Kamis, Oktober 3, 2024

Candu Pak Jokowi Pada Militerisme

Jika ada satu ketergantungan yang tidak bisa dilepaskan dalam lebih dari tujuh dekade Negara kita berdiri, maka militerisme adalah jenis narkobanya. Adiksi yang muncul akan machoism dan banyak keunggulan-keunggulan lain yang tergambar dari tiap sosok dibalik baju loreng seperti sudah mendarah daging. Tangguh, nasionalis, patriotik, berdedikasi, militan, berjiwa korsa, berjajar sebagai satu paket lengkap daftar kriteria manusia yang diharapkan muncul dari kegiatan seperti pendidikan karakter dan belakangan juga bela negara, sungguh sebuah revolusi mental bukan?.

Banyak dari kita seolah panik saat Kepala Pemerintahan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengutarakan gagasan bedol markas para jenderal. Surplus ratusan petinggi TNI ini akan diperas untuk puluhan posisi tinggi di tiap kementerian. Memperkuat ramalan bahwa semua akan militer pada waktunya.

Ide yang alibinya seperti tak peka terhadap lebih dari 7 juta pengangguran sejati ini akan jadi poin besar dan utama dalam upaya Revisi Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.  Sebuah kondisi yang menurut banyak kalangan sebagai kembalinya dwi fungsi ABRI (bukan Aburizal Bakrie for RI ya). Sebuah analisis yang tentunya lahir dari mereka yang sudah cukup banyak umurnya, sebab belum banyak dibahas oleh kita yang muda seperti Tsamara atau subscribernya Ria dan Atta.

Dwi (atau bahkan multi) fungsi ABRI ini bahkan sudah mengemuka sebelum fase sejarah yang sangat militeristik yakni orde baru berkuasa. Bertambahnya area misi militer selain peperangan yakni di dunia politik pemerintahan menjadi strategi yang dikemukakan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution (Kepala Staf Angkatan Darat ABRI di era 50’an saat misi peperangan dengan pasukan negara lain jauh berkurang). Pemikiran ini dianggap sebagai jawaban dari berbagai tipe terganggunya stabilitas nasional.

Konsep yang juga identik dengan istilah “Jalan Tengah” ini membuat militerisme bagaikan narkoba yang disebar masif di kepala tiap warga negara saat orde baru. Banyak jabatan publik seperti wakil presiden, menteri, kepala daerah hingga anggota parlemen diisi oleh anggota ABRI aktif. Mungkin jika di masa itu sudah ada ajang Indonesian Idol atau Dangdut Academy mungkin pemenangnya didominasi oleh tentara yang akrab dengan merdunya letusan senjata.

Overdosis akan militerisme di negara kita menghasilkan efek samping berupa berantakannya tata kelola pemerintahan sehingga berujung kritis dan meletuplah reformasi yang ditandai dengan harus mundurnya Presiden Soeharto dari istana. Rusaknya fungsi tubuh bangsa tentulah harus diobati dengan fase rehabilitasi, perlahan tak ada lagi anggota aktif TNI dan POLRI yang bergabung menjadi anggota partai politik atau jadi bagian eksekutif dan legislatif negara ini.

Sebagaimana proses rehabilitasi yang harus dijalani oleh para pecandu narkoba, bangsa ini juga tidak bisa lepas dari sakau akan militerisme yang dioplos dalam banyak segi bidang sosial politik. Para pengedarnya pun tidak dihukum Negara, sebut saja deretan nama jenderal yang diduga kuat ada dibalik serangkaian pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sebab hukum tak mempan mengubah nasib mereka, eksistensi keterlibatan mereka mengedarkan militerisme juga tak bisa dihentikan.

Prabowo Subianto eksis di Partai Golkar sebelum melesat bersama partai yang didirikannya, Partai Gerindra yang mengantarkannya sekali menjadi calon wakil presiden dan setidaknya sudah 2 kali mencalonkan diri menjadi presiden Negara ini. Wiranto sudah mencicipi terlebih dahulu menjadi calon presiden selang hanya 6 tahun pasca kita merayakan reformasi, mendirikan Partai Hanura dan kini menjadi deretan jenderal penghuni Istana pimpinan Jokowi – Jusuf Kalla.

Nama-nama lain seperti Hendropriyono hingga LBP juga masih dengan leluasanya mengurusi perpolitikan Indonesia. Seksinya dunia politik praktis juga memaksa Agus Harimurti Yudhoyono pensiun dini untuk meneruskan trah keluarga di Partai Demokrat meskipun harus mencicipi pahitnya kekalahan saat bersaing untuk posisi Gubernur DKI Jakarta.

Bukan hanya partai politik yang jadi wilayah sasaran peredaran narkoba jenis militerisme, banyak sendi kehidupan sipil juga disusupi. Terakhir, Presiden Jokowi sampai harus membuat Peraturan Presiden untuk menyediakan jabatan tertinggi di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bisa diisi oleh anggota TNI/POLRI aktif.

Bahkan sepakbola yang merupakan cara kita sejenak melupakan masalah juga tak luput jadi bancakan unsur militerisme. Begitu panjang sejarah keterllibatan anggota militer aktif di tubuh PSSI sebelum Jenderal Edy Rahmayadi. Kita juga hanya bisa melongo saat TNI mendirikan PS TIRA (kini merger dengan PERSIKABO) dan POLRI mendirikan Bhayangkara FC (jadi juara di Liga 1 2017). Mirisnya, ada banyak cabang olahraga lain juga memiliki kondisi yang kurang lebih sama dengan ketergantungan ini.

Media massa seperti banyak stasiun TV nasional juga menjadi perantara penerimaan kita akan hidup yang seolah jauh lebih baik jika kesemuanya melibatkan militerisme. Program seperti 86 begitu digdayanya mengisi layar kaca NET TV 7 hari dalam seminggu. Dulu kita juga  pernah bertahun-tahun dipaksa menerima konsep bahwa anak-anak bandel patut menerima ganjaran pelatihan pola hidup disiplin lewat program Basecamp di Trans7. Sejumlah program tv lain bahkan film layar lebar juga tak putus diupayakan menjadi produk yang dikonsumsi oleh banyak orang.

Maka langkah demi langkah mundur kita sebagai bangsa menyikapi bagaimana seharusnya memposisikan militerisme dalam kehidupan sebuah Negara akan menjadi lompatan jauh ketika rencana yang dikawal langsung oleh LBP akan tercipta. Jangan mau lupa bahwa ada kekurangan dibalik kemewahan tampilan a la militerisme. Pola kebijakan komando, ranah urusan yang jauh berbeda sejak proses pendidikan hingga potensi keberulangan tindak kekerasan yang mengancam keselamatan dan keamanan kita semua sebagai warga negara.

Banyak lembaga, akademisi, hingga individu yang peduli akan supremasi kita sebagai warga sipil tengah mengupayakan perlawanan bagi LBP dan jajaran yang mempertanyakan pihak-pihak yang keberatan. Kita bisa cari info setidaknya dari petisi daring yang dibuat oleh Koalisi Masyarakat Sipil di Change.org. Di Kamis 21 Februari 2019 juga telah dilaksanakan aksi massa menolak kembalinya dwi fungsi ABRI bersamaan dengan Aksi Kamisan ke-575, sepertinya akan disusul banyak kegiatan pendidikan publik seputar ini.

Jika Negara melalui Presiden Jokowi kerap resah akan peredaran narkotika dengan mengeluarkan narasi darurat narkoba. Kini saatnya kita bersama-sama kabari Presiden akan bahaya laten dwi fungsi ABRI dengan melawan darurat militerisme.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.