Setiap menjelang perayaan Natal, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang boleh tidaknya kaum Muslim mengucapkan selamat Natal menjadi perbincangan. Baru-baru ini MUI kembali menambah masalah dengan fatwanya terkait atribut Natal. Daripada ribut soal fatwa MUI, refleksi ini akan mendiskusikan pertanyaan lebih serius: Bisakah Yesus sebagai Tuhan bagi kaum Muslim?
Saya tidak akan menjawab pertanyaan ini secara sederhana dengan “iya” atau “tidak”, karena jawaban hitam-putih seperti itu mengabaikan kompleksitas masalahnya. Mungkin ada orang yang menolak pertanyaan ini dimunculkan. This is the wrong question to pose in the first place! Well, mari saya mulai dengan mengajukan argumen kenapa pertanyaan di atas perlu direfleksikan bersama.
Pertama, soal ketuhanan Yesus merupakan sumber kontestasi teologis paling rumit antara komunitas Kristen dan Muslim. Pertanyaan yang kerap dimunculkan oleh kaum Muslim ialah: Bagaimana mungkin Yesus itu manusia dan Tuhan sekaligus? Akibat pertanyaan ini tidak dibicarakan secara memadai telah menggiring sebagian kaum Muslim untuk menuduh umat Kristiani telah menyekutukan Tuhan.
Kedua, rumitnya kontestasi teologis soal ketuhanan Yesus tidak dengan sendirinya menjadikan persoalan tersebut tak boleh disentuh dan unthinkable. Sebaliknya, justru kita perlu mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan sulit yang sejauh ini kerap menjadi kendala bagi koeksistensi genuine antar-komunitas berbeda keyakinan.
Ketiga, bila direnungkan dengan kepala dingin, pertanyaan di atas dapat membantu menyingkap kabut gelap yang menyelimuti alam pikiran kaum Beriman (baca: Muslim dan Kristen) tentang perbedaan konsepsi tentang Tuhan.
Isa, Yesus, dan Trinitas
Al-Qur’an menggunakan nama “Isa” ketika merujuk kepada Yesus. Asal-muasal kata “Isa” telah banyak didiskusikan dan tak perlu diulang di sini. Satu hal yang segera tampak dari deskripsi al-Qur’an adalah penekanannya pada aspek kemanusiaan Yesus. Dalam banyak ayat, Kitab Suci kaum Muslim menyebut Yesus sebagai “putera Maryam” (ibn Maryam) dan menolak penyebutan “Anak Allah” (ibn Allah).
Bahkan ketika menggunakan beberapa istilah yang juga terdapat dalam Kitab Suci umat Kristiani, seperti “al-masih”, “rasul”, “kalimah”, al-Qur’an tidak menggunakannya dalam makna yang sama. Berbagai dialog antara Tuhan dan Isa yang direkam al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan aksentuasi bahwa tak ada makhluk yang ambil bagian dalam ketuhanan, selain Allah.
Poin terakhir ini dikembangkan oleh para teolog Muslim dalam konsep “tanzih”, yakni transendensi Tuhan sehingga tak mungkin dikomparasikan dengan apa pun atau siapa pun. Dalam bahasa al-Qur’an (42:11), “laisa kamitslihi syai’un” (tiada yang menyerupai-Nya). Maka, dalam teologi Islam, “tanzih” (transendentalisme) dan “tauhid” (monoteisme) menjadi kata kunci untuk memahami siapa Tuhan.
Dari sini kritik al-Qur’an terhadap ketuhanan Yesus seharusnya dipahami: Jangan jadikan manusia sebagai Tuhan atau menyekutukan Tuhan dengan makhluk-Nya!
Yang perlu segera dicatat adalah, umat Kristiani juga menolak apa yang dikritik al-Qur’an, karena mereka tidak menjadikan manusia sebagai Tuhan atau menyekutukan-Nya dengan makhluk. Terkait aspek pertama, Yesus dipahami sebagai inkarnasi Tuhan, suatu penjelmaan Ilahi ke alam manusiawi untuk berbagi kehidupan bersama umat manusia.
Dalam teologi Kristen, kehadiran Tuhan dalam wujud Yesus merupakan hadiah (gift) dan sekaligus rahmat (grace) yang menandakan kedekatan-Nya dengan manusia dalam hubungan yang sangat intimate. Memang, dalam kepercayaan Nicea yang dicetuskan tahun 325 disebutkan “Yesus adalah manusia sepenuhnya dan Tuhan sepenuhnya”. Rumusan teologis ini merupakan respons terhadap mereka yang mempersoalkan watak kemanusiaan dan ketuhanan Yesus, dan/atau pandangan (terutama di kalangan Gnostik) yang menyebut Yesus sebagai bayang-bayang Tuhan dan bukan manusia.
Namun demikian, menyebut Yesus sebagai sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Tuhan bukan tanpa masalah. Dan agar tidak terjerumus ke dalam syirik (menyekutukan Tuhan dengan manusia), maka dirumuskan doktrin Trinitas yang menegaskan keesaan Tuhan dengan tiga uqnum (hypostases), yakni Bapa, Anak, dan Ruh Kudus.
Dalam konteks ini tampak jelas bahwa doktrin Trinitas dikembangkan untuk menghindari syirik, suatu dosa yang disebut al-Qur’an sebagai tak terampuni. Maka, perlu ditekankan, yang dikritik al-Qur’an adalah keimanan pada tiga Tuhan (syirik), suatu keyakinan yang sedari awal dijauhi oleh umat Kristiani dengan doktrin Trinitas. Konsep tiga Tuhan itu disebut Triteisme, bukan Trinitas.
