Ketika narapidana teroris di Mako Brimob melakukan pemberontakan dan membunuh polisi, kita berduka. Menyebut kejadian itu sebagai tragedi yang seharusnya tak pernah terjadi. Saat bom meledak di Surabaya, kita sedih, menyebut tindakan itu sebagai sesuatu yang keji. Dua peristiwa beruntun itu mengganggu nalar dan hati nurani.
Bagaimana bisa manusia demikian kejam kepada yang lain?
Belum kering mulut kita mengutuk para pelaku kejahatan dan berdoa untuk para korban, orang-orang Ahmadiyah di Lombok diserang. Mereka yang puluhan tahun dikucilkan, diasingkan, karena memiliki keyakinan berbeda, disakiti, rumahnya dihancurkan, mereka diusir dari kediamannya.
Sekelompok orang melakukan penyerangan, perusakan, dan pengusiran terhadap warga penganut Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu dan Ahad, 19-20 Mei 2018.
Ke mana sebenarnya duka itu? Orang-orang yang mengaku mengutuk terorisme, yang menyebut bahwa teroris tak punya agama, atau yang mengaku tidak takut pada aksi kesewenang-wenangan, tiba-tiba diam. Mungkin tidak semua, mungkin ada yang bersuara pada tragedi Ahmadiyah ini, tapi ke mana kemarahan atas aksi teror itu?
Ini bukan soal siapa Ahmadiyah atau bagaimana tragedi dibandingkan. Kita sedang diuji. Benarkah kita membenci nilai atau membenci sekelompok orang. Pelaku teror gereja di Surabaya itu sama kejinya dengan mereka yang menyerang orang-orang Ahmadiyah di Lombok. Mereka yang mengira dengan melakukan kekerasan tengah menjalankan iman.
Terlalu banyak kemunafikan yang dipelihara di negeri ini. Tragedi atas tragedi tidak pernah berhenti membuat kita belajar. Kejadian penyerangan Ahmadiyah di Lombok membuat semangat kebersamaan, persatuan, dan solidaritas terhadap teror yang baru terjadi sebagai sebuah lelucon. Kita tak pernah benar-benar peduli, kita hanya mau dilindungi tanpa mau melindungi.
Orang-orang Ahmadiyah telah menjadi korban ketidakadilan sejak lama. Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang dibuat di era Susilo Bambang Yudhoyono SBY tak pernah dicabut. Sebuah dasar hukum yang membuat orang-orang ini terus dan terus menjadi korban. Masjid mereka disegel, properti mereka disita, di Lombok para pengikutnya mengungsi bertahun-tahun.
Arjun Appadurai pernah menulis karya seminal berjudul Fear of Small Numbers pada 1990. Ia berargumen bahwa dalam setiap konflik sosial yang melahirkan tragedi dan pembantaian selalu ada motif yang sama. Bagaimana kekerasan berbasis kebudayaan, genosida yang terjadi di Eropa Timur, Rwanda, dan India pada awal 1990 punya kemiripan dengan perang terhadap teror hari ini.
Perang itu dilakukan kepada kelompok yang lebih kecil di lingkungan masyarakat, selalu punya motif serupa. Satu kelompok masyarakat dominan merasa terancam dengan yang kecil. Mereka merasa bahwa yang kecil ini punya potensi merusak yang mayoritas, berbeda, dan sesat. Untuk itu kekerasan, perusakan, dan pelurusan harus dilakukan. Seperti Rohingya di Myanmar dan Ahmadiyah di Lombok.
Mentalitas ini kemudian melahirkan rivalitas. Kita lawan mereka. Yang murni lawan yang sesat, yang benar lawan yang salah, yang pribumi lawan pendatang. Ketakutan yang tidak rasional dipelihara oleh sentimen kebencian rasial, ajaran agama, kecurigaan, dan retorika peperangan antaretnis. Satu kelompok merasa lebih superior dari yang lain hingga berhak melakukan kekerasan.
Fahri Hamzah yang gemar berkomentar perihal aksi terorisme atau segala yang berkaitan dengan KPK nyaris diam soal tragedi ini. September silam ia berkicau, “Ada orang membandingkan nasib Ahmadiyah dengan Rohingya: Kayaknya orang itu di otaknya banyak ulat.”
Mungkin bagi Fahri Hamzah anggota dewan yang terhormat, satu kelompok yang diusir dari rumahnya, dipersekusi karena identitasnya, dan secara sistematis dihancurkan oleh kelompok mayoritas itu berbeda satu sama lain. Ahmadiyah, seperti juga Rohingya, tidak punya banyak pilihan melawan keadaan seperti itu.
Penderitaan itu tragedi bagi yang berpikir, komedi bagi yang merasa.