Carolyn, wanita aristokrat Jerman keturunan Raja Prusia, masuk Islam, tahun 1907. Masuk Islamnya Carolyn, menggemparkan orang Jerman saat itu. Maklumlah, awal abad ke-20, wajah Islam di Eropa masih terlihat prengus dan kotor. Propaganda politik dan media massa di Eropa terhadap wajah Islam yang bengis dan menakutkan, masih menghantui bangsa Jerman.
Masuk Islamnya Carolyn, barangkali adalah momentum penting dari “perkenalan’ Islam di Jerman – negara termaju dan terbesar di dunia saat itu, setelah Inggris Raya (Great Britain). Islamnya Carolyn pun membawa dampak besar: orang Eropa, khususnya Jerman, mulai sedikit mengurangi “alergi”nya kepada Islam.
Keterkejutan berikutnya, terjadi lagi di tahun 1982. Sebuah masjid besar berdiri di Kota Pedro Abad, kota kecil di Provinsi Cordova, Spanyol. Masyarakat Spanyol ramai membincangkan berdirinya masjid “Basyarah” yang megah itu, karena – inilah masjid pertama yang dibangun di Spanyol dalam kurun 750 tahun setelah musnahnya kejayaan Islam di Eropa yang berpusat di Negeri Matador itu.
Bagi bangsa Eropa Barat yang pernah diduduki imperium Islam selama 750 tahun, kehadiran masjid tersebut membangkitkan kembali kenangan kekalahan Eropa yang Kristen di tangan Imperium Turki Osmani yang Islam.
Lalu, 21 tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, masyarakat Eropa kembali dikejutkan oleh berita dibangunnya masjid Islam termegah dan terbesar di Eropa Barat yaitu Masjid Baitul Futuh, di distrik Morden, kota London, Inggris. Majalah berkala di Inggris The Informer menyebutkan bahwa masjid Baitul Futuh merupakan salah satu bangunan dari 50 bangunan terkenal dan terbaik di dunia.
Pada tahun 2003, masyarakat Eropa juga dibuat tercengang dan kagum ketika media-media Eropa memberitakan bahwa umat Islam di Jerman dalam kurun waktu 50 tahun ke depan akan membangun 100 buah masjid di seluruh Jerman. Salah satunya yang telah sangat menggemparkan masyarakat Jerman, khususnya masyarakat kota Berlin, ialah pembangunan Masjid Khadijah di Kota Berlin, pada akhir 2008. Setelah itu, menyusul peresmian masjid Mubarak di distrik Saint Prix, Paris, Prancis.
Orang Eropa yang menghargai kebebasan dan hak asasi manusia, tampaknya menyokong pembangunan tempat-tempat ibadah Islam tersebut. Ini terjadi karena ajaran Islam yang disebarkan di masjid-masjid itu mengusung tema love for all, hatred for none (cinta kepada siapa pun, tidak benci kepada siapa pun). Saat ini, sudah ribuan, bahkan jutaan buku sudah diterbitkan di Amerika, Eropa, Asia, dan Australia oleh umat Islam yang membangun masjid-masjid megah di Eropa tersebut. Jutaan orang telah diajak memahami Islam yang agung, mulia, dan penuh kasih melaui buku-buku itu.
Jika kini Islam berkembang di Eropa dan Amerika dengan persepsi masyarakat setempat bahwa Islam itu santun, humanis, dan kreatif serta mewajibkan umatnya untuk “berwirid dengan membaca, menelaah, dan menulis buku” maka semua itu menunjukkan bahwa Islam memang agama yang luar biasa, maju dan progresif.
Di pihak lain, nun jauh dari Eropa, dalam sebuah pengajian akbar yang dihadiri ribuan umat Islam di Yogyakarta, awal tahun 1980-an, seorang da’i terkenal KH Ir. HA Syahirul Alim, Msc, Dosen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UGM, dengan bangga menyatakan bahwa akhir abad 20 merupakan momentum kembalinya Islam di pentas ilmu pengetahuan tingkat dunia.
Saat itu, umat Islam di seluruh dunia sedang menikmati euphoria “Nobel Fisika” yang diterima Prof. Dr. Abdus Salam dari Pakistan pada tahun 1979. Prof. Dr. Ahmad Baiquni, ahli fisika nuklir, yang bersahabat baik dengan Abdus Salam diundang ceramah di mana-mana di Indonesia untuk menjelaskan kesesuaian ayat-ayat Alqur’an dengan ilmu pengetahuan alam yang telah mengantarkan Abdus Salam meraih Nobel Fisika yang amat bergengsi itu. Penerbit Pustaka Bandung, secara khusus menerbitkan buku kecil berjudul Islam dan Ilmu Pengetahuan karya Prof. Baiquni yang di dalamnya menjelaskan penemuan sang nobelis Abdus Salam tersebut.
