Selasa, Oktober 8, 2024

Zaman Bergerak Jilid II

Hendra Try Ardianto
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologi-agraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA).

 

Sejumlah pengunjuk rasa dari warga Rembang menggelar poster saat berunjuk rasa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jateng, Kamis (6/11). PTUN menggelar sidang perdana gugatan enam warga Rembang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terhadap Gubernur Jateng yang telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/ss/pd/14.
Sejumlah pengunjuk rasa dari warga Rembang menggelar poster saat berunjuk rasa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jateng, beberapa bulan lalu. ANTARA FOTO/R. Rekotomo.

Tulisan saya sebelumnya, “Munculnya Orde Baru Jilid II” menuai komentar beragam, ada yang mengiyakan dan tak jarang yang mencaci. Sebagian yang mencerca kebanyakan berargumen, “Kenapa Soeharto dibawa-bawa lagi, sekarang kan era Jokowi!”, atau logika yang lebih nyinyir, “di Era Seoharto lebih enak, apa-apa murah dan tak banyak yang protes”. Di sinilah saya merasa sedih.

Padahal, yang saya maksud dengan “bahaya orbais” bukan persoalan era, bukan pula soal siapa presidennya, namun lebih pada mindset yang dasar-dasarnya telah diletakkan Soeharto selama 32 tahun lamanya. Mindset Orbais ini kembali menjangkit para pemimpin Negara, mulai dari pusat hingga daerah. Tak kurang banyaknya pemimpin kita, yang begitu lux dan seolah berpihak pada rakyat di depan televisi (juga media massa), namun disisi bersamaan begitu alergi terhadap protes dan kritik.

Yang lebih ironis, virus orbais juga menjangkiti –dalam istilah satirnya–“kelas menengah ngehek”. Mereka kencang sekali mencecari setiap tulisan atau berita yang isinya protes atau mengkritik kebijakan/pelayanan. Ciri-cirinya biasa berkomentar, “Awas, jangan teradu domba, tulisan/berita yang memecah belah bangsa”. Mereka ini adalah generasi Orbais tulen, yang mengedepankan harmoni meski dengan cara kekerasan dan penindasan. Kata teman saya, “Jika di zaman kolonial Londo dulu, pasti mereka golongan bangsawan, maunya tenang dan damai, disisi bersamaan penindasan terjadi dikanan-kirinya sendiri”.

Ya, bahaya Orbais jelas nyata, tak diragukan. Terutama di level Negara, dimana para pejabat sudah mulai alergi dengan protes, diam saat ada kekerasan, bahkan yang tak kurang menyakitkan adalah menjadi sosok yang sangat pro-rakyat di depan televisi (atau media massa), namun kenyataan sesungguhnya mengekor pada kepentingan korporasi-korporasi yang menghajar habis ruang hidup rakyatnya sendiri.

Idealnya, tatanan Orbais itu runtuh saat Reformasi 1998.  Namun sekarang yang tampaknya terjadi adalah semangat reformasi semakin meredup, sedangkan spirit Orbais bersemi lagi bahkan sedikit demi sedikit diinstitusionalkan. Bagi pembaca yang update dengan analisis politik Indonesia kontemporer, pasti akan sering menemukan analisis soal hijacking democracy, local strongmen, bossism, shadow state, bahkan ada yang menyebut genocide state. Itu semua –bagi saya yang belajar politik–, adalah kelahiran Orde Baru Jilid II.

Namun, tak ada faedahnya kita berdebat apakah rezim (dari pusat hingga daerah) sekarang adalah jenis Orba Gaya Baru. Tak ada gunakan pula membincangkan tipologi apa yang dipraktikan Negara saat ini. Apabila semua perbincangan itu tak bisa memberi ruang bagi rakyat untuk memperbaiki hidupnya. Saya lebih suka melanjutkannya dengan gagasan bahwa sekarang adalah zaman bergerak. Di level Negara boleh saja sedang hidup Orba Jilid II, namun di level akar rumput hari ini juga sedang mengarah pada “Zaman Bergerak Jilid II”.

“Zaman Bergerak” sendiri merupakan narasi politik yang dililustrasikan oleh Takashi Shiraishi untuk pembacaan Indonesia tahun 1912-1926. Dan kira-kira juga, narasi serupa dipakai Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru. Singkatnya, mereka melihat era itu adalah era dimana radikalisasi semangat terbebas dari (kapitalis) kolonial Belanda melahirkan banyak pergerakan, mulai dari surat kabar, gerakan massa, hingga aksi-aksi mogok. Sebagai sebuah perumpaaan, jika kala itu adalah zaman bergerak jilid I, mungkin sekarang saatnya zaman bergerak jilid II”.

