Tahun ajaran baru telah dimulai. Calon peserta didik dan orang tua sudah mulai berpikir keras—untuk tidak menyebut pusing–mau menitipkan anak mereka ke sekolah yang mana. Kondisi ini semakin diperparah oleh informasi yang tidak benar mengenai sistem baru zonasi.
Walaupun sistem ini bukan sesuatu yang baru, namun masih banyak orang tua, guru, bahkan pemerintah daerah belum tahu mengenai sistem ini. Mereka kemudian menuduh sistem ini sebagai proyek gagal. Padahal sistem ini masih baru dan belum dilakukan evaluasi secara serius oleh semua pihak.
Bahkan, ada yang mendorong agar Presiden melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencabut aturan zonasi ini. Mereka beralasan, zonasi menimbulkan kegaduhan; tidak ada lagi sistem kompetitif antarpeserta didik; infrastruktur sekolah yang timpang dan seterusnya. Benarkah sentimen negatif itu?
Mendobrak Tatanan Lama
Sistem zonasi memang menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan bagi mereka yang tidak siap dengan sistem baru. Sistem zonasi mendobrak tatanan lama yang telah berkerak. Sistem lama itu bernama sekolah favorit dan tidak favorit–untuk tidak menyebut sekolah buangan.
Dulu ada anggapan bahwa sekolah negeri tertentu menjadi sekolah unggulan di sebuah daerah. Sekolah itu dapat mengantarkan peserta didik menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan setara.
Namun, sekolah-sekolah itu biasanya memang sudah menerima input yang bagus. Jadi guru tinggal memoles sedikit. Bahkan, ada ungkapan, jika mengajar di sekolah favorit guru tinggal memberi pengantar sedikit mereka sudah paham. Guru pun tidak perlu kerja keras untuk mendorong mereka belajar dan meraih prestasi tinggi. “Ditinggal tidur saja, peserta didik sudah pintar”, kira-kira itu celoteh banyak orang.
Dengan sistem zonasi kemapanan itu didobrak. Zonasi mendorong semua peserta didik berkompetisi sesuai dengan bakat dan potensi masing-masing. Mereka tidak hanya bergaul dengan mereka yang telah memiliki potensi lebih. Boleh jadi mereka akan bersaing dengan mereka yang secara kemampuan masih di bawah.
Melalui zonasi mereka akan belajar dengan kondisi teman yang lebih plural (beragam). Mereka akan bertemu dengan mereka yang hebat walaupun kemampuannya berbeda-beda.
Zonasi memungkin mereka bertemu dengan kerabat atau tetangga terdekat. Melalui zonasi seorang peserta didik akan mudah belajar dan menyesuaikan dengan lingkungan baru. Hal ini dikarenakan mereka telah banyak mengenal teman sebaya. Perkenalan itu didapat dari pertemanan di dekat rumah.
Zonasi memungkinkan peserta didik mengalami perjumpaan yang erat. Proses sosialisasi dan pertemanan yang erat inilah yang mendorong semua peserta didik dapat berprestasi sesuai dengan kompetensi masing-masing. Inilah yang akan mewujudkan cita pendidikan nasional sebagaimana dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20. Tahun. 2003 Pasal 1.
Guru Kreatif
Tidak hanya bermanfaat bagi peserta didik, zonasi mendorong guru lebih kreatif. Guru tidak lagi bertemu dengan peserta didik dengan kemampuan yang sama (homogen). Mereka akan bertemu dengan peserta didik hebat dengan berbagai latar belakang dan potensi yang mungkin sangat kontras satu sama lain.
Perjumpaan dengan mereka yang beragam, akan mendorong ide kreatif guru. Guru akan mencari metode dan model pembelajaran yang berubah dari hari ke hari. Mereka pun akan merancang silabus, rancangan proses pendidikan (RPP), lebih kreatif. Mereka harus mengubah RPP yang mungkin sudah lebih dari lima tahu tidak berubah. Guru pun akan terus mencari referensi tambahan, sehingga proses pembelajaran menjadi semakin asyik dan menyenangkan.
Dengan demikian, guru mendapat kesempatan untuk keluar dari zona nyaman yang mungkin selama ini meninabobokan mereka. Zonasi mendorong setiap guru untuk dapat mengenal setiap peserta didiknya. Guru pun diminta untuk menjadikan potensi hebat menjadi semakin berjaya.
Oleh karena itu, tidak ada alasan jika kemudian zonasi mengubur iklim kompetitif peserta didik. Justru melalui zonasi setiap potensi diakui dan mendapat kesempatan yang sama. Artinya, peserta didik akan mendapatkan sentuhan guru-guru cerdas dan kreatif, yang mungkin dulu hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu. Potensi dasar peserta didik pun akhirnya berkembang, tumbuh, dan semakin cemerlang berkat kreatifitas guru.
Persemaian Luhur
Iklim kompetisi yang lebih bermartabat inilah yang akan menjadikan Indonesia hebat di masa depan. Pendidikan tidak hanya hanya diukur dari hasil nilai Ujian Nasional (UN) dan nilai-nilai kuantitatif. Namun, setiap prestasi dari kerja kreatif peserta didik akan menjadi nilai plus. Tidak ada lagi peserta didik yang pintar hanya diukur dari nilai ujian saja. Peserta didik yang cerdas adalah mereka yang mampu mendayagunakan potensi sebagai anugerah Tuhan.
Potensi itu tentu tidak hanya berwujud kecerdasan intelektual. Namun juga kecerdasan lain yang memungkinkan setiap peserta didik semakin nyaman belajar di sekolah. Kenyamanan belajar di sekolah merupakan iklim baru yang ingin diciptakan oleh sistem zonasi. Setiap peserta didik dihargai melalui proses belajar berdasarkan kecerdasan masing-masing.
Sistem zonasi mendorong sekolah menjadi tempat persemaian luhur. Persemaian luhur yang heterogen, saling menghargai kecerdasan setiap peserta didik, dan hubungan antara guru, peserta didik, dan staf di sekolah seperti di dalam rumah, yang penuh penghormatan dan kasih sayang.
Pada akhirnya, mari mewujudkan sistem pendidikan yang bermartabat. Mari mendorong setiap peserta didik menjadi insan pilihan yang hebat. Mari menjadikan sekolah sebagai tempat persemaian yang menyenangkan dan mengembirakan.