Imagine there’s no country
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace
(John Lennon dalam “Imagine”)
Marxisme pernah memimpikan anarkisme, masyarakat tanpa negara. Jauh, sebelum itu, juga Plato dengan komunalismenya. Tapi juga masyarakat-masyarakat laissez faire, laissez passer. Mereka ingin terus mengurangi peran negara dan, sebaliknya memperkuat masyarakat. Sadar atau tidak, ada perasaan bahwa sesungguhnya negara adalah suatu evil (keburukan), betapa pun mungkin mereka juga tak menyangkal bahwa ia necessary (niscaya). Maka, sebagai alternatif orang menyodorkan gagasan tentang masyarakat sipil (masyarakat madani, civil society).
Negara, betapa pun demokratisnya, bermakna kekuasaan untuk memaksa (the power to impose). Yakni, memaksakan peraturan yang disepakati bersama (meski tak jarang) juga memaksakan “peraturan” pihak yang kuat atas yang lemah. Maka perlu ada polisi, perlu ada tentara, perlu ada senjata, dan perlu ada korban. Belum lagi, seperti sudah dibuktikan sepanjang sejarah, power tends to corrupt.
Maka kaum pasifis memimpikan dunia tanpa kekerasan, tanpa perang. Seperti John Lennon, mereka pun membayangkan dunia tanpa negeri, yang di dalamnya semua orang bisa mengatur dirinya sendiri, meraih kebaikan bersama (common good), dalam suatu interaksi yang damai tanpa polisi, tanpa tentara, tanpa kekuasaan.
Mimpi John Lennon bahkan menerawang lebih jauh lagi. Kepada sebuah dunia tanpa agama. Seperti negara, agama juga acapkali tampil sebagai sumber pertengkaran dan peperangan. Acapkali pula, agama menonjolkan kekuasaan dan penguasaan. Juga penindasan. Atas nama Tuhan. Tak sedikit peperangan melibatkan — sebagian orang bahkan terkadang hendak menisbahkan semua peperangan kepada — agama. AC Grayling dalam What is Good. The Search for The Best Way to Live — misalnya, terang-terangan bersikap seperti ini.
Dalam sejarah panjang perselisihan antara “pandangan (religius) transendentalis” melawan “pandangan sekular”. Filosof ini tanpa ragu berpihak pada yang disebut terakhir dan menyodorkan suatu “etik humanis”. Inilah semburan Grayling : “… hampir semua kemajuan manusia mendapatkan perlawanan dari agama, dan bahwa semua penderitaan manusia, selain yang disebabkan oleh penyakit dan berbagai keburukan alami, telah merupakan akibat dari konflik-konflik yang diilhami agama dan penindasan-penindasan yang didasarkan atas agama.”
Maka, orang-orang seperti Lennon, mungkin juga Grayling, ingin manusia dibebaskan dari agama. Hanya dengan cara seperti itu perdamaian bisa tercapai. Tapi, seperti juga pada kenyataannya sejarah masyarakat tak pernah benar-benar bisa dibayangkan tanpa Negara- – tanpa kekuasaan mengatur dan memaksa –maka tak juga terbayangkan manusia tanpa agama. Bahkan lebih dari negara, manusia dalam eksistensinya yang terdalam tampaknya memang tak akan pernah lepas dari kebutuhan untuk beragama. Agama ada bahkan jauh sebelum diperkenalkannya institusi negara.
Jauh sebelum itu. Tak akan banyak yang membantah bahwa kecenderungan untuk beragama sebenarnya sudah setua umur keberadaan manusia di muka bumi. Meski bukan tanpa sanggahan, jauh lebih banyak orang – betapa pun sebagiannya menisbahkan pada ilusi, ketakutan, dan supresi – percaya bahwa kebutuhan untuk beragama ada dalam eksistensi terdalam makhluk yang bernama manusia. Ia ada dalam fitrahnya, kita maknai apa pun istilah ini. Sebagaimana negara terbukti merupakan necessary evil dan tak terbayangkan ketiadaanya dalam kehidupan manusia, demikian pula pengaturan – yang terkadang bermakna pemaksaan – tak terbayangkan pula absen dari agama.
Meski banyak agamawan atau pengikutnya akan serta-merta menolak pandangan Grayling bahwa iman adalah sumber konflik terbesar, tak pelak banyak di antara mereka yang menerima kenyataan bahwa penganutan agama memang memendam potensi berkonflik. Tapi, tak seperti Grayling, sumbernya bukan terletak pada tabiat intrinsik agama itu sendiri. Tak sulit bagi mereka untuk melihat bahwa sesungguhnya agama lebih sering dimanipulasi untuk keperluan-keperluan opresif seperti ini. Ia, lebih sering dari pada tidak, dipakai sekadar sebagai dalih untuk sebuah agenda lain, suatu ulterior motive. Kenyataanya, malah peran agama yang tidak konstruktif seperti itu lebih disebabkan oleh kesalahpahaman memahami makna agama dan ajarannya, serta perannya di tengah masyarakat.
Dengarlah Charles Kimball sebagai salah satu amsal: “Di jantung orientasi dan pencarian relijius, manusia mendapatkan makna dan harapan. Dalam ajaran asli dan intinya agama boleh jadi mulia, tapi bagaimana ia nyaris selalu berkembang tak sesuai dengan ideal seperti itu? Para pengikut (agama) acap kali menjadikan pemimpin-pemimpin, doktrin-doktrin, dan keperluan untuk mempertahankan struktur-struktur institusional sebagai kendaraan dan justifikasi bagi perilaku yang tak dapat diterima.”
