Minggu, November 24, 2024

Anthony Bourdain, Mengajak Berempati dengan Mencicipi Makanan

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
- Advertisement -

Tidak banyak acara TV Amerika yang saya suka. Saya jarang menonton TV. Selama beberapa tahun terakhir saya malah tidak punya TV. Namun, lewat satu dekade lampau, saya pernah tergila-gila dengan sebuah show. Itu adalah “No Reservation.” Host-nya siapa lagi kalau bukan, Anthony Bourdain. Dia adalah seorang chef, penulis yang baik dan mumpuni, juga seorang entertainer lewat show TV-nya.

Baru setelah menonton acara TV-nya, saya mulai membacai esai-esai yang ditulis Bourdaine. Saya menyukai gayanya menulis yang terus terang dan tanpa tedeng aling-aling. Esai Bourdine penuh dengan kata-kata dalam Bahasa Inggris yang dipelajari oleh seorang yang mengerti sastra. Dilihat dari esai-esai yang ditulisnya, bisa dipastikan dia banyak membaca. Namun, tulisannya tidak ‘menye-menye’ seperti seorang intelektual yang kadang terkagum-kagum pada dirinya sendiri.

Dia mengunjungi banyak negara, mencoba semua makanan lokal, dan selalu bertanya, makanan apa yang membuat Anda gembira, bahagia? Dia tahu persis bahwa manusia adalah mahluk pemakan. Tidak sekedar untuk kenyang. Makan untuk kepuasan yang tidak saja lahiriah, tetapi juga spiritual.

Untuk kebanyakan manusia normal, kegembiraan dan kebahagiaan itu terletak pada makanan.

Mumpung dekat Lebaran, pernahkah Anda membayangkan kepuasan seorang ibu atau siapa saja yang berhari-hari mempersiapkan penganan dan hidangan Lebaran? Perhatikanlah wajah mereka ketika Anda nanti menyantap kue-kue yang mereka bikin sendiri. Atau, ketika masakan khas Lebaran, entah itu opor, rendang, empal, gulai, atau apa saja, yang dipersiapkan dengan resep yang diwariskan secara turun temurun dan hanya dimasak sekali setahun. Sekalipun mungkin rasanya tidak seenak di warung-warung atau restoran yang Anda kunjungi. Namun, ada kepuasan yang lain. Ia dimasak oleh tangan ibu. Ia dimasak dengan cinta dan kerinduan. Kepuasan ini sungguh kepuasan spiritual. Itulah yang diungkap Bourdain dalam satu ceramahnya tentang kalkun yang dimasak oleh nenek kita untuk Thanksgiving.

Kembali ke Bourdain, saya sangat suka keterusterangannya. Dia tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap gerakan vegetarianisme yang dia anggap sangat ideologis, “seperti Hizbullah” katanya. Untuk publik Amerika, diidentifikasikan dengan Hizbullah sama artinya dengan fanatik buta. Dia mengejek vegan, bukan karena dia membenci vegan tapi karena pemakan vegan sering menghakimi orang lain. Para vegan ideologis memandang pemakan segala seperti kaum agama memandang kafir. Para vegan ideologis selalu memandang dirinya sebagai lebih suci dari yang lain (holier-than-thou), lebih benar secara politik (politically correct), dan lebih santun.

Bourdain juga tidak merasa berdosa mengatakan bahwa lemak dan jeroan bisa menjadi makanan enak. Ini sangat menohok untuk orang Amerika yang kecanduan dengan makanan diproses. Orang Amerika tidak berani makan ikan utuh. Selalu saja saya dengar keluhan, tidak mau makan ikan yang matanya menyala menatap saya! Bourdain mengajarkan bahwa bagian terenak pada ikan justru terletak pada ‘pipinya,’ persis dibawah matanya.

Pada akhirnya, banyak orang membuka diri dengan apa saja yang bisa dimakan. Sekarang ini, ada beberapa restoran yang menyajikan kulit ayam goreng garing! Orang mulai menyebutnya sebagai “the new bacon“. Makanan yang enak selalu berlemak. Coba perhatikan sate kambing yang Anda makan. Dari lima-enam potong daging dalam satu tusuk, satu adalah lemak. Ketika sate Anda setengah matang, tukang sate akan menyiramnya dengan lemak. Kalau tidak sate Anda akan alot dan kering!

Bourdain juga tidak menafikan MSG atau vetsin. Apa yang salah dengan vetsin? Orang berlomba-lomba mencari penggantinya, yang harganya puluhan kali lipat lebih mahal. Namun vetsin tidak tergantikan. Saya sendiri juga tidak anti-vetsin. Ketika membuat soto babat yang menyerupai soto yang saya kenal sejak kecil, hampir tidak mungkin mengganti vetsin dengan yang lain. Toh, Anda ke mana saja, orang mesti menghidangkan makanan dengan vetsin. Jika mereka tidak memakai vetsin, mereka akan pakai kaldu (yang di dalamnya sarat dengan vetsin juga).

Saya kira, dalam hal ini dia hampir seperti Andrew Zimmerman, rekan Bourdain sesama bintang TV,yang show-nya tentang makanan aneh-aneh di seluruh dunia (Bizzare Foods). Zimmerman punya motto di acara TV-nya, “Kalau kelihatan sedap, makan saja” (If it is look good, eat it!).

