Sabtu, April 20, 2024

Menyelami Alasan Mundurnya Yudi Latif dari BPIP

Suhadi Cholil
Suhadi Cholil
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Ketua LAKPESDAM NU Yogyakarta. Meraih PhD di Radboud University Nijmegen, Belanda, dalam bidang Inter-Religious Studies. Associate researcher di School of Social Sciences, University of Western Australia dan penulis.

Pada Jumat pagi (8/6/2018) kita digemparkan oleh berita mundurnya Yudi Latif sebagai Kepala Pelaksana Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Jumat sore-nya, kita baca di media sosial tulisan pendek permohonan pamit Kang Yudi, demikian beliau sering dipanggil.

Sebagai orang biasa yang memiliki perhatian terhadap Pancasila, di sini penulis tergerak menulis lima poin catatan terkait BPIP dan ikhtiar penulis menyelami pemikiran Yudi Latif. Penulis mengakui dengan rendah hati, karena ditulis secara cepat, tulisan ini mungkin tidak sistematis dan bersifat sporadis.

Pertama, tulisan pamitan Yudi Latif, meski halus, menunjukkan kegundahannya yang sangat mendalam terhadap sindiran, bahkan sebagiannya hujatan, yang menyakitkan belakangan ini tentang insentif finansial bagi petinggi BPIP. Setelah paragraf pembuka pamitannya, Kang Yudi menulis satu paragraf agak panjang tentangnya. Semoga ini menjadi pelajaran penting bagi kita dalam bermedia sosial.

Setelah itu, Kang Yudi berusaha mengonfrontasi antara kenyataan anggaran yang minim dengan kinerja dan jerih payah tim BPIP yang tak kenal lelah. Meskipun dengan rendah hati dia menyebutkan bahwa mekarnya “program pembudayaan Pancasila” belakangan ini bukan hanya kerja BPIP saja, kita tetap patut berterimakasih sebesar-besarnya kepada Yudi Latif yang selama setahun memimpin UKP-PIP/ BPIP dengan segenap kesungguhan.

Gaya kepemimpinannya yang tidak terlalu birokratis, serta memaksimalkan peran teknologi informasi serta budaya popular mampu menjangkau banyak kaum muda yang selama ini risih dengan Pancasila. Aspek ini harus tetap dipertahankan oleh siapa pun penggantinya. Masa depan Pancasila, antara lain, tergantung pada persentuhan generasi milineal dengan ide-ide Pancasila.

Kedua, pergeseran Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) ke BPIP yang prosesnya hampir dituntaskan oleh Yudi Latif seharusnya membuat lembaga ideologi negara ini lebih established di masa depan. Maksudnya, BPIP bisa lebih independen sehingga mampu meminimalisir impresi bahwa Pancasila hanya agenda ideologis rezim yang sedang berkuasa.

BPIP diharapkan menjadi lembaga yang tetap eksis dan tidak goyah siapa pun yang menjadi Presiden dan partai apapun yang dominan di Parlemen. Untuk itu, selayaknya BPIP memiliki pola relasi yang dinamis, bahkan jika diperlukan kritis terhadap siapa pun yang menjadi penguasa.

Ketiga, selama setahun memimpin UKP-PIP/BPIP, Yudi Latif merasakan bahwa inisiatif pembudayaan Pancasila bermekaran melampaui apa yang telah dilakukan BPIP.

Sekitar sepuluh tahun setelah peritiwa Reformasi 1998, penulis melakukan riset untuk disertasi penulis di Universitas Radboud Nijmegen Belanda, mengenai percakapan masyarakat di akar rumput tentang konflik dan kohesi sosial. Persis, temuannya selaras dengan ungkapan mekarnya Pancasila dalam tulisan pamitannya Yudi Latif.

Saat itu, di tengah absennya negara secara politik membicarakan kembali Pancasila karena trauma politisasi Pacasila di Orde Baru, jauh sebelum Presiden Joko Widodo menginisiasi UKP-PIP, tetap bersemai upaya untuk menghidupi substansi Pancasila di masyarakat tingkat bawah.

Betul bahwa negara saat itu absen, tetapi rakyat “mengamalkannya” dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa itu, bangsa ini tidak bisa keluar dari lingkaran konflik yang rumit di era transisi pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis. Hadirnya masyarakat dalam urusan kebangsaan di tingkat bawah mengantarkan kita pada pentingnya mengenal “tafsir sosial” Pancasila.

Beberapa partisipan riset penulis saat itu memperkenalkan dirinya dengan ungkapan “saya berasal dari Keluarga Pancasila” untuk menunjukkan bahwa keluarga mereka memiliki latar agama yang beragam dan tetap hidup harmonis. Tentu secara teoritis Pancasila tidak memiliki kaitan dengan bentuk keluarga.

