadian kemarin. Tetapi tekad untuk membangun Indonesia baru dengan membuat ibu kota yang baru merupakan terobosan sekaligus penuntasan sesuatu yang tertunda sejak era pasca-kemerdekaan.
Jakarta, dan secara umum Pulau Jawa, harus dipulihkan kemampuan daya dukungnya bagi populasi maupun lingkungan hidup.