Jumat, April 26, 2024

Apa Salah Menghina Presiden?

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Negeri ini penuh muslihat. Itulah yang saya tangkap dari cerita RJ Lino tentang control room yang dikutip Rhenald Kasali. Isinya begini. Menjelang akhir Juni saat dwelling time di pelabuhan kita masih dan bahkan terkesan semakin menggila, Presiden Jokowi meninjau langsung kondisi di Pelabuhan Tanjung Priok. Seperti biasa kalau tidak ada yang beres, Presiden kita langsung marah dan meminta agar masalah ini segera dicari solusinya.

Nah, Anda tahu guna control room itu apa? Mestinya untuk mengontrol, tetapi merunut cerita RJ Lino, guna control room itu hanya pajangan yang akan dipertontonkan. Andai itu benar, selepas kunjungan Presiden, control room itu langsung menghilang. Begitu pula dengan orang-orang yang bekerja di ruang kendali tersebut. Bagi siapa pun, cerita ini tentu saja sudah keterlaluan. Ini tidak sekadar penipuan, ini juga penghinaan. Ini bahkan bukan sekadar penghinaan biasa.

Sederhana saja, cukup pikirkan bagaimana bawahan yang digaji dari uang rakyat malah menipu Presiden sebagai atasannya yang bekerja untuk rakyat? Pikirkan pula Presiden itu siapa. Presiden itu jabatan istimewa. Presiden merupakan lambang negara. Karena itulah hampir di setiap instansi foto Presiden dan Wakilnya selalu dipajang sekitar beberapa senti di bawah Pancaila. Bahkan, kata Putu Setia, Presiden itu sakral: masih hidup, tetapi sudah menyandang simbol.

Sudah jelas presiden merupakan lambang kepala negara yang sekaligus hidup dan menghidupi kita. Bendera saja yang nyatanya hanyalah dua helai kain berwarna merah dan putih, yang tentu saja tidak hidup, harus dihormati dan dijunjung. “Siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela,…” begitu kita berujar.

Ringkasnya, Presiden itu jabatan mulia yang kehormatannya harus dijaga, yang kata-katanya harus didengar, yang perilakunya harus ditiru. Begitulah protokolnya. Baik, kita cukupkan masalah itu di sini. Mari bergerak ke tema lain yang masih berkaitan!

Setelah berkali-kali, kini kembali dipertimbangkan untuk mengebut UU tentang pasal penghinaan kepada presiden. Salah satu pasalnya adalah: “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun enam (6) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Entah bagaimana kita kemudian akan meresponsnya. Yang pasti, bagi saya pribadi, langkah ini terlalu konyol. Pertama, (R)UU serupa yang, meski tak identik, sudah dicabut Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 silam. Kedua, kalau dalihnya dan dasar berpikirnya ada pada “penghinaan”, bukankah sudah ada UU yang mengatur tentang pencemaran nama baik?

Ketika masih menjabat sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono bahkan sudah pernah menggunakan UU ini untuk mengadukan masyarakat yang keterlaluan menghinanya. Karena itulah, dalam benak saya, sungguh sama sekali tidak masuk akal menghidupkan pasal ini. Sebab, pasal ini berpotensi semakin liar dan bias. Akan ada pemahaman bahwa presiden itu sosok yang melebihi simbol.

Pada posisi demikian, presiden tentu tidak lagi semata simbol negara, melainkan juga menjadi simbol kebenaran, keagungan, keselamatan. Presiden tak bisa lagi diejek, bahkan mungkin kebijakannya tak bisa dikritik.

Atau, jangan-jangan, malah ada presiden yang tak mau menerima saran karena dianggap itu sebagai penghinaan. Selain itu, berpotensi pula muncul pemahaman lain, bahwa rakyat semakin telengas yang nasibnya tak perlu dipedulikan. Soal rakyat bukan menjadi utama lagi karena sudah berfokus pada presiden, tepatnya melidungi dan menjaga agar presiden tak dihina.

Soal rakyat kelak dihina bahkan terhina oleh presiden tidak lagi menjadi soal. Catat, saya tidak sedang membaca, apalagi mengatakan bahwa Jokowi ke depan akan menganggap setiap kritikan dan saran sebagai hinaan padanya.

