Semenjak Jokowi menggandeng Ma’ruf, suara-suara golput mengemuka. Ada banyak kalangan menyerukan golput karena Jokowi (dan, ingat, koalisinya!) menggandeng sosok yang dikenal menjadi simbol intoleransi, konservatif, dan anti pada pluralisme dan sekularisme. Selain itu, para penyeru golput itu juga membuat banyak daftar lain tentang apa dan alasan mengapa harus golput.
Anehnya, ada banyak fans dan pendukung Jokowi yang kebakaran jenggot dengan seruan golput itu. Para pendukung Jokowi saat ini begitu sangat gencar memburu dan menyesakkan pendapat-pendapatnya kepada mereka yang golput ini. Mereka ini sepertinya benar-benar murka atas seruan-seruan itu. Ada banyak alasan murka mereka terhadap para penyeru golput. Sepertinya mereka tidak siap dengan golput. Bayangkan, di alam demokrasi ini ada orang yang begitu ngotot bahwa golput itu haram dan terlarang.
Hal yang paling mengerikan adalah kalimat semacam, “Kalau nggak pilih Jokowi, kau akan menolong kubu sebelah.” atau, “Kalau bukan berada di sini, maka kau berada di sana”. Atau yang paling parah, mengancam bahwa mengampanyekan golput bisa dipidanakan. Hal ini adalah cara pandang bipolar, cara pandang yang melihat politik Indonesia hanya ada dalam dua kutub: Jokowi dan Prabowo. Lebih brengsek lagi, pandangan itu berubah menjadi simplistis, menjadi hitam vs putih, atau jahat versus baik. Pilihan lainnya tak ada. Kubu selainnya dianggap tak ada dan tak mungkin ada.
Apakah angka golput ini signifikan? Sepertinya iya. Dari data Pilpres 2014, kita tahu bahwa angka itu mencapai 57 juta suara (29% dari daftar pemilih). Tapi kita juga tahu bahwa dengan angka golput yang tinggi itu, Jokowi masih menang. Lalu apa yang dikhawatirkan para pengusung Jokowi-Ma’ruf sekarang ini?
Saya hanya kasihan pada mereka yang terjebak pada cara pandang bipolar ini. Kalau dalam pelajaran biologi, saya teringat tikus. Hewan pengerat ini hanya mampu memandang dunia dalam pandangan monokrom. Meskipun perumpamaan hewan pengerat itu tidak sepenuhnya tepat, adalah hal yang mengibakan hati ketika menyaksikan bahwa ada orang yang tidak bisa melihat spektrum cahaya lebih lengkap. Oh, sungguh kasihan.
Siapakah Para Penghujat Golput?
Jika ada pertanyaan tentang siapa sajakah yang kerap memburu dan menghujat golput dalam waktu belakangan ini, etidaknya kita dapat kelompokkan mereka menjadi:
Pertama, adalah mereka yang kerap menuduh golput sebagai seekor ‘kampret’ yang sedang menyamar menjadi ‘cebong’. Para penuduh jenis pertama ini biasanya orang awam, tepatnya pengetahuan politiknya awam. Apa yang mereka tahu cuma sebatas figur-figur capres-cawapres pilihan yang bersaing, namun tak berupaya mendalami bagaimana figur itu bisa hadir di hadapan mereka dan kertas suara di bilik suara nantinya. Mereka juga tidak memahami dan mendalami bahwa setiap tindakan dapat dilatari berbagai alasan dan cara pandang, termasuk menjadi golput pada pilpres (mungkin juga pileg) kali ini.
Kedua, yang agak argumentatif, adalah mereka yang sebenarnya orang baik, dan punya secukupnya pengetahuan tentang figur-figur pasangan capres-cawapres. Sayangnya mereka adalah para pemaaf, permisif, dan memiliki standar politik yang relatif rendah. Standar pilihan minimal mereka biasanya adagium moralitas seperti “yang lebih sedikit tingkat kejahatannya dari yang terjahat” atau “tak ada yang ideal dalam politik, semuanya mesti dikompromikan”. Alasan-alasan dan standar itu saja sudah cukup buat mereka. Oleh karenanya mereka merasa aneh jika ada yang golput.
Ketiga, adalah para pendukung Prabowo yang mengambil kesempatan untuk membela preferensi pilihan mereka itu. Jika bisa, saran mereka, jangan golput, tapi pilih Prabowo-Sandi. Mereka sebenarnya juga bukan para pluralis atau sekularis, bukan pemaaf, dan sering tidak argumentatif. Saya juga tidak tahu mengapa para pendukung Prabowo yang argumentatif sangat jarang ada di media sosial.
Yang keempat, tentu saja para pemancing kegaduhan dan pelantun ad-hominem. Mereka ini adalah ‘lumpen-pilpres dan pileg’. Biarkan saja, mereka akan jadi pupuk-bawang demokrasi.
Ketakutan yang Dihembuskan
Mereka, para pemburu dan penghujat golput, mencapai taraf yang miris di minggu-minggu ini. Mereka sudah sampai pada taraf setengah memaksa dan meneror para golputer untuk memilih secara verbal. Ya, pada minggu-minggu ini di media sosial, kita menyaksikan permusuhan begitu meruncing antara pendukung Jokowi, yang kerap mengidentifikasi dirinya sebagai ‘cebong’, versus mereka yang mendeklarasikan dirinya akan golput. Setidaknya itu yang sedang ramai paska wacana dan polemik pembebasan Abu Bakar Ba’asyir.
