Kamis, April 18, 2024

Youtube Sama dengan TV, Penyadaran Terhadap Masyarakat Tontonan

Sabrina Mulia
Sabrina Mulia
Saya adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat. Sedang belajar menulis dan akan selalu belajar.

Ungkapan Youtube lebih dari TV sekarang bergeser menjadi Youtube sama dengan TV. Maksud hati ingin lari dari cengkraman harimau, apadaya bertemu buaya kelaparan. Ya, mungkin itu analogi yang cocok untuk para penonton Indonesia.

Anda bosan dengan konten tayangan yang ada di TV, lalu Anda mencoba mencari hiburan baru, pergi ke YouTube, berharap mendapatkan informasi dan insight baru yang lebih berbobot, tidak cuman nonton orang bertengkar sama pacar (tapi settingan), orang berdebat masalah negara (tapi settingan), sampai konten memperjual belikan kemiskinan (tapi settingan) juga. Dan yang Anda temukan, sama saja.

Society of Spectacle Dalam Youtube 

Baru-baru ini youtuber Skinnyindonesian24 yaitu kakak beradik Andovi da Lopez (26) dan Jovial da Lopez (30) mengunggah konten berjudul Youtube’s Got Talent. Sempat jadi trending di media sosial twitter bahkan youtube Indonesia, konten ini berisi keluh kesah dan sarkasme tentang konten-konten youtuber Indonesia.

Saya sudah nonton sampai habis, tidak dipotong-potong apa lagi di skip, mulai dari yang garing habis sampai saya harus mencari jawaban di kolom komentar sampai yang mengocok perut sampai saya tertawa tidak henti. Kesimpulannya, saya setuju, tapi tidak setuju.

Selalu seperti dua sisi mata uang, konten-konten youtube kadang membuat penontonnya tidak menyadari bahwa apa yang mereka tonton tidak sepenuhnya hanya menarik rasa penasaran dan sisi kemanusian mereka namun juga menjual komoditi yang disebut sebagai eksploitasi.

Sudah disinggung oleh Guy Debord pada 1967, ia menyebutnya sebagai The Society of Spectacle atau masyarakat tontonan. 

Seperti judulnya, masyarakat tontonan membuat semua yang ada dalam dirinya layak dijadikan tontonan, masalahnya setiap individu memiliki sikap selektif dalam menentukan realitas dengan berusaha memilah mana sisi kehidupan yang sekiranya pantas untuk dilihat orang lain. Hal ini sangat cepat mendorong Anda kepada jurang kepalsuan.

Masyarakat tontonan selalu tumbuh dua arah, Anda bebas memilih untuk menjadi yang ditonton atau yang menonton.

Dalam konten Youtube’s Got Talent, punchline terakhir oleh Coki Pardede dan Tretan Muslim dari kanal Youtube Majelis Lucu Indonesia. Menyindir (atau sebenarnya blak-blakan) mengenai youtuber yang menjual konten apapun hanya untuk mencari komoditas.

Mulai dari prank gembel, pura-pura pamit, salah kemudian klarifikasi hingga konten lagu sensasional yang dibuat dari gimmick belaka.

Kalau melihat dari apa yang dikatakan Debord mengenai masyarakat tontonan, ia menyebut performer (para penyaji konten) dan spectator (para penonton), dengan adanya media sosial (dalam kasus ini Youtube) yang seakan memberi ruang bagi siapa pun, tanpa kecuali, untuk menjadi para bintang atau tontonan.

Debord menyimpulkan bahwa tontonan adalah momen dimana komoditas memenuhi ruang-ruang kehidupan masyarakat.

Dalam skemanya Debord menjelaskan bahwa masyarakat tontonan terbentuk melalui realitas yang disisipkan dalam tontonan, realitas ini tidak akan terlihat berapa persen aslinya yang dimasukan dalam tontonan, bisa saja hanya sedikit, yang lainnya hanya bentukan rekonstruksi yang diinginkan oleh pembentuk.

Realitas dimasukan dalam tontonan kemudian kehidupan rill mengalami kehamburan dan realitas dianggap muncul dari tontonan. Ini sering sekali Anda lihat dalam konten-konten prank, yang sayangnya kadang tidak berprikemanusiaan dan hanya menjual kemiskinan dan kesusahan orang lain. Apa yang diberikan oleh para konten creator kepada para objeknya tidaklah seberapa dibandingkan komoditas yang mereka peroleh contohnya dari adsense youtube. Dan Anda sebagai penonton, tidak menyadarinya.

