Jum’at lalu saya sengaja ke kampus lebih lambat dari biasa. Jam empat sore, saya berjanji menghadiri seminar seorang peneliti tamu dari Malaysia, seorang Muslimah dengan tudung khasnya yang sempat beberapa kali bertegur sapa. Jam setengah empat, saya sudah berjalan ke kampus yang berjarak kurang dari 500 meter dari rumah sewa.
Seminar hari ini adalah tentang ujaran kebencian dan media sosial. Ruangan seminar terisi penuh oleh staf pengajar dan mahasiswa pascasarjana yang kebanyakan warga Australia dan juga pendatang seperti saya. Di pembukaan presentasinya, mbak Malaysia ini mengajak semua yang hadir untuk mengheningkan cipta. Saya tidak ngeh dengan apa yang terjadi hingga detik itu, saya belum sempat buka gawai dan saya tahan hingga akhir seminar untuk mencari tahu lebih lanjut. Sayapun mengikuti moment of silence itu dengan membacakan al fatihah kepada para korban.
Pukul lima lebih lima belas menit. Saya mulai gelisah. Seminar baru selesai dan sesi ramah tamah masih berlangsung. Saya pamit kepada semua yang hadir di sana, segera menuruni tangga yang menghubungkan ruang seminar dengan kantor mahasiswa phd di mana saya bekerja. Ashar masih tersisa lebih dari dua jam lagi. Saya punya waktu untuk melihat berita.
Sebelum saya sempat membuka situs berita, perhatian saya terpaut pada video yang dikirim oleh salah satu senior kolega saya di Indonesia. Saya gemetar melihat video dari sudut pandang pelaku tersebut. Geram dan takut menguasai benak saya. Saya shocked dan sontak menyemprot pengirim video tsb agar tidak turut menyebar ketakutan. Alih-alih menghapus video tersebut, beliau malah menuduh saya sebagai pembela orang Barat dan tidak peduli dengan korban sesama Muslim.
Di detik tersebutlah, saya ingin teriak dalam diam bahwa saya sedang dan sudah menjadi korban dari ketakutan itu. Video yang beliau kirim sudah berhasil membuat saya, seorang Muslim minoritas yang tinggal di negera tetangga dimana kejadian tersebut terjadi. Kedua, saya sudah menjadi korban stigma negatif oleh sesama Muslim yang bahkan tidak tinggal di negeri mayoritas non Muslim. Seorang Muslim mayor di Indonesia menuduh saya yang seorang minoritas di Australia sebagai pembela Barat.
Beberapa detik kemudian, grup-grup whatsapp saya mulai ramai dengan berita serupa: kejadian penembakan di dua masjid di Selandia Baru. Saya mulai membaca berita-berita yang Australian-sentris. Lalu linimasa sosial media saya penuh dengan komentar tentang penyebutan ‘gunman’ di media mainstrim internasional.
Saya belum terlalu terpukul, hingga tibalah saya pada suatu berita dimana Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengkonfirmasi bahwa salah seorang terduga adalah warga Australia. Perdana Menteri New Zealand pun dengan ofisial menyebut kejadian ini sebagai terorisme. Seketika saya lemas. Perasaan simpati dan duka yang awalnya saya miliki terhadap korban di Selandia Baru, kini merembet kepada saya sendiri.
Kilasan beberapa kali kejadian rasis yang saya alami tiba-tiba datang bertubi-tubi. Seorang ibu tua di bis pernah menyuruh saya untuk pergi dari Australia sebab dia pikir saya atau kaum saya adalah imigran gelap. Lalu di waktu lain, seorang yang menyewakan kamarnya kepada saya tiba-tiba mencuci ulang baju-bajunya hanya karena ujung handuk saya menyentuh ujung bajunya ketika dijemur. Lalu yang terakhir, seorang ibu Aborigin mengomeli saya yang sedang menunggu bis, agar saya pergi dari tanah mereka.
Spontan saya takut. Tiba-tiba apa yang awalnya kepedulian terhadap orang lain, menjadi kecemasan terhadap diri sendiri. Secara visual, saya menunjukkan identitas kemusliman saya di negeri ini dengan jilbab saya. Lain halnya dengan para laki-laki Indonesia Muslim di sini, sekilas mereka tak terlalu kentara sebagai Muslim. Tapi saya? Kepala saya saja cukup mengidentifikasi diri saya sendiri sebagai Muslim.
Bagaimana jika besok saya perlu naik bis? Bagaimana jika saya perlu ke tempat umum di mana biasa ada beberapa orang yang kurang berpendidikan? Bagaimana saya berjalan pulang ke rumah yang mana harus melewati jalan raya, apakah nanti akan ada mobil lewat lalu mengata-ngatai saya?
Beberapa menit berselang, sebuah surel masuk. Sebuah pernyataan sikap belasungkawa dari pimpinan tertinggi universitas, sekaligus sikap kecaman terhadap tindakan brutal itu. Di sela surelnya, wakil rektor ini memberikan informasi layanan konseling dan psikolog bagi sesiapa saja staf maupun mahasiswa yang terdampak oleh kejadian ini.
Perasaan saya masih campur aduk. Kantor saya sudah sepi, mahasiswa S3 yang lain sudah pulang. Tak ada yang melihat saya sesenggukan sendirian di meja kerja saya. Lalu saya menuju mushalla di ujung koridor. Saya masih bersyukur bahwa kampus ini begitu baiknya menyediakan mushalla dengan mutu yang sangat bagus. Saya ambil wudu lalu shalat ashar sendirian. Saya tutup shalat saya dengan doa meminta perlindungan dari tuhan.
Saya kembali ke kantor, lalu mengecek kembali beberapa pesan yang masuk melalui Facebook. Beberapa teman saya yang di adelaide menyampaikan simpatinya terhadap saya dan komunitas muslim yang terdampak. Mereka turut mengecam senator queensland yang membuat pernyataan gendeng terkait kejadian ini. Teman-teman saya ini, yang sehari-hari berinteraksi dengan saya, memberi penghiburan bahwa saya diterima di Australia dan bahwa orang orang rasis di luar sana itu, sebaiknya tidak tinggal di Australia. Mereka menawarkan diri jika saya butuh teman bicara atau curhat.
Setidaknya, saya merasa aman berada di dalam kampus. Para rasis dilarang keberadaannya disini dan bisa dikeluarkan sebagai mahasiswa maupun staf. Para security juga sangat ramah dan sangat inklusif terhadap semua warga kampus. Tak ada ujaran kebencian pernah saya temui di area kampus. Ada rasa aman yang terbatas yang saya rasakan. Setidaknya, ini shelter bagi saya selama beberapa hari ke depan sembari saya menghindari tempat dan fasilitas transportasi umum.
Jauh di sana, di negeri mayoritas Muslim itu, beberapa orang yang saya ketahui sebagai akademisi sedang bangga hati karena bisa menjadi orang pertama dalam kelompoknya yang menyebarkan video teroris itu. Berada dalam dua dunia paralel ini, saya merasakan dua ketakutan sekaligus. Ketakutan pertama, dalam kondisi saya di Australia saya kawatir kejadian serupa bisa merembet kemari. Ketakutan kedua, dalam identitas saya sebagai Muslim Indonesia dan juga bagian akademisi, saya justru lebih kawatir bahwa di lembaga pendidikan tinggi pun penyebar ketakutan justru banyak ditemukan. Hari ini, kekawatiran saya berlipat ganda.