Keanehan seputar kekhawatiran atas golput yang menguat tak berhenti sampai di situ. Desas-desus yang kembali dihembuskan adalah “kalau Prabowo-Sandi berkuasa, kita akan kembali ke zaman Orba”, katanya. Atau “Kalau Prabowo-Sandi dan Cendana berkuasa lagi, akan ada penculikan besar-besaran seperti jaman Soeharto”. Begitulah kira-kira ketakutan dan teror secara selentingan disebarkan. Buat saya, hal ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Soeharto dan rezimnya dengan kata “Otoriter” dan “Diktator” di masa lalu. Bukankah Soeharto pernah menggunakan dua kata itu, bersama kata “komunis” dan “PKI”, dan menisbatkannya pada sosok Soekarno dan Demokrasi Terpimpin-nya untuk meneror masyarakat demi melegitimasi Orde Baru yang ia ciptakan. Tepat seperti itulah yang terjadi hari ini, mereka koar-koar anti-Orba, tapi sayangnya mereka mengidap Orbaisme. Aneh, bukan?
Permusuhan Salah Arah
Keputusan untuk memusuhi kalangan golput yang dilakukan oleh sebagian relawan dan/atau buzzer Jokowi-Ma’ruf sebenarnya sebuah kesalahan fatal yang salah arah. Ya, selain saya, ada banyak orang yang meyakini bahwa permusuhan itu salah arah. Sebagaimana sudah saya sebutkan, kemunculan wacana golput kali ini dimulai setidaknya saat Ma’ruf Amin diputuskan untuk menjadi pasangan Jokowi dalam pencalonan ini sebelum kemudian bertambah magnitudonya dengan wacana pembebasan tanpa syarat atas Abu Bakar Ba’asyir, seorang narapidana tindak terorisme (yang akhirnya dibatalkan). Permusuhan dan perang digital dunia maya pun dimulai dan meruncing.
Sayangnya, para relawan dan/atau buzzer kubu Jokowi-Ma’ruf mengarahkan peluru digitalnya kepada kalangan golput, dan bukan kepada partai koalisi yang menekan Jokowi saat memilih Ma’ruf Amin ataupun lingkar inti dan para pembisik Jokowi dalam wacana pembebasan ABB. Kita bisa lihat bagaimana para elit dan petinggi partai koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf tenang-tenang saja. Mereka yang ribut dan berusaha merasionalisasi setiap langkah yang diambil Jokowi dalam kontestasi ini adalah terutama para simpatisan, relawan, dan/atau buzzer-nya yang nota bene dan tak jarang adalah teman dari para penyeru golput di minggu-minggu belakangan ini. Pendeknya, apa yang terjadi di berbagai platform media sosial pada minggu-minggu ini adalah polemik antara para fans Jokowi (termasuk juga fans Ahok, Basuki Tjahaya Purnama) yang kini terbagi dua: 1.) kubu yang merasionalisasi, dan 2.) kubu yang mengkritisi. Tapi sayangnya, mereka yang merasionalisasi itu salah pilih lawan, tepatnya salah dalam mendefinisikan lawannya. Ya, para relawan dan/atau buzzer Jokowi-Ma’ruf ini salah cari lawan.
Jika kita bertanya pada kedua kubu ini, saya yakin kedua kubu ini akan bersepakat bahwa Jokowi adalah: orang baik, sederhana, namun tak kuasa di tengah para Oligarkh. Atas dua hal di awal yang saya sebut itu barangkali mereka sepakat dan tidak mempermasalahkannya, namun pada hal yang terakhir kedua kubu berbeda, terutama dalam cara menyikapinya.
Kubu pertama –kubu Cebong– berusaha memaafkan dan memaklumi posisi Jokowi itu untuk kemudian memperlihatkan bahwa Jokowi tetap orang baik seraya merasionalisasinya dalam berbagai status dan cuitan di media sosial, sementara kubu kedua –kubu para penyeru– golput, berupaya untuk memberi kritik atas ketakberdayaan Jokowi itu. Bukankah ia seorang presiden? Kubu ini sepertinya berpendapat bahwa orang baik yang tak berdaya di pusat kuasa sama tak bergunanya dengan seorang tukang meubel biasa yang tak punya kuasa. Lantas buat apa?
Jika poin yang saya utarakan di atas dapat diterima, saya kira kedua kubu sudah dapat mengidentifikasi lawannya dengan jelas sekarang, yakni para elit partai politik dan/atau pembisik istana yang menekan Jokowi. Kepada merekalah segala kritik dan tekanan harus diberikan. Pemilu dan pilpres bukanlah ruang untuk memilih “penjahat yang lebih sedikit kejahatannya” untuk berkuasa. Sebaliknya, pemilu itu harusnya menjadi media untuk “memilih yang terbaik dari mereka yang baik”. Sayangnya, partai politik, elit dan koalisinya, tak ada yang mengarah ke situ. Penunjukan Ma’ruf Amin dan wacana pembebasan ABB memperlihatkan hal itu setidaknya, segamblang-gamblangnya. Sampai di sini masihkah kita diharuskan untuk memilih “the lesser evil”?
Pada titik ini saya jadi ingat ujar-ujar tentang apa itu kebaikan dan bagaimana kebaikan harus diajarkan, “Kau tak perlu memaksakan apa-apa yang kau anggap baik kepada orang lain. Jika itu memang baik, oranglah yang akan mengambilnya darimu; bahkan, sangat mungkin, orang yang akan mencurinya darimu diam-diam. Jika tidak demikian yang berlaku, percayalah, sepertinya pilihanmu itu belum/tidak cukup baik”.