Rabu, April 24, 2024

Agama Numerik Din Syamsuddin

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.

Ketika membaca berita tentang ceramah Dr. Din Syamsuddin di Konferensi Pekabaran Injil 2018, yang dilangsungkan di Brastagi Sumatera Utara baru-baru ini, yang muncul di pikiran saya adalah dog-whistle politics. Istilah bahasa Inggris ini umum dipakai di media massa atau kajian-kajian tentang politik di Amerika. Aslinya berasal dari dog-whistle atau lolongan anjing. Mengapa ia menjadi istilah politik?

Anjing kadang melolong dengan frekuensi yang bisa didengar oleh sesama anjing tetapi tidak terdengar oleh manusia. Dalam politik, kiasan ini dipakai untuk menggambarkan suatu pesan politik yang yang bermakna biasa saja untuk publik, tapi menjadi serupa “kode” untuk kelompok yang ditargetkan.

Hal ini sangat biasa dalam politik Amerika, khususnya dalam politik rasial dan identitas. Begini. Kalau politisi kulit putih Amerika bicara tentang kriminalitas, itu biasanya mengacu pada kelompok masyarakat kulit hitam. Pemilih kulit putih (khususnya di bagian selatan) dianjurkan untuk tidak memilih politisi yang “lunak terhadap kriminalitas” (soft on crimes). Artinya, jangan pilih politisi yang akan memberi kemudahan kepada orang kulit hitam.

Demikian juga dengan “jaminan sosial” (welfare). Ini adalah kata kode untuk kaum miskin—biasanya Kulit Hitam dan Kulit Cokelat (Latino). Orang kulit putih Amerika sangat anti terhadap “welfare“, karena mereka pikir, mereka membayar pajak untuk menyangoni hidup orang-orang miskin ini, yang tidak bekerja, banyak minum, dan banyak melakukan tindak kriminal. Jangan pilih politisi “pro-welfare” punya makna yang sangat rasialis: anti orang hitam dan Latino. Ronald Reagan dulu memakai istilah “Queen Welfare” untuk masyarakat ini. Dia sukses dan terpilih jadi presiden antara lain karena istilah tersebut.

Jika Anda sekarang mendengar Donald Trump menggunakan istilah-istilah antimigran, sesungguhnya itu adalah kode untuk pemilih Amerika (yang umumnya berkulit putih) untuk anti-Latino, serta khususnya anti-Muslim. Ketika dia memakai istilah menghormati “bendera” (flag), maka yang dituju adalah ketidaksukaan terhadap kulit hitam. Trump mengangkat rasisme ke tingkat yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya.

Nah, apakah hal seperti ini juga dilakukan di Indonesia? Ya. Tidak saja di Indonesia sebenarnya. Politisi bicara dengan bahasa yang dimengerti pendukungnya. Kalau ia bicara dengan bahasa yang secara moral tidak baik, maka dia melakukannya dengan bahasa kode. Dia melakukan dog-whistling.

Din Syamsuddin membuat sebuah pernyataan yang sangat mudah ditangkap (catchy). Din yang juga adalah Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP)—aduhai, gelarnya!—mengatakan bahwa pertumbuhan pemeluk Protestan di Indonesia membuat umat Islam tersinggung.

“Beberapa penelitian menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan pemeluk Protestan per tahunnya meningkat,” katanya, “terutama di beberapa kantong Muslim, seperti Yogyakarta dan Sumatra Barat.”

Media massa dan media sosial sangat menyukai sound bites atau paparan super ringkas yang memancing orang untuk membaca. Ujaran Dr. Din Syamsuddin ini dengan segera menjadi santapan halaman muka: bahwa jumlah pemeluk Protestantisme meningkat tajam. Din kemudian menghubungkannya dengan radikalisme. Isu Kristenisasi, katanya, memicu radikalisme.

