Bagaimana kita bisa menjelaskan sebuah tubuh bisa membuat seisi negara membicarakannya.
Dari peristiwa VA ini, kita bisa menyaksikan betapa kekuasaan mampu menggapai, menembus dan mengontrol individu sampai pada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Kita dipahamkan, di seputar hubungan intim itu telah dibangun perlengkapan serta mesin untuk memproduksi kebenaran. Artinya seks ternyata bukan hanya masalah sensasi dengan kenikmatan, atau hukum dan larangan. Tetapi di dalam seks dipertaruhkan masalah benar dan salah.
Bicara seks, tak afdol kalau tak mengutip Foucault. Fatwa beliau dalam La Volonte de Savoir: Histoire de la Sexualite (Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, terj.), ada konspirasi kekuasaan-pengetahuan sehingga kekuasaan menjangkau sampai pada perilaku yang paling individual dan intim. Di media, seks selalu ada dan menjadi kolom yang tak terlewatkan. Kolom itu biasa diasuh oleh seorang pakar: dokter, psikolog, psikiater. Kehadiran pakar ini adalah ilustrasi betapa kekuasaan-pengetahuan merambah kehidupan paling intim subyek.
Lalu kelihatan bahwa kekuasaan terhadap seks hanya bisa membuat larangan atau hanya bisa mengatakan tidak. Kekuasaan bisa mengambil bentuk instansi yang mengatur. Dalam hal ini, kekuasaan memberi peraturan, sah atau tidak, boleh atau dilarang. Dengan demikian, seks dipahami hanya dalam kerangka hukum. Kekuasaan membentuk lingkaran larangan sangat beragam, dari jangan berbicara; jangan mendekat; jangan menyentuh; sampai pada jangan melakukan. Tujuan lingkaran larangan ini ialah agar seks meninggalkan dirinya.
Foucault memberikan contoh, salah satu dimensi larangan adalah sensor. Logika sensor yang terpateri dalam larangan bisa mempunyai tiga bentuk, yaitu menyatakan tidak boleh; menghalangi jangan sampai dikatakan; menyangkal bahwa ada. Ketiga hal ini merupakan bentuk mekanisme sensor. Cara beroperasi sama di semua tingkat. Kekuasaan atas seks beroperasi dengan cara yang sama pada setiap tingkat, yaitu mereproduksi hukum, larangan dan sensor.
Cara beroperasi ini berjalan secara sama baik di tingkat negara, keluarga, agama, penguasa, ayah, pengadilan atau semua instansi dominasi sosial. Jadi kekuasaan adalah banyaknya hubungan kekuatan yang melekat pada bidang di mana ia beroperasi; permainan melalui perjuangan dan bentrokan tanpa henti untuk mengubah, memperkuat dan membalikkan. Kekuasaan itu menyebar, ada di mana-mana.
Romo Haryatmoko dalam sebuah kuliah tentang Foucault pernah menyampaikan, prosedur kebenaran menurut Foucault, ialah cara bagaimana suatu praktik sosial mendapat legitimasi. Hanya prosedur itu sangat ditentukan oleh struktur pemaknaan suatu jaman dan konteks tertentu, yang pada gilirannya, menentukan cara berpikir, bertindak dan menilai. Dua prosedur untuk memproduksi kebenaran seks: pertama, ars erotica (Cina, Jepang, India, Roma, Arab-Islam); dan kedua, scientia sexualis (Barat). Dalam ars erotica, kebenaran digali dari kenikmatan itu sendiri sebagai praktik dan dikumpulkan sebagai pengalaman.
Perspektif ini tidak dipahami dalam kerangka hukum (boleh-dilarang) atau kriteria kegunaan. Seks dipahami dalam kenikmatan, intensitas, kualitas khas, keberlangsungan, pantulan dalam tubuh dan jiwa. Sedangkan, dalam scientia sexualis, yang dikembangkan adalah prosedur yang mengatur bentuk kekuasaan-pengetahuan. Kekuasaan pengetahuan ini mengurus masalah pengakuan. Ritus-ritus dibuat untuk memproduksi kebenaran (teknik pengakuan, prosedur penuduhan, interogasi, penghilangan bukti kesalahan, sumpah, duel, pengadilan Tuhan). Pengakuan dihargai sebagai sarana menghasilkan kebenaran.
Tubuh menjadi kajian politik karena kegiatan intim yang dilakukan dengan gembira. Hidup menjadi bagian arena kontrol pengetahuan dan campur tangan kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi hanya berurusan dengan subyek hukum, tetapi fokusnya pada makhluk hidup. Jadi tanggung jawab atas kehidupan memberi akses kekuasaan masuk sampai pada tubuh. Tubuh adalah politik karena seks.
Karena tubuh VA, saya jadi teringat Al Masih ketika berhadapan dengan orang-orang yang ingin merajam Maria Magdalena. Al Masih dengan tegar mengucapkan, “Siapa yang merasa dirinya tidak pernah berdosa, silakan jadi orang yang pertama merajam Maria Magdalena!”.
Jangan menyerah, VA. Kita, yang fana ini, acap kali akan tenggelam suatu saat bersama suara kereta yang berisik namun menyimpan memori puitis itu. Dalam fana, ada sebuah harap. Bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan selalu kembali. Mungkin semacam Sisiphus dalam cerita Albert Camus itu. Suatu waktu, mungkin kita akan berada, seperti dalam sajak Subagio Sastrawardojo, ‘ruang kosong dan angin pagi’. Sebab, ada hal-hal yang tak bisa ditaklukkan oleh kata (baca: nyinyiran).
Dalam hidup yang redup, kita menemukan kembali kebenaran sebagai proses, bukan sebagai kesimpulan. Kesimpulan (dari kata “simpul”, yang mengikat), mengimplikasikan adanya kekuasaan untuk menetapkan dan mengikat, adanya pemaksaan untuk menutup tafsir. Di hadapan wacana yang seperti itu, kita adalah keterbukaan kepada yang tak rapi terumuskan, yang tak ternamai. Terkadang itu berarti keterbukaan kepada hening yang bukan kosong, kepada suwung yang sebenarnya berisi. Ganbate, VA!