Dengan berbagai limitasi argumen –yang saya sadari–, kemunculan zaman bergerak sekarang kembali  dimulai dari Jawa Tengah, mirip dengan sebagaimana yang ditulis oleh Shiraishi maupun Pramoedya. Titik didih dari gejala ini adalah, tepat hari ini, Minggu, 15 November 2015, para petani dari lima kabupaten, yakni Pati, Rembang, Grobogan, Blora, dan Kudus akan mengadakan long march sejauh 122 km selama dua hari menuju PTUN Semarang. Long march ini mereka sebut sebagai gerakan “Kendeng Menjemput Keadilan”.

Long march ini adalah usaha para petani agar tidak kembali kecolongan sebagaimana dagelan, “gugatan sudah kadaluarsa” yang tidak menyentuh perkara ekologis seperti hasil sidang PTUN petani Rembang sebelumnya. Kehadiran long march juga bukan hadir tiba-tiba begitu saja, namun melekat panjang dalam sejarah politik Jawa Tengah beberapa tahun sebelumnya. Setting dari ini semua adalah ketika para kepala daerah di Jawa Tengah secara serempak ingin menjual kawasan Kendeng kepada para investor semen.

Dulu, di Pati, PT. Semen Indonesia pernah diizinkan oleh Gubernur Jawa Tengah (saat itu dijabat Bibit Waluyo) untuk menambang semen di Kecamatan Sukolilo. Namun, pada akhir 2009, rakyat Pati berhasil mengagalkan rencana tersebut ketika kasasi di MA memenangkan gugatan para petani Pati.

Tak selesai disitu, ternyata Pemda Rembang secara cepat dan sigap “memberikan” kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih untuk kegiatan pertambangan PT. Semen Indonesia. Disisi yang sama juga, di Pati kembali diterbitkan izin penambangan semen seluas 2.868 Ha untuk PT. Sahabat Mulia Sakti (anak perusahaan Indocement). Begitu pun di Blora dengan PT. Artha Parama Indonesia yang akan menambang, dan PT. Vanda Prima Listri yang juga akan menambang di Grobogan. Ibarat sebuah kue, kawasan Kendeng menjadi arena perebutan investor semen, dan bersamaan pula ilustrasi penghancuran ruang hidup rakyat terjadi dengan kasat mata.

Yang lebih ironis luar biasa adalah ketika protes ibu-ibu Rembang –yang tinggal di tenda lebih dari 500 hari– tak mendapat gayung bersambut sama sekali. Meski proses hukum masih berjalan, pembangunan pabrik terus digiatkan dengan para polisi dan tentara yang menjaganya 24 jam non-stop.

Setali tiga uang, kehadiran tambang semen biasanya akan diikuti pula oleh tambang pasir. Disini, rakyat Jawa Tengah juga sedang siap siaga menghalau laju perampasan ruang hidup rakyat yang ditandai dari rencana-rencana penambangan pasir. Para petani  di sepanjang pesisir Urutsewu Kebumen misalkan, saat ini juga sedang menghalau pemagaran sepihak TNI yang terkuak ada motif penambangan pasir (baca Devi Dhian Cahyati, Konflik Agrara di Urutsewu Pendekatan Ekologi Politik, STPN Press 2014).

Kejadian lain yang menandai zaman bergerak, terjadi persis setelah hari lebaran lalu, 23 Juli 2015, dimana ribuan petani dari Pati memblokir paksa jalur pantura dengan batu dan kayu. Kejadian semacam ini adalah kulminasi dari kemarahan rakyat, dimana para pemimpinnya lebih berpihak pada korporasi dibanding rakyatnya sendiri.

Mungkin kelas menegah ngehek akan bilang, “Sampaikan aspirasi sesuai prosedur!”. Pernyataan bodoh semacam itu seolah-olah melebeli rakyat bahwa mereka tak pernah mengikuti aturan beraspirasi yang “baik dan benar”. Padahal kenyataannya, petani-petani di Jawa Tengah ini sudah pernah menemui Jokowi di Istana Negara, tepat setelah terpilih menjadi presiden. Sedangkan bertemu dengan sang Gubernur ‘Marhaen’, Ganjar Pranowo, sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Namun, rakyat hingga sekarang hanya mendapatkan kenyataan, “Sakitnya tuh disini!”, alias tak ada hasil sedikitpun yang memihak rakyat.

Jika ke depan para pemimpin masih tak peduli, atau masih keasikan pencitraan di depan televisi saja, tanpa mau menyelesaikan inti persoalan (struktural) yang dihadapi rakyat, maka siap-siaplah para pemimpin tersebut di gulung zaman bergerak (jilid II). Saya mengamati kecenderungan gejala ini semakin terlihat dari hari ke hari. Tinggal menunggu entah kapan waktunya nanti!

Hendra Try Ardianto
Hendra Try Ardianto
Pelajar politik, fokus dalam kajian ekologi-agraria. Aktif di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.