Ini bukan kali pertama seorang politisi (saya mengangap Din Syamsuddin seorang politisi) mengangkat isu semacam ini ke permukaan. Sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla mengatakan pertumbuhan jumlah gereja lebih banyak daripada masjid. Kita tidak tahu dari mana data yang diungkap Kalla itu berasal. Namun, kadang-kadang sound bites seperti ini memang mengabaikan konteks.

Umat Kristen (Protestan, khususnya) terdiri atas banyak sekali denominasi. Setiap denominasi memiliki gereja sendiri. Siapa saja bisa mendirikan denominasi dan, dengan demikian, punya tempat berkumpul atau gereja sendiri. Meski demikian, kita harus melihat secara kritis angka pertumbuhan jumlah gereja (bangunan fisik?) ini. Benarkah demikian? Saya tdak tahu. Politisi kadang memelintir data-data yang multitafsir hanya untuk mendapatkan sound bites. Mungkin tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar kalau diletakkan dalam konteks.

Bagaimana dengan pernyataan Dr. Din Syamsuddin? Saya tidak tahu data yang dia pakai. Kebetulan selama beberapa bulan terakhir ini saya bergelut dengan statistik, terutama yang menyangkut etnis dan agama.

Data BPS untuk seluruh Indonesia menunjukkan tidak ada penurunan jumlah pemeluk Islam. Pada tahun 1971 umat Islam adalah 87.51 persen dari penduduk Indonesia. Penghitungan tahun 2000 naik sedikit menjadi 88.22 persen, dan tahun 2010 kembali menjadi 87.51 persen. Jumlah pemeluk Kristen (Protestan dan Katolik) memang menunjukkan kenaikan persentase yakni 7.39, 8.92, ke 9.90 persen. Jika ada kelompok agama yang mengalami penurunan persentase secara nasional, itu adalah umat Hindu dan Buddha. Itu soal lain yang perlu pembahasan lebih lanjut.

Di DI Yogyakarta, yang disebut Din Syamsuddin, tidak ada perubahan signifikan komposisi agama dari sejak 1970 hingga 2010. Umat Islam berjumlah konsisten antara 91-92 persen dari penduduk DIY. Sementara pemeluk Protestan antara 2,5 hingga 2,8 persen; Katolik antara 4,5-5.5 persen. Yogyakarta adalah daerah dengan migrasi masuk dan keluar dengan jumlah yang sangat signifikan.

Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Barat. Penduduk Muslim di daerah ini sejak 1970-2010 berkisar antara 96-97 persen. Penduduk Protestan antara 1-1,4 persen; Katolik antara 0,5-1.8 persen. Mungkin penduduk Protestan kelihatan sedikit bertambah. Kalau pertambahan di dalam Protestan dihitung secara prosentase, memang akan kelihatan besar. Perhatikan pernyataan seperti ini: Prosentase Protestan bertambah 120 persen dalam 10 tahun—tanpa mengatakan pertambahan dari 10 ribu ke 22 ribu. Kalau penduduknya berjumlah 4,8 juta jiwa, maka pertambahan 12 ribu itu kelihatan tidak ada artinya. Tapi politisi harus menciptakan sound bites, bukan? Di Sumatera Barat, pertambahan tercepat saya kira terjadi di Kepulauan Mentawai, dari agama lokal ke Protestantisme.

Mengapa Protestan kelihatan cepat bertambah? Saya kira, konversi antar denominasi dan konversi dari Katolisisme ke Protestan (terutama gereja-gereja Pentekostal) berlangsung sangat signifikan.

Satu-satunya data paling terpercaya (dengan segala keterbatasan dan kekurangannya) adalah data dari Biro Pusat Statistik. Namun data ini pun memiliki kelemahan. Data sensus diambil secara terbuka. Orang dibebaskan untuk mengidentifikasi agama apa yang dianutnya. Kadang orang tidak mau berterus terang tentang agama yang dianutnya karena berbagai alasan. Kadang dia memberikan data yang salah. Hal yang sama terjadi dengan di KTP. Kadang orang mencantumkan agama dengan alasan-alasan tertentu. Sama dengan orang mengidentifikasi kelompok etnis di mana dia berafiliasi.