Ungkapan tersebut merupakan buah dari proses internalisasi nilai-nilai Pancasila yang merupakan “the effects of Pancasila rhetoric”. Tafsir sosial dari ungkapan itu adalah kemampuan Pancasila melampaui fungsi ideologis awalnya, yaitu mampu mengatur kehidupan keseharian inter-personal rakyat (to rule interpersonal everyday life).

Ungkapan tersebut merupakan capaian penghayatan Pancasila yang maqam-nya tinggi. Jika dalam bahasa sehari-hari kita mengenal istilah “Kitab Suci berjalan” untuk menunjukkan umat beragama yang saleh atau “kamus berjalan” untuk mengungkapkan seseorang yang ahli bahasa, maka fenomena di atas merupakan bentuk dari “Pancasila berjalan”.

Di sini, kemudian penting untuk tidak hanya mengedepankan Pancasila dalam bunyi sila-sila-nya saja, tetapi bicara Pancasila dalam aspek maqashid—meminjam istilah studi Islam—atau substansi serta praktik sehari-harinya di masyarakat. Alih-alih selalu berbicara Pancasila dalam aspek filosofis, penting juga menelaah Pancasila secara etnografis.

Keempat, pada akhir Maret 2018 lalu, penulis diundang oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Materi BPIP untuk memberi masukan terhadap Garis-garis Besar Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila (GBHPIP). Di forum tersebut, penulis antara lain mengungkapkan konsep the effects of Pancasila rhetoric.

Masyarakat demokratis dan terbuka seperti Indonesia saat ini pasti sulit menerima model indoktrinasi ideologi yang kaku. Ideologisasi dan demokratisasi sendiri merupakan konsep yang, meskipun tidak sepenuhnya, saling bertentangan. Sehingga tantangan terbesar bagi BPIP adalah bagaimana menyemaikan retorika Pancasila yang mampu memberikan efek mendalam ke sanubari rakyat di tengah masyarakat yang demokratis dan terbuka seperti Indonesia sekarang ini.

Menurut penulis, keahlian dan gaya kepemimpinan Yudi Latif tampaknya cukup berhasil. Kuncinya, rupanya, proses penyemaian Pancasila mesti menggunakan pendekatan yang multi-strategi dan poli-methodologis. Retorika penyemaian Pancasila seharusnya tidak tunggal, tetapi beragam. Cara membicarakan Pancasila kepada aparatus negara, anak muda, kelompok rentan, kader politik, pengusaha dan seterusnya tidak dapat menggunakan metode dan strategi yang sama.

Ungkapan bahasa asing ada yang mengena tentang hal itu, yaitu hit the nail on the head. Maksudnya, dalam hal ini, menyemaikan Pancasila harus tepat dan benar-benar mengena, termasuk metode dan bahasanya.

Kelima, sependek kemampuan penulis mengikuti pemikiran Yudi Latif, upaya untuk mengkaji (tafsir) Pancasila dalam paradigma ilmu pengetahuan penting diikuti oleh upaya menempatkan pemikiran tokoh-tokoh kontemporer Indonesia (bahkan tokoh dunia) bukan saja sebagai pengetahuan sampingan, tapi pengetahuan tentang tafsir Pancasila kekinian yang sah.

Kesan penulis terhadap draft GBHPIP yang pernah disodorkan kepada penulis dalam diskusi di atas masih sangat didominasi oleh pengetahuan dari para penafsir lama. Inilah yang penulis maksudkan sebagai tafsir retro (dalam bahasa agamanya: tafsir Salafi) terhadap Pancasila. Tafsir retro menegaskan “kebenaran” berada di masa lalu, sementara kekinian penuh dengan bid’ah dan penyelewengan.

Saya sangat mengapresiasi rujukan kepada pemikiran Soekarno, Noto Negoro, dan lain-lain di masa lalu, tetapi hendaknya para penafsir dan figur yang berusaha mempertahankan dan menyegarkan Pancasila dalam konteks tantangan kebangsaan kekinian perlu dihitung sama sahnya dengan para penafsir lama.

Sebagai penutup, ketika kang Yudi menyebut dalam tulisan pamitannya “pembudayaan Pancasila”, saya teringat ungkapan Ulf Hannerz (1992) “culture is not a state of the mind, but a process”. Pembudayaan Pancasila tidak akan sekali jadi, karena pembudayaan adalah sebuah proses.

Kita yakin, meskipun Yudi Latif tidak lagi di BPIP, Kang Yudi akan terus terlibat dalam proses pembudayaan Pancasila tersebut. Sebagai Ketua BPIP, Kang Yudi boleh saja laksana daun yang gugur, tapi tidak dalam ikhtiar-ikhtiar untuk terus membuat Pancasila mekar dalam konteks Indonesia yang demokratis dan terbuka.

Suhadi Cholil
Suhadi Cholil
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Ketua LAKPESDAM NU Yogyakarta. Meraih PhD di Radboud University Nijmegen, Belanda, dalam bidang Inter-Religious Studies. Associate researcher di School of Social Sciences, University of Western Australia dan penulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.