PERISTIWA reuni alumni 212 yang digelar di Monas, Minggu (2/12) lalu, oleh mereka yang bangga dengan event tersebut, disebut sebagai peristiwa “spektakuler”.
Spektakuler, sebab mereka mengklaim acara itu dihadiri 11.000.000 orang! Angka inilah yang dipercaya Calon Presiden Nomor 02 Prabowo sebagai sebuah kebenaran.
Karena menganggap angka 11.000.000 bukan fiksi apalagi ilusi, ia tersinggung ketika pers (baca: media cetak dan elektronik serta wartawan), tidak menganggap reuni 212 sebagai sebuah peristiwa besar.
Prabowo pun kemudian menuding wartawan yang menganggap “angin lalu” reuni alumni Monas University sebagai antek penghancur NKRI.
Sebuah tuduhan yang menurut saya sangat serius. Tanpa disadari, tuduhan dan sentimen Prabowo kepada wartawan (media) secara langsung atau tidak langsung, melalui mulut Prabowo, reuni 212 telah diproklamasikannya sebagai hajatan politik.
Padahal panitia penyelenggara reuni 212 dan pihak-pihak terkait berkali-kali menegaskan reuni 212 hanya peristiwa keagamaan, meskipun di sana berkibar kain persegi empat beraksara Arab mirip bendera yang biasa digunakan organisasi terlarang, HTI, yang ingin menegakkan ideologi di luar Pancasila.
Lewat tulisan ini, saya tidak akan memasalahkan Prabowo melanggar UU Pemilu atau tidak. Tapi jika boleh bertanya Ia datang ke sana dalam kapasitas sebagai apa? Sebagai ulama kondang atau sebagai capres?
Bahwa kemudian dia marah-marah kepada wartawan dan media, dengan mudah kita menduga Prabowo datang ke Monas, lalu berpidato (meskipun tidak mengandung kampanye), adalah sebagai capres.
Ditutup-tutupi dengan dalih dan kalimat seindah apa pun, tidak bisa dimungkiri reuni 212 yang menurut pihak kepolisian dihadiri 40.000 orang itu adalah hajatan politik.
Sebagaimana dilansir banyak media, mayoritas yang hadir di sana adalah simpatisan dan kader sebuah partai dakwah, FPI dan HTI. Beberapa tokoh Partai Gerindra juga hadir.
Buat mereka yang tetap menganggap reuni 212 sebagai pesta keagamaan dan bukan hajatan politik, ayo kalian jujur dan silakan jawab tebak-tebakan berikut ini.
Andai saja Prabowo berorasi dan bertanya (tentunya sambil berteriak) seperti ini: “Saudara-saudara, demi NKRI yang lebih baik, saudara-saudara akan setia kepada Pancasila atau khilafah?”
Saya menduga, massa 212 pasti akan menjawab “khilafah”. Lho, jawabannya kok begitu, pikir Prabowo. Ia bertanya lagi: “Pancasila atau khilafah?” Massa pasti kembali akan menjawab: “Khilafaaaah”.
Awak media yang punya payung hukum UU Pers (UU Nomor 40/1999) dan Kode Etik Jurnalistik tentu punya penciuman tajam soal itu. Kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Memberitakan peristiwa di Monas yang sebelumnya didahului dengan promo-promo khilafah sama saja memberi angin segar buat pendukung gerakan itu.
Oleh sebab itulah tidak memberitakan peristiwa itu jauh lebih bermanfaat daripada memberitakannya. Pasalnya, pemberitaan media, diakui atau tidak oleh pihak-pihak tertentu dianggap sebagai “legalisasi” atas sebuah gerakan “makar” yang jika dibiarkan akan membahayakan negeri ini.
Pers nasional sadar bahwa jika mereka tidak ikut ambil bagian atau memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara, negeri ini lambat laun akan hancur.
Tak banyak yang tahu bahwa sebelum direvisi menjadi UU No 40 Tahun 1999, UU Pers telah beberapa kali mengalami revisi.
Saat UU Pers (UU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers) masih bernomor UU No 11 Tahun 1966, pers disebut memiliki fungsi dan tanggung jawab sebagai alat revolusi.
Ketika UU No 11 Tahun 1966 itu direvisi menjadi UU No 21 Tahun 1982, pers berfungsi dan bertanggung jawab sebagai media atau alat penyebarluasan informasi tentang pembangunan nasional. Harap dimaklumi, Presiden Soeharto (mertua Prabowo Subianto) saat itu sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan.
UU No 40/1999 yang sekarang berlaku adalah hasil revisi atas UU No 21/1982. Melalui UU ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Lewat UU yang “baru” ini, pers diberi kemerdekaan. Pasal 4
ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh
informasi terjamin.
Dalam UU itu memang tidak diatur tentang boleh tidaknya pers memberitakan sebuah peristiwa. Namun UU No 40/1999 mengatur bahwa kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Lihat, di sana ada tertulis “hati nurani insan pers”. Saya percaya saat “gegap gempita” reuni 212 dimasifkan lewat media sosial oleh pihak-pihak tertentu, para insan pers pasti terketuk hati nuraninya.
Bahwa kemudian banyak media yang akhirnya memutuskan tidak membesar-besarkan peristiwa reunian di Monas tempo hari, tentu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan itu. Bukan didasarkan suka atau tidak suka.
Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga telah beberapa kali mengalami perubahan. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Sebelumnya pasal itu tertulis seperti ini: “Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.”
Sekali lagi, insan pers pasti sangat paham dengan etika-etika tersebut dalam menjalankan profesinya. Sehingga, menurut saya, tidak benar jika ada yang menyimpulkan dan beropini bahwa pers belakangan ini pelan-pelan melakukan aksi bunuh diri karena mengabaikan independensi, apalagi menjadi antek penghancur NKRI.
Pers akan selalu bersuara, mungkin juga harus diam ketika negara dalam bahaya.[]