- Advertisement -

Ini semua menjadi karakter Bourdain, saya kira, karena dia adalah ‘penjelajah yang permanen.’ Selamanya dia mendudukkan diri sebagai pengelana yang merasa perlu mengerti orang lain, mengerti kebudayaan lain. Dia selalu berusaha menghormati pilihan makanan kebudayaan lain.

TV show terakhir Bourdain ditayangkan CNN. Judulnya “Parts Unkown.” Saya tidak banyak menonton show ini. Namun beberapa minggu lalu, saya mendapat kabar bahwa kawan-kawan saya di Taman Baca Kesiman (TBK) di Denpasar, akan kedatangan Bourdain. Dia hendak syuting untuk “Parts Unknown” di Bali.

Ketika itu, saya bertanya, mengapa dia ke TBK? Ternyata, Bourdain dan para krunya hendak tahu lebih banyak tentang pembantaian massal tahun 1965. Banyak orang tidak tahu bahwa pembantaian massal ini juga mengubur dan membantai banyak sekali pengetahuan, termasuk pengetahuan kuliner yang ada di kepala orang. Setiap pembantaian manusia adalah juga pembantaian terhadap kebudayaan, termasuk kebudayaan makanan. Bukankah sayuran genjer, yang adalah makanan biasa untuk rakyat kebanyakan, mendapat stigma karena lagu “Genjer-genjer” yang populer dinyanyikan Bing Slamet itu?

Kabarnya Bourdain juga melakukan syuting di Warung Men Weti yang legendaris di Sanur itu. Tidak banyak orang tahu (dan peduli) bahwa Men Weti membuka warung makannya sebagai penyintas. Makanannya memang tidak ideologis. Namun, dedikasinya terhadap makanan setelah apa yang menimpa keluarganya, tidak bisa diragukan. Almarhum Men Weti menjadi contoh bagaimana orang-orang yang dihabisi hidup dan keluarganya berusaha bangkit. Hasilnya adalah sebuah racikan makanan yang luar biasa enak. Warung makannya adalah sebuah usaha untuk bertahan (survive), diusahakan dengan dedikasi luar biasa dan daya tahan yang tak kenal menyerah. Bukankah ini sebuah pencapaian spriritual dari sebuah usaha kuliner juga?

Bourdain memilih TBK untuk menikmati makanananya. Ditemani oleh pengampu TBK, Agung Alit, yang tidak sadar bahwa wajahnya akan menghiasi jaringan TV di seluruh dunia, sehingga beliau tetap dengan penampilan sehari-hari: bercelana pendek. Bourdain dan seluruh kru juga tidak berusaha memolesnya. Mereka ditemani oleh putri Soedjatmoko dan ahli Transitional Justice, Galun Wandita. Dan, tidak lupa, yang sangat khas dari Bali, seekor anjing yang selalu hadir di mana ada orang berkumpul dan makan.

Bagi saya, pekerjaan yang dilakukan Bourdain ini memenuhi semua definisi kerja sebagai seorang intelektual. Dia jauh dari kesan elitis. Sekalipun bagi beberapa orang dia kelihatan angkuh. Perannya yang paling penting adalah dia memberikan wawasan perspektif yang tidak terduga, yang tidak dijelajahi sebelumnya.

Dia pernah mengatakan, “Kalau saya menganjurkan sesuatu, maka itu adalah bergerak, berpindah. Sejauh yang kau bisa, sesering yang kamu mampu. Seberangi lautan, kalau tidak cukup ke seberang sungai. Berjalanlah dengan sepatu orang lain, atau paling tidak cicipilah makanan mereka.” Walk in someone else’s shoes atau berjalan dengan sepatu orang lain adalah kiasan Bahasa Inggris untuk memiliki empati—mencoba memahami orang lain seperti dia memahami dirinya sendiri.

Bourdain mengajak pemirsa dan pembacanya untuk keluar dari hal-hal yang dianggap niscaya. Mempertanyakan apa yang dianggap tidak perlu dipertanyakan. Membongkar hal-hal yang dogmatis. Namun, semua itu dia lakukan tanpa menjadi dogmatis. Tanpa perlu terjebak dalam belenggu-belenggu ideologis.

Terakhir, Bourdain diduga meninggal karena bunuh diri. Di sini saya ingin membuat catatan kecil karena satu media Indonesia, Tribunnews, tanpa tahu malu menulis judul sangat provokatif tentangnya. Tribunnews hanya mau mengeksploitasi tragedi untuk mendapatkan ‘klik’ dan dengan demikian menangguk iklan. Tidak ada yang lebih rendah dan lebih tidak bermoral daripada mengeksplotasi tragedi seperti ini. Media seperti Tribunnews seharusnya tidak mendapat tempat di dalam masyarakat yang sehat. Namun, kita tahu bahwa elite-elite kita, termasuk elite yang menguasai media, sakit semua.

Kita diajarkan bahwa bunuh diri itu dosa besar. Pelakunya akan masuk neraka. Banyak penelitian ilmiah menyatakan bahwa bunuh diri adalah hasil dari depresi. Dia terjadi karena perubahan reaksi kimiawi dalam otak. Obat-obatan dan konseling psikologis akan menghindarkan orang dari bunuh diri. Seperti yang diajarkan Tony Bourdain, tragedi ini juga menjadi tempat untuk mempertanyakan dogma kita tentang dosa, kematian akibat depresi, dan apa itu penyakit atau kesadaran untuk menghilangkan nyawa sendiri.

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.