Sebelum itu, dalam When Religion Becomes Evil , profesor ahli Sejarah Agama yang juga seorang pastor ini menulis : “Sepanjang sejarah, gagasan-gagasan dan komitmen-komitmen keagamaan telah mengilhami orang dan masyarakat orang-orang beriman untuk mentransendensikan kepentingan-kepentingan diri yang sempit ke dalam pengejaran nilai-nilai dan kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi. … Pada waktu yang sama, sejarah dengan gamblang menunjukkan agama sering terkait secara langsung dengan contoh-contoh perbuatan terburuk manusia. … (Bahkan) lebih banyak perang dilancarkan, lebih banyak orang terbunuh dan, pada masa-masa sekarang ini, lebih banyak kejahatan dilakukan atas nama agama ketimbang kekuatan institusional apa pun lainnya sepanjang sejarah manusia.”
Karena itu, sebagian orang-orang beriman seperti ini tak urung bisa memahami analisis Grayling : “(Agama dapat berperan negatif seperti ini karena) hirarki-hirarki keagamaan telah berhasil dalam meraih kekuasaan atau, setidaknya, pengaruh politik, sebagaimana dipertunjukkan oleh Kristianitas sepanjang sejarahnya – juga dalam (sejarah) Islam – dan oleh fundamentalisme kontemporer dalam berbagai bentuknya di India, Israel, dan Amerika Serikat.” Kita pun harus menambahkan, untuk menciptakan konflik, fundamentalisme – maksud saya pemahaman yang sempit dan eksklusivistik atas agama – tak mesti meraih kekuasaan politis-formal. Bahkan dengan sekadar kemampuan mengimbau fanatisme primitif massa pemeluk agama, sekelompok kecil gerombolan fundamentalis sudah cukup mampu untuk mendukung peran penuh konflik agama seperti ini.”
Maka, sekarang merupakan pekerjaan rumah bagi siapa saja yang ingin agar agama memiliki peran positif dalam kehidupan untuk memastikan bahwa agama dipahami dan dikembangkan dengan suatu cara sedemikian, sehingga mempromosikan kedamaian dan civility. Pada kenyataannya, agama bukannya tak mengandung benih-benih bagi suatu pemahaman yang berorientasi kedamaian dan civiliity sedemikian. Demikian pula, praktik-praktiknya bukan juga tanpa preseden seperti ini. Islam – yang sekarang berada di bawah spotlight akibat berbagai konflik yang disulut, atau setidaknya melibatkan, para pengikutnya di berbagai belahan dunia – tak miskin dari berbagai ajaran tentang prioritas, bahkan prinsipialitas, perdamaian atas konflik. Termasuk prinsipialitas cara-cara yang baik dan persuasif (maw‘izhah hasanah) dan musyawarah, atas pemaksaan. Juga prinsipialitas kasih-sayang atas kemurkaan. Inilah yang antara lain ditekankan oleh banyak islamolog, khususnya para ahli tasawuf, semisal Annemerie Schimmel.
Kenyataannya, tasawuf memang mempromosikan Islam sebagai iman yang berorientasi cinta – eros oriented religion, bukan (semata-mata) berorientasi hukum (nomos oriented religion). (Untuk uraian tentang hal ini, sila baca tulisan saya, “Islam Between Law and Love”). Bahkan, kita berani menyatakan bahwa dalam sejarahnya – bahkan dalam masa-masa belakangan, ketika Islam tercitrakan sebagai agama yang mempromosikan radikalisme – ajaran ini dipraktikkan oleh mayoritas penganutnya di seluruh dunia sebagai agama spiritual berorientasi kesalehan individual dan sosial yang dama, ketimbang agama hukum dan politik.
Problemnya, keterkaitan agama dengan emosi sering menimbulkan reflex yang mengedepankan kemarahan ketimbang rasionalitas, apalagi cinta (eros atau pathos). Khususnya jika penghayatan agama bercampur-baur dengan perasaan tertindas dan termarjinalisasi. Baik itu perasaan ketertindasan ekonomi atau pun sosial politik. Padahal, ajaran dasar agama ini, sebagaimana dengan gamblang dimuat dalam Kitab dan Tradisi-Sucinya, sepenuhnya berakar pada cinta.
Maka, memang pada akhirnya tak ada jalan lain kecuali menghimbau kemanusiaan manusia. Sebuah proses educare, sebuah tahdzib (refinement) atas karakter manusia, hingga penciptaan habitus yang diperlukan. Sebuah pengembangan phronesis (kebijaksanaan praktis etis). Itulah pendidikan. Baik pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah-sekolah hingga pendidikan politik demokratis. Di sisi lain, kita semua juga harus turut memastikan bahwa keadilan sosial harus diupayakan penegakannya, baik di level lokal, nasional, maupun internasional. Memang peraturan, kekuasaan, dan pemaksaan seringkali tak terhindarkan. Tapi, ia hanya diperlukan sebatas memastikan bahwa suasana yang kondusif untuk mencapai tujuan-tujuan luhur itu tak terganggu.
Civility,sesungguhnya juga demokrasi, memang mustahil dicapai lewat cara-cara yang bertentangan dengan itu.
*Disampaikan sbg bahan diskusi “Agama dan Okupasi Ruang Publik”, Rabu, 15 Mei 2019, di Serambi Salihara, Jakarta