Jumat, April 19, 2024

Angkutan Sekolah Terpadu atau Mati

Selama empat hari ini saya mengunjungi tiga SMA negeri di tiga kota berbeda: SMA 1 Sugihwaras Bojonegoro, SMA 15 Surabaya dan SMA 7 Semarang, untuk mengetahui praktik toleransi di sana. Namun, saya tak akan menceritakan soal itu sekarang, tapi soal budaya berkendara siswa-siswa di sana saat pergi dan pulang sekolah.

Mayoritas siswa di tiga sekolah tersebut menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi dan pulang sekolah. Dengan sepeda, motor arau mobil. Mengendarai sendiri atau diantar.

Di SMA 1 Sugihwaras Bojonegoro, yang bisa dibilang berlokasi jauh dari pusat kota Bojonegoro, sepeda menjadi kendaraan mayoritas siswanya, lalu motor. Sementara, mayoritas siswa SMA 15 Surabaya dan SMA 7 Semarang menggunakan motor. Di semua sekolah itu, saya tak melihat mobil di parkiran siswa.

Aprilia, seorang siswa di SMA 1 Sugihwaras Bojonegoro menyatakan pada saya, banyak yang mengendarai sepeda karena tempat tinggal siswa-siswa relatif dekat. “Yang motoran kayak saya itu yang rumahnya jauh,” kata Aprilia.

Abraham, siswa SMA 15 Surabaya, dan Rian, siswa SMA 7 Semarang mengaku menggunakan motor karena efisien di kota mereka yang macet. Surabaya dan Semarang memang kota besar yang kemacetannya hampir mirip Jakarta. Hampir di sini adalah, kalau di Jakarta macet bisa mengular sampai 10km, maka di dua kota itu 3km lah. Tetep menjemukan intinya.

Perkaranya adalah, para siswa tersebut tak semuanya memiliki SIM. Bahkan, sedikit sekali yang sudah memiliki SIM. Karena usia mereka memang belum layak mendapatkannya. Artinya, mereka belum pernah mengikuti tes zigzag, angka delapan dan lain-lain sebagai syarat mendapat SIM. Artinya pula, kemampuan berkendara mereka sangat diragukan.

Tentu itu bahaya. Tanpa kemampuan berkendara dan pengetahuan lalu lintas yang baik, risiko kecelakaan sangat besar. Apalagi psikis anak-anak seusia mereka cenderung suka pamer. Dalam hal ini, sangat mungkin mereka kebut-kebutan atau boncengan tiga agar dilihat keren. Besar kemungkinan bukannya mereka sampai ke rumah atau sekolah dengan selamat, malah ke rumah sakit atau tukang sangkal putung.

Data Kementerian Perhubungan menyatakan, selama rentang 2016-2017 korban lakalantas didominasi usia pelajar. Pada 2016 korban lakalantas dengan pendidikan SMA sebanyak 138.995 orang. Pada 2017 berkurang sedikit menjadi 132.423 orang.

Untuk SMP, sebanyak 31.106 siswa menjadi korban pada 2016. Jumlah itu turun menjadi 29.783 pada 2017.

Sungguh kondisi yang menurut saya patut masuk kategori darurat nasional. Sebab, angka-angka itu bukan sekadar mengindikasikan jumlah nyawa yang hilang, tapi hilangnya calon angkatan kerja, calon pemikir, calon teknokrat, calon politikus, sampai calon pemuka agama bangsa ini yang sangat mungkin membawa perubahan di kemudian hari. Kalau Bung Karno bilang sepuluh pemuda bisa mengubah dunia, maka matinya ratusan ribu pemuda sudah selayaknya disebut sebagai kiamat dunia.

Ironisnya, secara tak langsung negara telah turut berkontribusi pada matinya banyak siswa tersebut. Kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang baik selama ini sebatas berkaitan kegiatan belajar mengajar, yakni pemenuhan hak pendidikan dari dasar sampai perguruan tinggi dan pembuatan kurikulum.