Beragam Ekspresi Monoteisme
Dengan demikian, Trinitas merupakan suatu ekspresi monoteisme yang memberi ruang bagi diferensiasi, tanpa fragmentasi. Diferensiasi dalam hubungan antar tiga uqnum (Bapa, Anak, dan Ruh Kudus), tetapi ketiganya tidak terfragmentasi dalam arti berdiri sendiri-sendiri (bukan tiga Tuhan).
Jika ditanya, dari mana asal-usul doktrin Trinitas? Bukankah kata itu tidak ditemukan dalam Alkitab? Jawabnya, betul, kata Trinitas tidak ditemukan dalam Perjanjian Baru karena rumusan doktrin tersebut dibentuk oleh konteks sosio-historisnya sendiri. Namun, substansi dan konten Trinitas jelas dapat ditemukan dalam banyak ayat Alkitab.
Mungkin akan lebih mudah bagi kaum Muslim untuk membayangkan para perumus doktrin Trinitas sebagai komunitas penafsir (community of interpreters). Mereka berijtihad dengan bimbingan Ruh Kudus untuk mensintesiskan berbagai elemen terkait Yesus dalam Alkitab. Yesus yang menyatu dengan Bapa, Yesus sebagai Anak, Yesus sebagai pembawa pesan, dan keterlibatannya dalam sejarah keselamatan manusia (juru selamat).
Trinitas dimaksudkan untuk merangkum semua itu, yang kadang tampak kontradiksi. Itulah sebabnya kenapa Trinitas tak cukup dirasionalkan. It’s beyond reason. Seperti kata Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae, “diperlukan pijakan wahyu, bukan akal”.
Terlepas dari itu, doktrin Trinitas tetap meneguhkan keesaan Tuhan. Salah satu bukti peneguhan monoteisme dalam tradisi Kristen ialah kenyataan bahwa agama ini mengakui Tuhannya kaum Yahudi, dan Tuhan Nabi-nabi terdahulu, seperti Ibrahim dan Musa. Tak mengherankan mengapa Taurat dimasukkan sebagai bagian dari Kitab Suci umat Kristiani. Jika kaum Yahudi dan Kristen menyembah Tuhan yang sama, bukankah hal itu penegasan atas watak monoteistik agama Kristen?
Jadi, umat Kristiani adalah kaum monoteis yang beriman pada keesaan Tuhan. Karena itu, al-Qur’an (29:46) secara eksplisit menegaskan bahwa “ilahuna wa-ilahukum wahid” (Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu). Ayat ini terkait larangan mendebat ahlul kitab, termasuk Kristen, kecuali dengan cara yang terbaik.
Bagaimana kita memaknai penegasan Qur’ani bahwa “ilahuna wa-ilahukum wahid”, padahal umat Kristiani mengimani ketuhanan Yesus? Pertanyaan ini terkait erat dengan isu sentral yang diajukan di awal: Bisakah Yesus sebagai Tuhan bagi kaum Muslim?
Yesus seperti yang digambarkan al-Qur’an jelas bukan Tuhan. Dia adalah manusia biasa, makhluk Tuhan dan rasul-Nya. Juga, kepercayaan terhadap tiga Tuhan merupakan bentuk syirik yang nyata. Tetapi, Yesus-nya Perjanjian Baru lebih dari sekadar manusia dan rasul. Seperti diyakini umat Kristiani, ia merupakan penjelmaan Tuhan sebagai wujud kasih bagi keselamatan manusia.
Dan rencana keselamatan itu dirangkum dalam doktrin Trinitas. Segala bentuk keselamatan bermuara dari Bapa, yang berbuah nyata dalam Anak, dan dikomunikasikan oleh Ruh Kudus. Tentu saja, doktrin ini tidak menyangkut tiga Tuhan yang berbeda, melainkan One Triune God. Satu Tuhan dengan tiga hipostasis.
Kiranya menjadi jelas, pertanyaan “Bisakah Yesus sebagai Tuhan bagi kaum Muslim?” tidak cukup dijawab “bisa” atau “tidak bisa”. Di balik pertanyaan itu terdapat soal-soal subtil yang perlu menjadi perenungan teologis bersama, termasuk bagaimana “Yesus teologis” digambarkan dan diimani berbeda.
Mengakui perbedaan konseptual tentang Tuhan itu penting agar kita tak saling memaksakan keyakinan. Tapi, yang lebih penting lagi ialah cara kita memahami perspektif pihak lain melalui kategori dan lensa mereka. Sebab, setiap perspektif punya basis epistemologis dan ontologisnya sendiri.
Hanya dengan cara itu perbincangan tentang Tuhan yang rumit dapat diuraikan tanpa terjebak dalam belenggu “menang sendiri”. Semakin banyak pertanyaan diajukan terhadap yang unthought, semakin kita menyadari ketidak-sederhanaannya. Mengurai benang kusut teologis memang bukan perkara mudah.
Tulisan ini mungkin tidak menyuguhkan jawaban yang Anda inginkan, tapi setidaknya diharapkan menstimulasi pertanyaan lanjutan. Jangan kapok bertanya, karena pertanyaan itu pintu menuju kebenaran.
Saya ucapkan Merry Christmas buat kawan-kawan Kristiani yang merayakannya!
Baca juga: