Jumat, Maret 29, 2024

Asa Pasca Pertemuan Surya-Bos Gerindra

Gantyo Koespradono
Gantyo Koespradono
Mantan Jurnalis, Pemerhati Sosial dan Politik.

Setelah bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Minggu (13/10) malam, giliran bertemu dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.

Pertemuan yang terkesan diam-diam itu berlangsung di rumah Paloh di kawasan Permata Hijau, Jakarta. Kalau kita menggunakan “hukum ekonomi”, maka kedatangan Prabowo ke rumah pribadi Paloh, bisa kita tafsirkan bahwa Prabowo sebagai pihak yang sedang meminta dan menawarkan sesuatu.

Harap dimaklumi, Pemilu Serentak 2019 tempo hari telah mengantarkan NasDem sebagai partai terhormat, sehingga layak diperhitungkan. NasDem-lah satu-satunya partai yang perolehan kursinya di Senayan naik paling tinggi, dari 36 menjadi 59.

Prestasinya itu menempatkan NasDem dalam empat besar partai yang punya kursi terbanyak di DPR setelah PDIP (128 kursi), Golkar (85) dan Gerindra (78).

Posisi NasDem juga mengukuhkan partai-partai nasionalis kebangsaan sebagai pemenang pemilu. Selayaknya partai-partai berpaham nasionalisme kebangsaan bersatu di tengah ancaman radikalisasi yang ingin merobek-robek NKRI.

Bertamunya Prabowo ke Surya — sebelumnya ke Megawati — sangat mungkin sebagai bentuk “pengakuan dosa” Prabowo yang dalam Pemilu Serentak 2019 (di dalamnya ada pilpres) telah menempuh “jalan sesat” dalam meraih kemenangan.

Sebagaimana kita ketahui, dalam Pemilu Serentak 2019 (kebetulan Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden), Prabowo dan kawan-kawan di partainya telah mengeksploitasi SARA untuk memenangkan dirinya sebagai presiden.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam hajatan pemilu lalu, Gerindra dan Prabowo telah menunggangi agama tertentu dalam rangka menggapai kemenangan.

Namun, yang terjadi di lapangan, Gerindra dan Prabowo yang justru ditunggangi para “penjahat” negara yang berniat menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain (agama).

Dampak “kebijakan” dan strategi Prabowo seperti itu — dimulai sejak pilkada DKI Jakarta — terasa hingga sekarang.

Sisa-sisa “laskar Prabowo” semasa pilkada Jakarta dan Pilpres 2019 masih terus mengganggu dan mengancam eksistensi negara dan bangsa.

Lupakan dulu motif safari politik Prabowo ke Megawati dan Surya Paloh dalam rangka apa, meskipun kita tidak bisa menutup mata, itu dilakukan Prabowo lantaran ia sudah “tobat” dan ingin bergabung ke koalisi Jokowi yang diakui atau tidak Paloh punya peran besar di koalisi ini.
Terserahlah kalau Anda membaca Gerindra minta jatah kursi menteri.

Buat saya, itu urusan nomor dua. Yang penting dan perlu dicatat adalah pertemuan Paloh dan bos Gerindra Prabowo, Minggu (13/10) malam itu telah menelurkan tiga kesepakatan yang hari-hari ke depan pantas dan perlu kita tagih. Jangan sampai pertemuan itu hanya sebatas basa-basi dan akhirnya benar-benar basi. Ketiga kesepakatan itu adalah:

Pertama, bahwa kedua pemimpin partai politik sepakat untuk meletakkan kepentingan nasional di atas segala kepentingan lain dan menjadikan persatuan nasional sebagai orietansi perjuangan.

Catatan saya, kesepakatan pertama ini berbau “NasDem banget” dan soal ini telah dipraktikkan oleh NasDem sejak partai ini berdiri delapan tahun yang lalu hingga hari ini.

Kedua, pemimpin parpol sepakat untuk melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah dan melawan segala tindakan radikalisme berdasarkan paham apa pun.

Catatan saya, poin kedua ini juga telah menjadi darah daging NasDem. Baguslah kalau Prabowo sudah paham soal ini, sehingga sebagai partai nasionalis, Gerindra dan Prabowo harus siap berjuang bersama NasDem dan partai nasionalis lainnya untuk menghabisi para penjahat negara yang berpikir dan bertindak radikal untuk menegakkan paham dan ideologi lain di Indonesia.

Ketiga, berkaitan dengan amendemen UUD 1945 bersifat menyeluruh menyangkut kebutuhan perbaikan tata kelola negara sehubungan dengan tantangan kekinian untuk masa depan kehidupan berbangsa.

Saya tidak atau belum berani membuat catatan khusus tentang kesepakatan ini, sebab MPR belum juga berumur sebulan. Pasalnya amandemen UUD 1945 masih memunculkan pro dan kontra.

Jika pun UUD 1945 itu akan diamandemen lagi, semoga tidak tambal sulam. MPR perlu mengkaji secara menyeluruh untuk memperkuat kembali pilar-pilar kebangsaan.

Prabowo dalam posisi kalah dan terpojok ketika bertemu dengan Surya Paloh?

Menurut saya tidak. Ini bisa kita baca dari apa yang disampaikan Surya Paloh kepada media. “Saya dan Prabowo satu. Malam ini pun saya harus katakan, dengan segala kekurangan kami berdua, tekad kami, kami ingin negeri ini maju. Kami mau persahabatan yang pernah dan tetap ada pada diri kami ini merupakan modal besar untuk membangun kehidupan kebangsaan ini. Inilah harapan kami,” kata Surya Paloh.

Benar, dalam politik, tidak ada lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan. Namun, dalam situasi seperti saat ini, kelangsungan negara dan bangsa dalam bingkai NKRI jauh lebih penting dari segalanya.

Itulah asa (harapan) yang saya bisa baca dari pertemuan antara Surya Paloh dan Prabowo.

Gantyo Koespradono
Gantyo Koespradono
Mantan Jurnalis, Pemerhati Sosial dan Politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.