Jauh sebelum ada 200 Mubaligh, saat saya kuliah dulu, saya ingat sekali, Bapak memberi buku 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. Pesannya satu, jangan bergabung dengan mereka, apalagi percaya omongan mereka. Orang-orang itu, kata bapak, adalah perusak akidah. Mereka pengusung ide sekularisme, pluralisme, dan liberalisme alias sepilis yang berniat menghancurkan Islam dari dalam.
Bapak tidak tahu, saat itu saya baru saja tamat membaca buku Ahmad Wahib, mulai membaca buku Soe Hok Gie, dan jatuh cinta pada pemikiran Gus Dur—orang yang Rizieq Shihab sebut “Buta mata, buta hati”, di televisi nasional. Tapi tentu bukan soal Gus Dur dan ejekan Rizieq Shihab saya menulis ini, ada hal lain yang perlu kita pahami.
Perkara membikin daftar, muslim Indonesia jagonya.
Beberapa tahun terakhir, kelompok yang tak jelas identitasnya membuat daftar ulama, cendikiawan, atau tokoh muslim yang dianggap Syiah atau bersukutu dengan Syiah. Dalam daftar itu ada Profesor Quraish Shihab, Haidar Bagir, Jalaludin Rakhmat, hingga Muhsin Labib. Tujuannya? Mendiskreditkan hingga perintah untuk menjauhi serta tidak mendengarkan apa yang mereka sampaikan.
Maka saat Kementerian Agama merilisi daftar 200 Mubaligh yang direkomendasikan sebagai penceramah, itu bukan hal baru, bukan hal luar biasa, apalagi perlu dibikin panik. Jika sebelumnya sudah ada daftar pendukung Liberalisme dan Sekulerisme serta Syiah, apalah artinya daftar yang dibuat oleh Kementerian Agama itu?
Bukan apa-apa, ini bukan whataboutism, Kementerian Agama hanya meneruskan tradisi Islam Indonesia yang gemar memberi label, tanda, atau daftar. Perkara label itu membuat sebagian orang marah, ya bodo amat. Saat beredar daftar 50 Tokoh Islam Liberal atau Ulama-Ulama Syiah itu memangnya tidak ada yang marah?
Almarhum Gus Dur dan Nurcholis Majid adalah sosok yang paling sering dihina, dilabeli, dan dituduh macam-macam. Sejarah membuktikan bahwa keduanya tidak seperti yang dituduhkan. Mereka menjadi inspirasi generasi baru intelektual muslim yang mendorong perubahan dalam kajian Islam.
Label sesat juga sering ditimpakan kepada Profesor Quraish Shihab yang sudah jelas keilmuan, rujukan ilmu, dan riwayat gurunya. Label liberal kepada Buya Syafi’i Maarif yang menolak mendukung gerakan tolak pemimpin kafir. Jangan lupakan bahwa Gus Mus sering diejek di internet. Bagaimana Cak Nun dibenci karena memberikan pandangan berbeda dari kebanyakan orang.
Atau yang langganan dituduh ulama palsu: KH. Said Aqil Siraj.
Soal bikin daftar, 200 Mubaligh versi Kementerian Agama bukan satu-satunya yang komikal. Jangan lupa daftar ciri-ciri pengguna narkoba yang dibuat oleh BNN, atau ciri-ciri teroris yang disusun oleh BNPT: berniat dirikan khilafah di bumi NKRI, pengujar kebencian etnis, gemar mengkafir-kafirkan orang lain, dan anti-Pancasila, antipersatuan bangsa.
Pernah dengar yang demikian? Sering. Enggak usah jauh-jauh, tinggal buka Youtube, ketik kata kunci “Ahmadiyah”, “Syiah”, “Liberal”, akan muncullah para ulama atau ustadz jenis label BNPT tadi. Masalahnya, ini bukan muncul satu-dua hari. Dulu ada orang yang bilang membunuh Ahmadiyah itu boleh, enggak usah peduli Hak Asasi Manusia, sekarang giliran ustadz panutannya dimasukkan ulama anti-NKRI, eh, dia ngamuk.
Memang susah ngomong sama kanebo yang dikasih nyawa.
Kesal disebut kanebo? Kanebo itu dikasih air lembek, dikeringkan jadi kaku. Alias tergantung suasana. Meminjam istilah Soe Hok Gie, menginjak jika berkuasa, mengemis jika ditindas. Umat semacam ini susah berpikir dan berbuat adil, gemar menyatakan diri sebagai korban dalam banyak siatuasi, dan mengedepankan kemarahan daripada akal sehat. Umat seperti ini memang doyan bikin daftar, dari yang awam hingga elitenya.
Mantab jaya.