Benarkah hanya kelompok Kristen (Protestan dan Katolik) yang tumbuh paling cepat di Indonesia? Sulit untuk menjawabnya. Kita harus melihat kasus dan daerah-daerah. Peneliti dari Australia, Dr. Ian Chalmers, pernah menulis makalah tentang kenaikan pesat umat Islam di Kalimantan Tengah. Islamisasi orang Dayak berlangsung secara cepat di sana. Jumlah umat Islam di propinsi ini melonjak dari 55 persen (1970), ke 74 persen (2000) dan 75 persen pada sensus terakhir 2010.

Belum lagi kita melihat jumlah pertambahan yang sangat signifikan umat Islam di Papua. Arus migrasi besar-besar ke daerah ini, dalam waktu dekat akan mengalahkan jumlah bangsa Papua.

Dalam statistik, kita juga menghadapi problem penghitungan (enumeration). Semakin hari, metode penghitungan statistik semakin diperbaiki sehingga menampilkan data yang lebih akurat.

Bagaimana pun agama adalah identitas. Dan, mempolitisasi identitas itu sangat mudah dan sangat cepat membangkitkan emosi. Salah satu cara membangkitkan emosi adalah dengan mengeksploitasi angka. Orang dengan mudah menjadi marah kalau jumlah dalam kerumunannya dirasa berkurang. Artinya, sebuah kelompok itu merasa lebih lemah. Itulah yang dieksploitasi oleh para politisi.

Namun, angka juga mudah dilawan terutama dengan melakukan pendalaman atas kasus spesifik. Bagaimana, misalnya, dengan kampanye besar-besaran lewat media mainstream atau media sosial tentang seorang selebritis menjadi mualaf? Di Indonesia bahkan ada “Mualaf Center”. Mungkin dari sisi jumlah yang beralih agama tidak banyak. Namun, dia menjadi sangat berarti secara kualitatif kalau yang beralih agama adalah seorang selebritis.

Seorang yang menjadi mualaf itu lebih berbicara kepada umat Islam ketimbang kepada orang nonmuslim. Disitulah letak bobotnya. Sama dengan orang yang beralih agama menjadi Kristen dan memberi kesaksian di banyak gereja. Orang-orang seperti ini menjadi penting untuk menghibur rasa keterpurukan kelompoknya.

Harus kita akui, dalam kebudayaan pop kita sekarang menjadi mualaf jauh lebih keren. Hal-hal seperti ini tidak akan mampu ditangkap secara numerik.

Dan sejak tahun 1990an, Islamisasi jauh lebih berhasil daripada Kristenisasi.

Namun, untuk politisi yang gemar mengeksploitasi agama, mengatakan hal ini tentu tidak populer. Politisi memerlukan passion atau gairah agar orang mau mendukungnya. Mereka dengan pandai memainkan sentimen-sentimen ini. Seperti di Amerika, semua tindakan dog-whistling itu ditujukan untuk membangkitkan konstituen sebagai korban, sebagai yang terpuruk, sebagai yang terancam kalah, dan dengan demikian bangkit bersama sang politisi yang akan menjadi pembela mereka.

Saya melihat pernyataan Dr. Din Syamsuddin tidak lebih dari sekadar sebuah dog-whistling. Dia berbicara dihadapan forum Protestan, tapi, saya kira, dia tahu persis bahwa dia bicara bukan untuk audiens yang berada di ruangan itu. Ia bicara kepada targetnya: sebagian umat Islam yang merasa terpuruk dan terancam akan kalah jumlah.

Beragama secara numerik itu menjengkelkan. Politisi akan dengan senang hati mengeksploitasi dan memanipulasi kejengkelan Anda itu.

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.