Karin Novilda, atau yang lebih dikenal dengan nama Awkarin, kembali jadi perbincangan. Setelah dahulu tampil dengan identitas bad influence-nya, kini Karin disebut-sebut sibuk menebar kebaikan. Di Jakarta, Karin turun ke jalan untuk membagi makanan kepada para demonstran. Saat suasana mulai teduh, Karin turun lagi dan mengajak orang-orang membersihkan sampah sisa demonstrasi. Setelahnya, bersama tim manajemen, KitaBisa, dan Sekolah Relawan, Karin terbang ke Kalimantan untuk membantu para korban bencana asap kebakaran hutan—membagikan masker, memadamkan titik-titik api, bahkan menanam pohon sebagai upaya reboisasi.
Tidak hanya sampai sana, Karin juga kini jadi tempat mengadu masyarakat Twitter tentang tragedi yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, tentang pengemudi ojek daring yang sudahlah kena pesanan fiktif, esoknya kecurian motor. Karin bergegas membantu dengan membeli motor baru, tapi ternyata keduluan oleh badan kemanusiaan lain. Apakah lantas niat Awkarin dibatalkan? Tidak—Karin tetap memberi donasi untuk bantu biaya sekolah anak pengemudi tersebut, mengunjunginya, dan berkenalan dengan anak-anaknya. Mengutip kata Awkarin di Twitter, “…Seru ya banyak orang baik. Senang deh ngelihatnya pada berlomba-lomba dalam kebaikan.”
Karin membangun brand image yang baru, yang good influence. Sebenarnya, upaya Karin telah nampak sejak ia pergi ke Palu untuk menjadi relawan di pengungsian korban gempa dan tsunami pada tahun lalu. Saat Awkarin kembali aktif di Twitter pun, Karin berkali-kali give away dalam banyak bentuk untuk orang yang dirasanya membutuhkan. Sampai situ, Awkarin belum terlalu mendapat sorotan. Baru belakangan inilah—dengan didukung omongan usil para pengguna Twitter—Karin tiba-tiba melebarkan sayap audiensnya sampai ke baby boomers yang, tak tanggung-tanggung, sekelas Budiman Sudjatmiko dan Poltak Hortradero.
Dalam utasnya, Budiman menyampaikan bahwa kebaikan yang dilakukan Karin ini berbasis sensasi, tapi tidak punya esensi. Menurut Budiman, kebaikan Awkarin yang sensasional ini bisa menginspirasi jauh lebih banyak orang, tapi dangkal dampaknya. Padahal, kebaikan idealnya sensasional dan esensial seperti samudra. Kebaikan harus dalam dan lebar, agar peradaban manusia dapat diarahkan ke keseimbangan yang adil.
Selain menyinggung soal Awkarin, Budiman juga menyebut Tri Mumpuni, perempuan yang sukses menerangi 61 desa terpencil di Indonesia dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohido (PLTMH) bersama suaminya. Bagi Budiman, Tri adalah contoh kebaikan yang esensial, tapi tidak sensasional, sehingga hanya sedikit yang bisa terdampak.
Utas Budiman itu, rupanya menimbulkan kontroversi. Sebagian kelompok menganggap Budiman misoginis karena membandingkan Karin dengan Tri, mengelompokkan kebaikan menjadi yang luas tapi dangkal seperti genangan, atau sempit tapi dalam seperti sumur. Sebagian lain berpikir bahwa Budiman tidak bersalah, ia hanya menyampaikan motivasi agar seseorang memerhatikan aspek sensasional dan esensial saat berbuat kebaikan.
Terlepas dari dua versi itu, pertanyaannya adalah: indikator luas-sempit, dalam-dangkal itu apa ya, Pak Budiman? Kalau amal-amal jariyah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, kira-kira apakah bisa dianalogikan selayak samudra yang luas dan dalam, sensasional dan esensial? Kalau memberi motivasi, itu masuk kebaikan di kategori yang mana?
Utas Poltak pun turut menuai keributan. Berbeda dengan Budiman, Poltak menyoroti cara Karin menghabiskan uang yang digunakannya untuk menyenangkan diri sendiri, orang tua, dan yang membutuhkan. Ia memberi saran agar Karin berhemat sebab hidup bisa jadi masih sangat panjang, dan menabung adalah hal yang baik. Poltak juga mengingatkan tentang pentingnya membayar pajak dan biaya sekolah anak.
Setelah diserang karena dianggap perhitungan, Poltak menjelaskan bahwa bersedekah itu harus mengikuti kemampuan. Tidak perlu heroik (apakah pernyataan ini bisa diterjemahkan dengan—tidak perlu sensasional?). Salurkanlah ke badan-badan yang sudah tersedia, dan penerimanya pasti adalah mereka yang membutuhkan. Kalau tidak bisa menyumbang uang, maka sumbangkanlah darah atau organ tubuh lainnya. Tidak perlu heroik. Tidak perlu heroik. Tidak perlu heroik. Iya, Poltak menulis kalimat itu empat kali.
