Laporan panjang Andreas Harsono memuat cerita penciptaan lagu Surat Untuk Wakil Rakyat yang dimasukkan dalam album Wakil Rakyat (1987). Iwan Fals dan seorang kerabat bernama Muhammad Ma’mun sedang membaca harian sore Sinar Harapan yang memuat foto anggota-anggota parlemen ketiduran saat sidang.
“Wah, ini perlu disentil, To,” kata Ma’mun. Iwan menyanding gitar dan Ma’mun membawa pena. Mereka bekerja mencari lirik dan musik. Semalaman mereka bekerja dan lagu itu tercipta. Iwan adalah pembaca, setidaknya dari laporan Andreas Harsono itu. Sebelum membuat lagu atau menyatakan sikap, ia mesti paham dulu apa yang hendak dibela atau dibuat lagu. Bukan sekadar protes atau gagah-gagahan.
Ini mengapa saya tergelitik saat mendengar lagu #2019gantiPresiden. Lagu yang memiliki refrain seperti “Better Man” dari Robbie Williams itu luar biasa menarik. Musiknya mungkin bisa membuat komposer John William pensiun dini, lagu yang jelek-saja-belum itu punya lirik yang lebih ajaib. Lagu itu sepertinya diniatkan sebagai lagu protes seperti lagu-lagu Slank dan Iwan Fals.
Menyamakan lagu #2019gantiPresiden dengan musik karya Slank dan Iwan Fals sebenarnya tidak sopan. Setidaknya, jika mau jujur, lagu Slank dan Iwan Fals lahir dari pengamatan realitas sosial. Ia tidak selalu objektif, tapi punya potensi didasari oleh fenomena yang ada di masyarakat. Hutan terbakar, wakil rakyat tidur, korupsi, kemiskinan, dan anak jalanan.
Nah bagaimana dengan #2019gantiPresiden? Lagu itu berniat melakukan kritik terhadap pemerintah. Jadi geli karena banyak sekali realitas yang dikemplang dan fakta yang dimutilasi. Saya tergerak memeriksa klaim lagu dan data yang ada.
Kurang kerjaan? Jelas.
Ekspresi estetik kesenian kok diperiksa pakai data. Ini hal yang enggak adil, tapi, hei, jika lirikmu ditulis dengan penyelewengan fakta, kenapa kita harus diam? Kita mulai saja dari dua baris lirik pertama:
“Dulu kami hidup tak susah
Mencari kerja sangat mudah”
Bagaimana data di lapangan? Kita mulai dari definisi hidup tak susah, kalimat ini ambigu, tak jelas, tapi jika indikatornya kemiskinan maka klaim itu tidak valid. Mengapa? Pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen). Data dari BPS itu membantah bahwa kemiskinan di Indonesia ini makin banyak, realitasnya makin sedikit.
Meski, ada hal yang bisa dikritik, misal apa definisi kemiskinan dari BPS? Apakah mereka yang berpenghasilan 500 ribu di Indonesia termasuk kaya? Jika iya, maka data itu benar secara kriteria tapi ambyar sebagai realitas. Kok bisa penghasilan 500 ribu dianggap makmur dan mapan?
Lalu soal klaim dulu pekerjaan sangat mudah, ini juga rada bias. Pada Februari 2018 Indef merilis data pada masa pemerintah SBY-Boediono, 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu meningkatkan penduduk yang bekerja sebesar 467 ribu orang. Sementara, pada pemerintahan Jokowi-JK hanya 426 ribu orang.
Selain itu, penurunan juga terjadi di sektor pertambangan dan penggalian hampir 50 ribu tenaga kerja. Pada era SBY, ada 153 ribu lebih pekerja di sektor itu. Namun, di sektor konstruksi, era pemerintahan Jokowi-JK memberikan tambahan hampir 135 ribu tenaga kerja di tengah masifnya pembangunan infrastruktur. Di sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi berhasil membalikkan angka negatif di era SBY-Boediono menjadi hampir 170 ribu tambahan di era Jokowi-JK
Meski secara keseluruhan RPK era SBY lebih tinggi, namun di masa pemerintahan Jokowi-JK, Rasio Penciptaan Kerja (RPK) rcatat tepaling tinggi dalam 10 tahun terakhir. Di 2017, penciptaan lapangan kerja meningkat tinggi sekali menjadi 641.183. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan RPK tertinggi di masa SBY-Boediono yang mencatat 589.104.
“Tetapi kini, pengangguran
Semakin banyak nggak karuan”
Benarkah di Indonesia banyak pengangguran? BPS merilis Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2018 turun 20 basis poin (bps) menjadi 5,13% dibanding posisi Februari 2017 dan juga menyusut 37 bps jika dibanding posisi Agustus 2017. Angka pengangguran ini merupakan level terendah sejak krisis 1998.
