Harari, sang “peziarah peradaban umat manusia”, tidak secara khusus bicara tentang penyakit yang kini tengah menghebohkan seisi dunia itu. Tapi ia memberi cara berpikir untuk mengerti betapa tak mudahnya mendapakan solusi perkara yang terkait dengan relasi kesadaran sosial yang kompleks itu.
Covid-19, jenis penyakit ini sepintas terkesan meremukkan batas-batas kelas sosial. Batas-batas itu lumer karena Covid-19 menyasar secara acak dari 8 penjuru mata angin. Tak peduli ia kaum bangsawan berdarah paling biru atau tukang siomay yang biasa keliling di komplek perumahan.
Pada suatu masa, ada imajinasi jenis-jenis penyakit tertentu terasosiasi dengan kelas tertentu. Busung, gondokan, lepra, TBC dan semacamnya, jadi trade mark penyakit kaum miskin. Serangan jantung, hipertensi, stroke satu-dua kasus melekat pada orang berpunya. Bukankah ada canda macam begini: “Sakit kok mencret, elite dikit napah..”
Tapi perubahan lingkungan alam dan sosial, bikin trade mark itu pudar. Banyak rakyat biasa sekarang terkena stroke juga. Beberapa penyakit populer tempo dulu di jaman susah memang nyaris punah, seperti lepra, cacar dan sejenisnya. Rakyat biasa ikut naik kelas; bukan status sosialnya tapi penyakitnya. Menyakitkan sekali.
Seorang buruh kasar di Inggris atau Canada yang terpapar corona tak merasa sedikit pun terhibur hanya karena Pangeran Charles (konon) dan istri Perdana Menteri Canada terpapar juga. Yang disebut terakhir juga tak merasa terancam gengsi kelasnya hanya karena menderita sakit yang sama dengan buruh kasar. Sebab secara objektif Corona adalah musuh kehidupan bersama. Sampai di sini clear sudah.
Tapi, betulkah batas-batas kelas itu lumer karena Covid-19? Tidak juga karena ekses sosial yangg ditimbulkannya jauh lebih rumit dari penyakitnya itu sendiri. Kebijakan lock down, social distancing, tidak keluar rumah, yang disebut-sebut untuk memutus mata rantai penularan adalah perkara yang tak sederhana untuk dilakukan, karena fakta keras status sosial warga yang tak sama.
Meminjam kerangka berpikir Noah Harari (Homo Sapiens), kita mau tak mau harus berhadapan dengan realitas/faktor kesadaran “objektif” “subjektif” dan “inter-subjektif”.
Yang pertama (realitas objektif). Ini domain ilmu pengetahuan terkait corona sebagai gejala alam. Soal hukum sebab akibat yang dingin dan bukan wilayah spekulasi.
Yang kedua (realitas subjetif) terkait fakta status sosial individu warga yang tak mungkin sama. Seorang buruh harian, misalnya, benar-benar akan dihadapkan dua pilihan getir: Bertahan di rumah beberapa lama dengan resiko mati sekeluarga (karena tak ada lagi yang bisa dimakan), atau keluar rumah cari makan dengan kemungkinan terpapar corona (ada keyakinan minimal belum tentu terpapar atau terpapar tapi blm pasti mati.
Pada level individu-individu saja terbayang betapa susahnya kesadaran akan bahaya corona berbuah tindakan yang efektif. Bukan tidak sadar, tapi status sosialnya yang menjepit.
Yang ketiga, pada level kesadaran “inter subjektif” atau “antar subjektif”. Ini jauh lebih rumit lagi, karena kedadaran itu berupa hubungan yang saling menguatkan di semua entitas sosial dan lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta yang di dalamnya berisi individu-individu juga.
Maka, jutaan manusia dalam jaringan yang rumit, baik individu-individu maupun kelembagaan, harus disadarkan secara serentak untuk lawan corona dengan segala ekses sosial yang ditimbulkannya.
Misalnya, mau atau beranikah otoritas tertentu (pemerintah, swasta) melakukan: Memotong separuh gaji PNS di eselon tertentu; gaji anggota DPR; menghentikan proyek-proyek infrasrtuktur; perjalanan dinas, dan seterusnya.
Semua biaya itu dikonsolidasikan untuk mencegah Corona, termasuk memberi makan jutaan rakyat miskin untuk jangka waktu yang belum bisa dipastikan?
Sampai di situ kita masih harus kalkulasi: duitnya ada gak? Cukup gak? Bagaimana kalau krisis ekonominya menyeluruh? Ya Allah, pelik banget.
Saya tidak tahu, apakah yang semua dikemukakan ini ekspresi kepanikan yang berlebihan sehingga nampak menjadi begitu kelam, atau semacam “sense of crisis” yang normal?
Tidak di zaman purba, tidak pula di zaman modern.
Reaksi manusiawi paling alamiah jika berhadapan dengan ancaman yang rumit, massif dan sukar diprediksi, muncul sejenis “mitos-mitos baru”, dengan efek yang sukar dimengerti manfaat dan mudaratnya.
Saya percaya pada kuasa Tuhan, tapi kita harus menghampiri takdir dan kuasanya dengan ikhtiar yang lebih bertanggung jawab: pada diri sendiri, pada sesama; dan pada alam semesta.