Dalam penjelasannya, karakter spectacle disusun berdasarkan konstruksi, penipuan-penipuan dan kecenderungan pengulangan fakta yang sesungguhnya. Masyarakat tontonan (spectator) akan mengalami yang disebut dengan “alienasi” atau terasing dari realitas yang sesungguhnya. Selain terasing, masyarakat tontonan juga mengalami fetisisme. Fetisisme adalah hobi dalam ilusi yang dibuat media agar khalayak mengagumi atau menyukai sesuatu. Sehingga penonton akan terjajah (hegemoni) dan terasing (alienasi).

Fetisisme ini akan berkolaborasi dengan algoritma Youtube, yang membuat Anda sekali melihat suatu konten akan dijejali konten dari channel itu lagi.

Sayangnya mengenai Society Of Spectacle audince suatu tontonan dianggap pasif. Debord hanya menitik beratkan permasalahan ini kepada performer (penyaji). Padahal spectator (penonton) memiliki peran yang tidak kalah besar membangun masyarakat tontonan. Spectator sama halnya dengan performer, mereka memiliki kebebasan untuk menonton atau tidak menonton apa yang telah performer sajikan.

Konten Negatif Lebih Disukai, yang Penting Bukan Saya 

Menonton yang lebih buruk dari kita, yang penting bukan kita. Dalam dunia jurnalis dikenal istilah “Bad News is a Good News”, maksudnya adalah berita ini mungkin buruk bagi orang yang mengalaminya, tapi tidak untuk orang yang membaca/mendengar/menontonnya. Saya bisa paham alasan artis atau influencer Indonesia memilih membuat masalah (tapi settingan) dari pada membuat prestasi. Ingat, hidung Anda lebih cepat mengendus bau busuk dari wewangian.

Berdasarkan sisi psikologi yang ditulis Yeremias Jena selaku akademisi dan penulis dan dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Setidaknya ada tiga alasan mengapa konten negatif, keburukan, tragedi, sensasional selalu jadi makanan pokok penonton Indonesia.

Yang pertama, mengingat hal buruk termasuk bagian evolusioner sebagai bentuk pertahanan hidup manusia dari hal-hal buruk. Yang kedua, teori prospek. Manusia cenderung mengambil keputusan dengan memperhitungkan baik-buruknya, dengan melihat hal negatif yang dialami atau dilakukan seseorang, maka manusia lain bisa dengan mudah memperhitungkan kerugian yang akan ia dapat jika melakukan hal serupa. Yang ketiga, kata-kata negatif lebih beracun dan gampang sekali diingat dibandingkan kata-kata yang bersifat positif.

Bemodalkan psikologis manusia, para youtuber ini dengan sangat mudah mendapatkan uang. Jika orang-orang senang menonton konten yang bisa membuat mereka merasa lebih baik dengan mengolok-olok artis yang ada dalam konten maka para infuencer ini akan menciptakannya.

Society of Spectacle dan ketertarikan lebih manusia terhadap konten-konten negatif, asal bukan saya bisa Anda hindari. Tentu saja, Anda yang memiliki handphone, jempol dan otak itu. Bukan saya. Seperti yang sudah saya bilang, kekurangan dari teori Debord adalah audince tontonan dianggap pasif, padahal Youtube telah menyediakan pilihan ‘report’ pada setiap konten, Anda bisa mengkritisi setiap konten kreator yang Anda tonton dalam kolom ‘comment’ dan mendukung konten-konten kreator yang menyediakan konten-konten negatif tidak untuk mengolok-olok orang tapi untuk membangun kewaspadaan kepada penontonnya.

Society of Spectacle hanya dapat dilawan dengan kebijaksanaan penonton dalam memilih dan melakukan apa terhadap konten dan pemilik konten yang telah mereka tonton. Menelan bulat-bulat segala yang mereka lihat dan menggangap semuanya adalah kebenaran (tapi settingan) atau mengkritisi bagaimana media bekerja.

Sabrina Mulia
Sabrina Mulia
Saya adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat. Sedang belajar menulis dan akan selalu belajar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.