Pendapat Poltak untuk Awkarin, sebenarnya terdengar cukup masuk akal. Sayangnya, dengung “Tidak perlu heroik” membuat tujuan ia memberi saran finansial pada Karin jadi mencurigakan. Akhirnya, bagi para pembela Karin, Poltak dipandang tak lebih sebagai baby boomers pada umumnya, yang senang mengomentari kehidupan millenials tanpa ingat bahwa millenials punya kehidupan yang jalannya berbeda dengan baby boomers (lagipula, kok Poltak yakin sekali Karin belum melek pajak dan tidak punya tabungan?).
Perdebatan memanas karena Budiman dan Poltak dianggap melakukan mansplaining—peristiwa ketika laki-laki menjelaskan sesuatu kepada perempuan dengan cara yang merendahkan. Tentu saja konteks merendahkan itu relatif. Dan apabila menggunakan perspektif korban, tidak ada yang tahu apakah Karin merasa direndahkan atau tidak. Hanya saja, pertanyaannya; buat apa menyebut kegiatan aktivis dan sukarelawan Karin sebagai dangkal? Buat apa mengatur cara Karin berdonasi agar tidak perlu heroik? Apakah ini ada hubungannya dengan Karin yang perempuan, masih muda, dan punya profesi yang tidak eksis saat Budiman dan Poltak masih muda?
Interupsi yang dilakukan Budiman dan Poltak mungkin tidak jahat. Namun, juga tidak diperlukan. Apalagi bila disampaikan dengan cara yang tidak dekat dengan watak millenials atau gen z yang punya prioritas berbeda dengan baby boomers di usia muda mereka, dan sudah punya kesadaran tentang kesetaraan gender serta betapa menyebalkannya patriarki itu. Sekelas Budiman dan Poltak, saya ingin berprasangka baik bahwa mereka tidak termasuk golongan laki-laki yang mengamini konten tentang pentingnya perempuan untuk tidak bersikap lebih pintar dibanding pasangan laki-lakinya saat berada di rumah.
Sayangnya, yang dilakukan oleh Budiman dan Poltak, dari kacamata feminis yang memang sudah gerah dengan laki-laki yang kerap mengerdilkan keberhasilan perempuan, akan terus dipandang sebagai mansplaining. Atau lebih tepatnya, mengambil istilah yang dibuat oleh Metro.co.uk—mandozing. Sayangnyaistilah tersebut baru muncul tahun ini dan belum masuk Kamus Oxford.
Sedikit berbeda dari mansplaining yang lebih condong ke kebiasaan laki-laki mengoreksi pendapat perempuan karena menganggap remeh perempuan, mandozing dicontohkan melalui bagaimana laki-laki mengabaikan pencapaian perempuan, meniadakannya dalam percakapan. Tidak memberi dukungan atau merespon positif pencapaian itu, enggan ikut merayakannya, dan malah memberi saran-saran yang sesungguhnya tidak diperlukan, tanpa bertanya lebih lanjut tentang pencapaian itu sendiri dan apa yang benar-benar perempuan butuhkan.
Laki-laki yang melakukan mandozing cenderung akan berakhir berusaha mengontrol perempuan atau mengarahkan percakapan jadi tentang dirinya dan pencapaiannya, tanpa memikirkan bahwa perempuan juga memiliki kelebihan dan situasinya sendiri sebagai sesama manusia.
Tidak perlu jauh-jauh seperti Karin, mandozing pun bisa terjadi di sekitar kita. Misalnya, ibu rumah tangga yang dianggap tidak berkontribusi apa pun dalam keluarga oleh suaminya, padahal ia berupaya membuat rumah menjadi tempat pulang yang nyaman dan mengurus anak dengan baik. Atau tentang istri yang bekerja, tapi suami tetap mengaku sebagai satu-satunya orang yang mencari nafkah dalam keluarga, sementara istri hanya enak-enak saja. Belum lagi pengalaman perempuan di tempat kerja, yang sering kali pencapaiannya direduksi dengan, “Ah, itu karena dia cantik saja,” atau, “Paling kasihan karena dia perempuan.”
Baik mansplaining atau mandozing, keduanya ‘sulit’ diidentifikasi karena perempuan sudah hidup terlalu lama sebagai masyarakat kelas dua. Laki-laki mengajari perempuan adalah hal yang terasa lumrah, padahal banyak aspek lain yang perlu diperhatikan; apakah laki-laki tersebut ahli di bidang yang sedang ia ceramahkan? Apakah opininya substansial dengan keadaan? Budiman dan Poltak mungkin saja mampu memenuhi syarat pertama, tapi mereka gagal di syarat kedua.
Sebab, sebagai baby boomers laki-laki yang belakangan banyak dimusuhi karena golongannya bikin gagasan-gagasan aneh di pemerintahan, Budiman dan Poltak melupakan substansi dari aksi Karin; bahwa sebagai influencer, ia memang harus sensasional dan heroik. Dan, bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah berita bagus di antara berbagai tragedi kemanusiaan. Jangan jadi party pooper begitu dong, ah! Kan, kesannya jadi seperti insecure saja.
Ya, memang pada akhirnya, seperti kata Charlotte Whitton, “Whatever women do they must do twice as well as men to be thought half as good..,” dan ia lanjutkan, “Luckily, this is not difficult.” Jangan lupa ikut bersih-bersih lingkungan agar berkesempatan dapat give away laptop senilai 30 juta rupiah dari Awkarin, ya!