Kepanikan sekitaka itu terdengar, ketika suara lirih diujung telpon itu berkisah. Dengan sekuat tenaga mengumpulkan suara untuk berucap, seorang kawan mengatakan menantu nya terkonfirmasi Covid-19.
Ia bercerita bagaimana saturasi oksigen suami putrinya yang rendah. Rumah sakit rujukan penuh. Setiap layanan kesehatan yang didatangi seakan angkat tangan dengan membludaknya pasien.
Ia terdiam, tak tahu harus berbuat apa, sedangkan sang menantu butuh penangan segera menyusul nafas yang mulai tersengal.
Berbagai upaya juga telah dilakukan, telpone sana telpone sini. Hasilnya pun nihil. Ia tetap berjuang berihtiar. Kontak yang dikirim ke pada kawan seakan menjadi harapan.
“Aku udh tlp dokternya, sedang dicarikan RS,” tulis dia di pesan whatsapp.
Seketika kepanikan itu mereda, harapan mendapatkan penanganan menjadi tanda. Satu, dua, tiga hingga beberapa jam, jawaban untuk mendapatkan rumah sakit secara segera belum terdengar.
Untuk sementara penanganan di kampung Tangguh menjadi solusi. Hingga akhirnya kabar di status menjadi duka.
“Covid telah merenggut kebahagiaan anak dan cucuku. Selamat jalan di keabadian,” tulisnya.
Entah berapa orang lagi yang mengalami hal serupa. Saya yakin tenaga kesehatan di garda terdepan berjibaku memberikan penanganan. Mereka seakan tidak lelah, meski jiwa raga tersayat melihat membludaknya pasien. Bahkan terpapar virus kemungkinan besar terjadi.
“Enggeh mas.. Mohon maaf sya masih isoman. RIK kami masih penuh pak.. Pagi ini td ngendon di IGD 16 pasien,” ucap salah satu tenaga medis disalah satu rumah sakit di Surabaya Barat, dalam pesan whatsapp nya.
Hal sama menimpa, seorang tetangga. Saat ini ia tidak tahu harus berbuat apa. Suami yang menjadi tulang punggung berpulang karena positif Covid-19.
Dia tak menyangka, kedua anaknya yang masih kecil sekarang menjadi Yatim. Sepeninggal suami ia bingung. Menggantikan suami sebagai ojek online ia juga tidak berdaya karena tidak bisa mengendarai motor. Disatu sisi perempuan asal Bojonegoro ini juga bingung untuk mencari nafkah untuk sang buah hati.
“Gimana kalau kita antar, pulang ke desa aja Bu. Disini sendirian juga,” kata Bu RT ketika berbincang dengan tetangga yang baru saja ditinggal suaminya karena Covid-19.
Terlihat, perempuan yang kerap disapa Bu Budi ini menunduk. Ia tak bisa berkata dan memutuskan. Hanya ucapan kecil yang terdengar,” Ya Bu coba saya pikirkan ya Bu,” terangnya.
Seorang teman juga pernah berujar, menyikapi pandemi Covid-19, tinggal kita sendiri yang harus menjadi Pahlawan. Tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga sekitar. Tidak perlu saling menyalahkan siapa benar dan siapa salah. Covid-19 masih menjadi ancaman. Semua orang bisa saja terpapar. Namun ikhtiar bisa jadi cara..Tetap jaga Imun, Prokes.