Sementara itu inisiatif Joko Widodo untuk menciptakan lapangan pekerjan sangat banyak. Nah sebenarnya saya ingin tahu apa kualifikasi pekerja versi oposisi yang bilang banyak pengangguran nggak karuan. Untuk pekerjaan yang membutuhkan tenaga bisa ditampung dalam pembangunan infrastuktur yang jumlahnya banyak sekali, enterpeneurship bisa difasilitasi via kemudahan ijin usaha yang samakin efisien, sementara untuk penggemar teknologi sudah difasilitasi via program 1000 start up. Lha kurang apa lagi lapangan kerjanya?
“10 juta lapangan kerja
Tetapi bukan untuk kita,”
Satu satunya petunjuk soal klaim 10 juta lapangan pekerjaan ini adalah statemen dari Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengklaim janji kampanye Presiden Joko Widodo untuk menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan sudah terpenuhi alias lunas. Tapi tidak jelas bagaimana perinciannya, di mana pekerjaannya, apa pekerjaannya, dibayar berapa, dan bagaimana mereka masuk ke Indonesia.
Lalu frasa “bukan untuk kita” merujuk pada polemik mengenai klaim jumlah 10 juta tenaga kerja asing, terutama asal Cina, sudah pernah mencuat pada 2016. Dari laporan panjang BBC sebenarnya polemik ini Sudah terbantahkan oleh pejabat Kemenaker. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia mencapai 85.974 orang, sementara jumlah tenaga kerja asing asal Cina mencapai 24.804 orang.
Angka ini memang jauh dari klaim jutaan yang disebut ramai di media sosial, namun jumlah tenaga kerja asing asal Cina tersebut rata-rata terus meningkat sejak 2007, yang saat itu baru 4.301 orang.
Cina memang menjadi negara pengirim tenaga kerja asing terbanyak di Indonesia, disusul Jepang (13.540), Korea Selatan (9.521), India (6.237), dan Malaysia (4.603).
Dari posisi atau jabatan, data Kemenakertrans menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja asing berada di jabatan profesional (23.869), manajer (20.099), direksi (15.596), konsultan (12.779), dan teknisi (9.144) Jika dibandingkan, jumlah 85.000 lebih tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia memang meningkat, karena pada 2016 jumlah tenaga kerja asing sebanyak 80.375 orang dan pada 2015 sebanyak 77.149 orang.
Lagian gini deh, kalau kamu orang Indonesia, berniat bekerja lantas kalah sama orang asing yang ga bisa bahasa Indonesia sama sekali, jauh-jauh datang ke negeri ini, bersedia digaji murah, tanpa keterampilan apapun, tapi bisa dapat kerja, mungkin masalahnya ada di kamu. Kamu yang ngga mau berserikat atau menolak bersolidaritas kepada buruh. Makanya berserikat.
“Pajak mencekik usaha sulit
Tapi korupsi subur pengusahanya makmur”
Pajak mencekik usaha? di Era Jokowi ada amnesty pajak, kemudahan pelaporan SPT dan kemudahan restitusi yang akan memberikan banyak dampak positif bagi dunia usaha. Sebab dengan restitusi yang cepat maka cash flow wajib pajak akan meningkat sehingga mendorong aktivitas ekonomi. Tidak jelas pajak apa yang mencekik.
Benarkah korupsi subur? Dari 2006 sampai 2017, penangkapan koruptor di Era Jokowi adalah yang tertinggi yakni 38 orang. Berdasarkan data KPK sepanjang 2017, Bupati/Walikota dan wakil yang terlibat tindak pidana korupsi sebanyak 13 orang. Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Total, sejak 2004 Kepala Daerah Tingkat II dan wakilnya yang terjerat kasus korupsi mencapai 71 orang dan akan bertambah tahun ini.
Korupsi subur ini dimaknai banyaknya koruptor yang ditangkap atau yang lolos dari tangkapan KPK? Maksud lirik lagu ini supaya korupsi tidak subur KPK jangan menangkap koruptor?
“Rumah rakyat kau gusur, nasib rakyat yang kabur
Awas awas kursimu nanti tergusur”
LBH merilis bahwa penggusuran di era Ahok lebih tinggi daripada gubenur sebelumnya. Tapi jika yang dimaksud adalah warga Indonesia secara keseluruhan. Setiap presiden/gubenur punya rekam jejaknya sendiri. Konflik agraria itu ada sejak era Gus Dur sampai SBY. Persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah, Syiah, Gafatar, LGBT, Suku asli dan kelompok minoritas lain, nyaris setiap presiden punya rekam jejaknya sendiri.
Perlu diingat persekusi, pengusiran, penyegelan, dan penggsuruan rumah/masjid kelompok minoritas Ahmadiyah, Gafatar dan Syiah itu karena SKB 3 menteri jaman SBY. Penggusuran bukan cuma soal konflik agraria, tapi juga kekerasan kelompok konservatif. Yang mengusir orang-orang Syiah di Sampang itu bukan pemerintah, yang menyerang dan mengusir orang Ahmadiyah dari rumahnya di Lombok juga bukan pemerintah. Malah jangan-jangan adalah kelompok penggemar #2019GantiPresiden yang doyan mengusir rakyat.
Ada baiknya sebelum menulis lirik lagu memeriksa kawan yang ada, jangan-jangan pelakunya ada di barisan sendiri.