Memang, tak bisa dipungkiri dua hal itu penting. UUD ’45 mengamanatkan setiap warga Indonesia berhak mendapat pendidikan yang baik. Dan, caranya lewat dua kebijakan tersebut.

Namun, apalah artinya kesempatan mendapatkan pendidikan dan pembuatan kurikulum yang baik jika para peserta didik terancam keselamatannya. Sama seperti apa pentingnya menggemborkan pendidikan berkualitas jika kondisi hidup tenaga pengajar sebagai penjaga gawang mutu pendidikan tak turut dipastikan kualitasnya.

Maka, sudah semestinya kebijakan pendidikan mencakup jaminan keselamatan siswa dan tenaga pengajar. Khusus menyangkut risiko kecelakaan di jalan, tak ada cara selain membangun infrastruktur angkutan sekolah terpadu. Bukan sekadar memberi diskon bagi pelajar naik angkutan umum, tapi menyediakan angkutan khusus untuk mereka.

Hal itu, saya pikir saat ini sangat mungkin diwujudkan. Saat ini Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah negeri sudah menggunakan sistem zonasi, yakni jarak rumah dan sekolah menjadi parameter sekolah menerima siswa. Seorang calon siswa yang tinggal di luar zona sekolah tak bisa mendaftar atau diterima di sana. Jadi, lokasi tempat tinggal siswa sebenarnya sudah terpetakan dan pemerintah bisa lebih mudah menentukan jalur atau halte bus sekolah.

Sayangnya, selama ini Kemendikbud tak pernah menyinggung hal itu terkait tujuan pemberlakuan sistem zonasi. Pernyataan Sekjen Kemendikbud Didik Suhardi pada 15 Oktober 2018 lalu yang dilansir Kompas.com misalnya (https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/15/18530531/tenyata-ini-3-tujuan-zonasi-selain-untuk-ppdb). Menurutnya, sistem zonasi memiliki tiga manfaat, yakni pemerataan kualitas pendidikan, menciptakan banyak sekolah favorit dan peningkatan kualitas guru. Alih-alih untuk memudahkan pembuatan infrastruktur angkutan sekolah terpadu.

Soal dana, menurut saya juga memungkinkan. Anggaran angkutan sekolah terpadu bisa menggunakan anggaran dana desa, infrastruktur dan pendidikan. Pada 2018, anggaran dana desa sebesar Rp70 triliun, infrastruktur sebesar Rp410,4 triliun, pendidikan sebesar Rp444,131 triliun. Jumlah yang menurut saya lebih dari cukup untuk merealisasikan angkutan sekolah terpadu dan tak akan mengganggu program pemerintah lainnya.

Menurut saya pula, penggunaan APBN untuk merealisasikan angkutan sekolah terpadu sama besar manfaatnya dengan membuat jalan desa, tol, bendungan, dan MRT. Misalnya untuk sekolah yang berada di daerah pelosok, jalan atau halte angkutan sekolah terpadu bisa digunakan untuk angkutan umum lainnya pula.

Sehingga, angkutan umum terintegrasi untuk semua kalangan sampai ke kampung-kampung bisa lebih cepat terealisasi juga. Peningkatan ekonomi desa dan daerah tertinggal pun bisa terlaksana dengan fasilitas tersebut.

Memang tak perlu langsung seluruh daerah. Dan memang tak mungkin seperti itu, lantaran kita tak hidup di negeri dongeng yang membangun 1000 candi dalam satu malam.

Yang terpenting, melihat hal-hal di atas, pembuatan angkutan sekolah terpadu tak bisa dihindarkan. Mesti menjadi program pemerintah pusat. Supaya penentuan anggaran dan tahapan perealisasiannya bisa lebih jelas. Bukankah, seperti kata Pak Jokowi, investasi terpenting adalah sumber daya manusia? Bukankah presidennya masih Jokowi?
Kecuali memang Pak Jokowi memang tak pernah terusik dengan kematian para siswa tersebut, ya silakan tak perlu realisasikan angkutan sekolah terpadu.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Ing ngarsa sung tulodho, ing madyo mbangun karsa, tut wuri handayani!

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.