Jumat, April 19, 2024

Dengkul Bahar bin Smith dan Tingkat Kemiringan Pikiran Kita

Ben Sohib
Ben Sohib
Penulis novel dan cerita pendek.

Beberapa tahun lalu, saya tak ingat kapan persisnya, seorang kawan mengirimi video melaui WhatsApp berisi seseorang yang sedang berceramah. Karena jarak dan pencahayaan pengambilan gambar yang kurang bagus, wajah sang penceramah tak terlihat. Hanya sesosok manusia terlihat sedang duduk di kursi, berteriak-teriak dengan suara yang mengerikan.

Penceramah itu memakai gamis dan kerudung putih. Saat berteriak-teriak, badannya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti ular kobra. Di mata saya saat itu, ia lebih menyerupai hantu.

“Itu Habib Bahar bin Smith,” kata kawan saya kemudian. Dan itu untuk pertama kali saya mendengar namanya. Lalu saya berselancar di internet, mencari tahu lebih banyak tentang sosoknya. Ternyata ia pernah berurusan dengan polisi lantaran memimpin penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah dan sebuah kafe di Jakarta Selatan. Seorang habib preman lainnya, batin saya.

Seiring waktu, makin sering saya mendapatkan kiriman video ceramah-ceramahnya. Makian semacam bangsat dan goblok berhamburan dari mulut dai berambut gondrong itu. Saya tak habis pikir bagaimana bisa muncul habib serusuh ini.

Tapi keheranan saya rupanya belum seberapa. Sebab, kemudian saya mendapati fakta bahwa Bahar bin Smith dielu-elukan banyak habib kenalan saya.

“Bahar bin Smith penerus Habib Rizieq Shihab,” jawab mereka saat saya tanya alasannya. Ah, sekarang saya mafhum. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tapi tetap saja otak saya tak mampu memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan habaib.

Bagaimana bisa komunitas yang memiliki keterkaitan kuat dengan sejarah tokoh-tokoh dan ajaran yang mengagungkan akhlak mulia itu, tiba-tiba sebagian anggotanya berubah menjadi pengagum sosok-sosok berangasan seperti Bahar bin Smith?

Lagi-lagi keheranan saya itu belum seberapa. Sebab, tak lama setelah itu, saya menemui kenyataan bahwa Bahar bin Smith mempunyai komunitas penggemar dengan jumlah angggota mencapai ratusan ribu orang, poster dan kaos bergambar dirinya diperdagangkan.

Apakah ini sudah cukup? Belum. Sebab, selanjutnya saya mengetahui bahwa ulama yang mengecat rambutnya dengan warna emas ini, memiliki tempat yang istimewa di hati sejumlah politisi. Ia terhitung sebagai salah satu penceramah utama pada demo-demo besar di sekitar Monas. Ia juga terlibat aktif dalam kampanye pemenangan salah satu pasangan capres – cawapres.

Saya berharap itu sudah cukup. Tapi ternyata belum juga. Dalam satu kesempatan, Bahar bin Smith berpidato menyeru pengikutnya membuka celana Jokowi dan melihat apakah sang presiden itu sedang haid atau tidak.

“Beliau kan tokoh agama, di atas semua. Kalau tokoh agama, kiai, habib, itu menjadi panutan semua, dan apa yang disampaikan itu tentunya penuh makna,” kata seorang politisi mengomentari kasus ceramah jorok itu.

“Itu adalah reaksi yang manusiawi terhadap berbagai kasus ketidakadilan yang dialami sejumlah ulama, habaib, dan aktivis Islam,” kata politisi lainnya.

Melihat itu semua, saya merasa kita sebagai bangsa semakin lama semakin menjauhi kewarasan rasional. Maka saya berdoa agar Tuhan mencukupkan sampai di sini saja. Tapi, Alamak! Alih-alih terijabah, doa saya malah menjadi blunder.

Hanya dalam hitungan hari, muncul video yang menggemparkan itu: dengkul Bahar bin Smith menghantam wajah anak di bawah umur berkali-kali. Ada dua remaja yang menjadi korban penganiayaan, wajah keduanya bonyok. Mereka diperlakukan seperti itu gara-gara mengaku-aku sebagai keturunan habib. Bagi habaib baik-baik, perbuatan Bahar bin Smith itu sangat memalukan. Ia dianggap telah merusak secara parah citra habaib.

Dan bagi saya, aksi kekerasan itu juga melengkapi ketidakwarasan yang saya maksudkan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, jalan pikiran kita sering “miring-miring” tak karuan.

Buktinya, seorang penceramah yang pernah menghina bentuk hidung seseorang dan melontarkan ujaran rasis terhadap etnis dan agama tertentu, tiba-tiba meroket menjadi ulama paling berpengaruh dan hampir saja menjadi calon wakil presiden.

Seorang motivator dan seorang mantan vice president sebuah perusahaan energi yang tak becus berbahasa Arab, tahu-tahu menjadi ulama terkenal dan tampil di televisi mewakili “umat Islam”. Dan lain sebagainya.

Dan peristiwa penganiayaan yang dilakukan Bahar bin Smith itu, telah mempertontonkan bahwa tingkat “kemiringan” pikiran kita kian tajam. Lihat, beberapa politisi berupaya membela pelaku kebrutalan itu dengan berbagai cara.

Dari yang berdalih bahwa Bahar bin Smith sedang melatih bela diri, hinggga yang menganggapnya sebagai korban kriminalisasi ulama. Jika begini terus, saya khawatir kita akan punah. Oh, maaf, maksud saya … muntah.

Ben Sohib
Ben Sohib
Penulis novel dan cerita pendek.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.