Salam menjadi penerang sains Islam dan menjadi penggugah kaum muslimin untuk kembali meraih kejayaan di bidang sains yang pernah digengamnya pada abad ke ke-7 sampai ke-15, tulis Republika. Harian Islam terbesar di Indonesia ini juga memuji Salam sebagai saintis Islam terbesar dan ilmuwan muslim pertama yang mendapatkan hadiah nobel paling bergengsi di bidang fisika atom di tengah terpuruknya sains Islam dalam lima abad terakhir.
Abdus Salam kelahiran Pakistan 29 Januari 1926 itu meraih gelar doktor fisika dalam usia 26 tahun dari Cambridge University, Inggris. Abdus Salam dalam penelitiannya berhasil menemukan fakta bahwa sesungguhnya semua gaya yang ada di jagad raya – yaitu gaya gravitasi, elektromagnet, nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah hakikatnya merupakan satu kesatuan.
Ide penelitian Abdus Salam ini, menurut pengakuannya, terinspirasi dari pernyataan Alqur’an dalam Surah Al-Mulk ayat 3 tentang keseimbangan ciptaan Allah. Abdus Salam meninggal tahun 1996.
Dunia Islam berbelasungkawa amat dalam atas kepergiannya. Dua pemimpin Pakistan yang amat bermusuhan, Benazir Bhuto dan Ziaul Haq, bersatu memberikan gelar pahlawan Pakistan sejati untuknya. Kerajaan Arab Saudi yang menggelar karpet merah ketika Abdus Salam datang ke Tanah Suci ikut belasungkawa atas wafatnya Salam. Mereka sayang kepada Abdus Salam karena beliau telah mengharumkan nama Islam di pentas internasional.
Lalu, siapakah Prof. Abdus Salam yang punya energi luar biasa untuk mencari titik temu ayat-ayat Alqur’an dengan ilmu pengetahuan alam itu? Umat Islam yang mana yang membangun masjid megah di Spanyol setelah 750 tahun nama Islam terkubur di Negeri Real Madrid itu? Buku karya siapakah yang berhasil mengislamkan Carolyn, wanita bangsawan Prusia yang kemudian membalikkan citra Islam di Jerman itu?
Ternyata, mereka semua adalah orang-orang Ahmadiyah. Abdus Salam adalah orang Ahmadiyah. Yang membangun masjid di Spanyol juga orang Ahmadiyah. Buku yang dibaca Carolyn juga karya orang Ahmadiyah.
Orang-orang Ahmadiyah punya banyak prestasi luar biasa karena punya prinsip mendahulukan cinta dan karya dalam beragama. Salah satu tafsir Alqur’an yang fenomenal di dunia, The Holy Quran, karya Maulana Muhammad Ali, intelektual Ahmadiyah, menjadi bacaan yang menginspirasi tokoh-tokoh pejuang Indonesia seperti Bung Karno dan HOS Cokroaminoto. Di dunia, The Holy Quran juga menjadi rujukan kajian Islam di Eropa dan Amerika.
Tapi bagaimana kini di Indonesia? Orang Ahmadiyah yang telah mengharumkan nama Islam di dunia internasional itu, kini ditendang. Rumahnya dihancurkan. Mereka dicerca, mereka disiksa. Negeri dengan 200 juta umat Islam itu lupa, bahwa sumbangan Ahmadiyah terhadap syiar Islam itu luar biasa. Orang Ahmadiyah yang jumlahnya ratusan juta di dunia tampaknya hanya bisa bersabar menunggu redanya amarah masyarakat Indonesia yang, katanya, cinta Rasul Muhammad itu.
Seandainya umat Islam bertanya kepada Jalaluludin Rumi dan Ibnul Arabi, apa bedanya antara Jamaat Ahmadiyah dan Jamaah Islam Ahli Sunnah, maka jawabannya niscaya seperti ini: kedua jamaah ini sama-sama mencintai Allah dan RasulNya, Muhammad. Sampai titik ini, marilah kita merenung: Rasulullah diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia; agar sesama manusia saling mengasihi dan saling menyintai. Bukan sebaliknya, menyerang dan menyiksa manusia hanya karena perbedaan paham seperti di Pandeglang, Kuningan, dan Bogor.
Andai Carolyn masih hidup sekarang, mungkin ia akan menangis. Islam Ahmadiyah yang dicintainya, kini “ditekuk” hampir semua orang yang mengaku Islamnya kaffah. Padahal, Carolyn jatuh cinta kepada Ahmadiyah karena ajaran kasih sayangnya.
Ya, jika Ahmadiyah yang tersebar di dunia, niscaya tak akan ada bom bunuh diri; tak akan ada ritual pemancungan kepala di Suriah; tak akan ada pengusiran manusia di Madura; tak akan ada penghancuran masjid di Kuningan; dan tak akan ada terorisme yang menggemakan Allahu Akbar. Catat, hanya orang Ahmadiyah yang berani mengusung Islam dengan tagline “love for all, hatred for none” di dunia, jauh sebelum radikalisme Islam meruyak di mana-mana. Dan kaum Ahmadi membuktikannya. Sampai sekarang.