Saya termasuk pengagum kinerja, terutama kepribadian Jokowi. Jadi, ini masalah masa depan karena Jokowi sudah pasti bukan presiden terakhir kita. Siapa yang dapat menduga ke depan bahwa presiden kita bukan orang yang baik seperti Jokowi, melainkan orang yang pongah?

Mudah-mudahan presiden seperti ini tidak ada. Tetapi, arti mudah-mudahan sebenarnya juga memuat bahwa ada kemungkinan presiden seperti itu akan terpilih. Dan, andai itu terpilih, bukan tidak mungkin rakyat semakin terkekang, bukan? Rakyat semakin terjungkal.

Sekali lagi, ini bukan tentang Jokowi. Ini tentang masa depan. Terus terang saja, saya khawatir apabila pasal ini kemudian disahkan, akan ada pemberangusan media, akan ada pemberangusan kebebasan, akan ada pemerintahan yang otoriter. Pada saat yang sama, rakyat menjadi bagian yang terpisahkan dari presiden. Pada saat yang sama pula, kebebasan berpendapat, kebebasan pers yang kita raih dengan berdarah-darah, menjadi cerita masa lalu. Menjadi kenangan. Padahal, dengan dan atas nama kebebasan inilah kita dapat menopang keseimbangan pemerintahan.

Kehawatiran ini tidak mengada-ada. Seperti tadi, pasal ini serupa, meski tak identik, dengan RUU yang dicabut MK pada tahun 2006 silam. Jika dulu berstatus delik umum, di mana setiap aparat hukum, baik itu polisi maupun jaksa, siap memberangus siapa pun yang dianggap menghina presiden. Versi sekarang menjadi delik aduan. Artinya, kini pasal itu bersifat subjektif. Kalau presiden merasa dihina, tetapi tidak mengadukan, tak masalah. Kalau presiden tak merasa dihina, meski sudah dihina, juga tak masalah.

Tetapi, bagaimana kalau presidennya merasa dihina yang walau sebenarnya hanya dikritik atau bahkan hanya diberi saran oleh rakyat yang lalu mengadukan rakyat? Di sini, pasal ini menjadi berbahaya, bukan? Inilah alasan mengapa pasal ini harus dipersoalkan. Rasanya tidak dapat menerjemahkan bagaimana seseorang dihina atau terhina secara akurat. Lagipula, menjadi presiden juga menjadi publik figur. Dan, menjadi publik figur sudah pasti akan menghadirkan pula dua kutub kontras: fans dan haters.

Fans tentu bukan ukuran kebenaran sebagaimana haters juga bukan simbol kesalahan. Justru ada kesan bahwa semakin kondang seseorang, pertumbuhan perkembangan fans dan haters-nya akan berbanding lurus. Uniknya, menjadi publik figur karena presiden itu beda sekali dengan menjadi publik figur karena selebritas. Kalau selebritas megurusi dunianya, presiden malah harus mengurusi dunia yang lebih luas: dunia fans dan haters. Yang pasti, tidak mungkin semua orang akan menyukai kita 100%. Itu sudah hukum alam.

Tuhan yang sudah sempurna saja sering dihina. Jadi, apa alasan mendasar mengapa kita harus melindungi presiden yang sama sekali bukan nabi? Ada kata bijak: “Some one who hates you normally hates you for one of three reasons. Thei either see you as a threat. They hate themselves. Or, they want to be you.”

Jadi, haters tidak selamanya menjadi pembenci tulen. Maka, selain tak masuk akal, apalagi karena orang tak mungkin menyukai kita 100%, pasal ini harus dimentahkan untuk satu alasan yang lebih kuat: agar kebebasan tak diinterupsi atas nama penghinaan.

Sekali lagi, ini bukan tentang Jokowi. Bayangkan jika pasal ini dipakai sosok presiden otoriter? Semoga substansi tulisan ini dimengerti sebagaimana seharusnya.

Bacaan terkait

Perlukah Pasal Penghinaan Presiden?

Apa Kabar Pasal Penghinaan dalam Revisi UU ITE

Pasal Penghinaan Presiden Jadi Momok Menakutkan Bagi Aktivis

Mosi Tidak Percaya R-KUHP Untuk Jokowi

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.