Sekali lagi, kemiskinan memakan korban lewat caranya yang teramat buas. Yuyun, siswi SMP yang cerdas dan mahir membaca Al-Qur’an itu, tewas mengenaskan, diperkosa 14 pemuda tanggung, yang semuanya miskin dan pengangguran. Mereka melakukan perbuatan bejatnya setelah mabuk berat tuak yang ternyata dijual bebas di Bengkulu. Sukar dipercaya, tuak menjadi ikon Bengkulu, provinsi termiskin di Sumatera.
Yuyun dan keluarganya yang miskin tinggal di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Empat daerah itu secara berjenjang ternyata mewakili kemiskinan akut yang berujung pada maraknya kejahatan di sana.
Badan Pusat Statistik 2015 menunjukkan bahwa Bengkulu adalah provinsi termiskin di Sumatera. Menyusul di bawahnya Provinsi Aceh. 17,16 persen penduduk Bengkulu miskin di atas rata-rata nasional yang 11,13 persen. Dari 1533 desa dan kelurahan di Bengkulu, 48 persennya atau 670 desa adalah desa terisolir yang masuk dalam kategori desa tertinggal.
Selama lima tahun terakhir, tidak ada perubahan signifikan APBD Provinsi Bengkulu. Malahan gubernur yang lalu ditangkap karena korupsi. 75 persen APBD Bengkulu dipasok dari pusat karena pendapatan asli daerah cuma bergerak di kisaran Rp 400 hingga Rp 500 miliar saja. Jadi, sangat wajar jika provinsi ini tercekik oleh kemiskinan.
Bengkulu miskin, Kabupaten Rejang Lebong adalah yang termiskin di Bengkulu. 40 persen penduduknya atau sekitar 91 ribu jiwa hidup miskin. Daerah ini sejak lama dikenal sebagai penerima bantuan beras miskin terbanyak, penerima terbesar Kartu Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar di Provinsi Bengkulu.
Malang bagi Yuyun. Dia juga hidup di Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT) yang termiskin di Rejang Lebong. Kecamatan ini di mana desanya Yuyun, Kasie Kasubun, adalah kecamatan penerima terbanyak kartu-kartu itu.
Kemiskinan memicu sejumlah kejahatan di Bengkulu, termasuk kejahatan seksual. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bengkulu Ir Diah Iryanti mengatakan sepanjang tahun 2015 hingga sekarang, tercatat sebanyak 513 kasus perkosaan terjadi di Provinsi Bengkulu, tapi kasus Yuyun yang terparah, karena pelakunya mencapai 14 orang. Ini artinya setidaknya dua kali perkosaan terjadi setiap hari di provinsi ini.
Tidak hanya itu, di Desa Kasien Kasubun, tempat Yuyun tinggal, juga pernah dihebohkan oleh ulah seorang ayah menghamili anak kandungnya sendiri yang juga masih berusia 14 tahun, seperti Yuyun. Di saat bersamaan, di desa sebelah juga ditangkap ayah bejat yang lain. Semua pelaku adalah orang miskin, yang mengandalkan pendapatan dari berkebun.
Malangnya, pendapatan asli daerah Bengkulu tahun kemarin turun karena komoditas ekspor andalan mereka seperti karet, harganya anjlok di pasar dunia. Walhasil, kemiskinan yang makin membelit juga menciptakan kisah-kisah tragis lain.
Misalnya, keluarga Haristan yang tinggal di Dusun I Desa Lubuk Sini, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah. Keluarga dengan tiga anak balita ini hidup di gubuk reyot ukuran 5 x 5 meter dan hanya makan daun-daunan direbus selama bertahun-tahun karena tidak mampu beli beras. Entah bagaimana, kelurga Haristan yang sengsara ini kehilangan lahannya setelah perusahaan pertambangan batu dan galian pasir masuk ke desanya. Dan ternyata perusahaan galian C juga pernah menjadi persoalan serius di Kasie Kasubun, desanya Yuyun.
Oktober tahun lalu, warga Desa Kasie Kasubun dan desa-desa yang berdekatan memblokir jalan utama kecamatan PUT memprotes keberadaan CV Lembak Mobile yang disebut ilegal mengambil batu kali di Sungai Siye. CV itu juga dituding sebagai penyebab rusaknya jalan penting tersebut. Mirisnya, sengketa itu berakhir setelah perusahaan tersebut membagi-bagikan uang damai antara Rp 3-5 juta per desa, bayangkan per desa! Bukan per orang.
Ini menunjukkan bahwa Desa Kasie Kasubun bukanlah desa yang masyarakatnya hidup sederhana jauh dari sentuhan budaya kota yang jahat. Desa ini menyimpan banyak masalah.
Tahun 2013, seorang penduduk desa itu ditangkap karena menjadi bandar sabu lintas provinsi setelah kepergok membawa setengah kilogram sabu. Badan Narkotika Nasional (BNN) setempat mengatakan semua ini disebabkan karena Rejang Lebong sendiri telah menjadi perlintasan peredaran narkoba antar-provinsi.
Selain narkoba, dua warga desa Kasie Kasubun ditangkap di 2015 karena menjadi menjadi anggota kumpulan begal yang kerap beraksi di Jalan Lintas Curup-Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.
Malangnya, baik pemerintah provinsi, kabupaten, dan desa, seolah tidak berdaya mengatasi kemiskinan dan kejahatan di wilayahnya. Ketidakberdayaan itu sangat kentara dengan lumpuhnya pemerintahan di sana dalam menghambat peredaran tuak.
Di wilayah Bengkulu, sampai ke desa-desa, tuak diperjual-belikan dengan bebas. Dari produsen, seliter tuak dihargai Rp 3.000 per liter dan di tingkat pedagang harganya naik menjadi Rp 5.000 per liter. Industri tuak telah menjadi mesin perekonomian di banyak desa.
Meski banyak kejahatan muncul karena tuak, aparat kepolisian tidak bisa melarang peredaran tuak karena tidak satu pasal pun di KUHP yang mencantumkan tuak sebagai minuman keras yang peredarannya dibatasi. Walhasil, aparat kepolisian kewalahan membendung maraknya kejahatan yang diakibatkan peredaran tuak. Mirisnya lagi, sebagian besar pelaku kejahatan adalah anak muda yang mabuk pesta tuak, termasuk pelaku perkosaan Yuyun.
Anehnya, sampai saat ini tidak ada satu kata terucap dari Gubernur Bengkulu, Bupati Rejang Lebong, Camat Padang Ulak Tanding, atau Kepala Desa Kasie Kasubun, untuk melarang peredaran tuak itu. Padahal mereka tahu, Yuyun tewas mengenaskan adalah hasil siraman tuak yang makin melaknatkan kemiskinan di wilayahnya. Bengkulu harus segera dibantu.
Kolom Terkait: