Selasa, April 16, 2024

Yang Muda yang Radikal

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

dom-1452525013Acara Halaqoh Bahaya Narkoba, Terorisme, dan Radikalisme yang digelar oleh Nahdlatul Ulama (NU) di Genteng, Banyuwangi, Jawa timur, Senin (11/1). ANTARA FOTO/ Budi Candra Setya.

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pekan lalu merilis hasil survei tentang keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah (1SIS) di Indonesia. Salah satu temuan survei yang digelar pada 10-20 Desember 2015 sangat menarik bahwa terdapat indikasi tumbuhnya persetujuan terhadap kelompok ISIS di kalangan anak muda dengan total 4 persen.

Yang dimaksud anak muda dalam survei ini adalah mereka yang berusia 22-25 tahun. Yang juga menarik, 5 persen dari mereka yang masih sekolah dan mengenal ISIS menyatakan setuju dengan perjuangan ISIS. Meskipun persentasenya relatif kecil (4-5 persen), untuk persetujuan terhadap aksi kekerasan tentu sangat mengkhawirkan. Jangankan 4-5 persen, bahkan satu persen pun sudah cukup mengkhawatirkan.

Kita masih ingat, lima tahun lalu (Oktober 2010 – Januari 2011), Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) mengadakan survei di 100 SMP dan SMA umum di Jakarta dan sekitarnya mengenai tindakan kekerasan berdasarkan agama. Hasilnya, 48,9 persen dari 993 siswa yang disurvei menyatakan bersedia melakukan aksi kekerasan atas nama agama dan moral.

Banyak kalangan menolak hasil survei LaKIP, terutama para tokoh agama, termasuk Menteri Agama (waktu itu) Suryadarma Ali. Apakah hasil survei SMRC juga akan ditolak? Sejauh ini belum ada tokoh agama yang menolaknya, mungkin karena belum tahu, atau tahu tapi dianggap hal yang biasa saja.

Kita boleh saja menyangsikan hasil survei itu. Tapi yang harus kita ingat, bagaimana pun, survei itu benar-benar dilakukan dan anak-anak muda yang dijadikan objek survei benar adanya. Sekecil apa pun keberadaan mereka yang menyetujui tindakan kekerasan, apalagi teror-teror seperti yang dilakukan ISIS, akan menjadi bibit yang bisa tumbuh menjadi kenyataan yang sangat membahayakan jika mereka yang setuju itu benar-benar mengikuti jejak ISIS.

Dukungan anak-anak muda terhadap radikalisme sangat mungkin terjadi karena dua faktor, ekstrinsik dan intrinsik. Ekstrinsik merupakan faktor yang berada di luar dirinya. Semua aksi kekerasan yang mereka saksikan dalam kehidupan sehari-hari, juga realitas (baik nyata maupun semu/drama) kekerasan yang mereka lihat di layar kaca, atau yang mereka baca di media cetak dan (terutama) media sosial, sedikit banyak akan berpengaruh pada mereka. Pengaruh itu bisa dalam bentuk pasif, hanya diserap dan tidak diekspresikan dalam tindakan, atau dalam bentuk aktif dengan menirunya.

Adapun faktor intrinsik adalah persepsi dan keyakinan yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari rasa ingin tahu (kuriositas) yang memang berkembang di usia muda. Pada saat rasa ingin tahu ini diisi dengan doktrin ajaran agama yang membenarkan kekerasan (jihad yang dimaknai secara fisik), baik yang diterima dari ustadz atau guru yang mengajarkan agama pada mereka atau dari buku-buku agama yang mereka baca dan pelajari, maka akan tumbuh persepsi atau bahkan keyakinan bahwa agama memang mengajarkan radikalisme.

Satu hal yang membuat kita masih optimistis, anak-anak muda merupakan sosok-sosok yang labil, masih mencari jati diri, dan pada umumnya memiliki kuriositas yang tinggi dalam banyak hal. Apa yang dipersepsi, atau bahkan disetujui saat ini, bisa berubah dalam waktu singkat jika mereka menemukan hal baru yang lebih meyakinkan.

Anak-anak muda membutuhkan figur-figur panutan yang bisa memberi contoh secara aktual dalam memperjuangkan perdamaian. Tidak cukup hanya merujuk pada sikap orang-orang yang sudah melegenda seperti Mahatma Ghandi, Bunda Teresa, atau Nelson Mandela. Yang mereka butuhkan adalah tokoh-tokoh saat ini, yang masih hidup dan memang layak dijadikan contoh.

Sejarah Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan perang, dan minimnya contoh tokoh-tokoh agama (terutama Islam) yang gigih memperjuangkan perdamaian (malah anak-anak muda kerap mendengar dan menyaksikan tokoh-tokoh agama yang begitu mudah menyerukan jihad fisik/perang untuk melawan mereka yang dipersepsi sebagai musuh-musuh Islam), harus diakui telah membuat anak-anak muda kehilangan kepercayaan terhadap doktrin perdamaian agama.

Kita tidak bisa mengubah sejarah Nabi. Yang bisa kita lakukan adalah mengubah aksentuasi sejarah, dari sejarah perang menjadi sejarah perdamaian. Selain perang, banyak perjanjian perdamaian yang dilakukan Nabi, juga tokoh-tokoh Islam setelah Nabi. Tapi aspek (sejarah perdamaian) ini kurang dieksplorasi sehingga tidak “nyangkut”, apalagi melekat dalam benak para pelajar dan anak-anak muda kita yang tengah mencari jati diri.

Yang perlu kita ubah adalah persepsi “pejuang” yang senantiasa identik dengan keberanian berperang. Karena itu, menanamkan “darah juang” itu sama artinya dengan menanamkan semangat berperang. Belum ada upaya yang serius untuk memberi tafsir baru bahwa yang mencintai perdamaian juga “pejuang” yang tidak kalah derajatnya, atau bahkan lebih tinggi, dari yang menyukai peperangan.

Anak-anak muda harus diyakinkan bahwa menjadi pejuang perdamaian jauh lebih tinggi derajatnya dari para pejuang di medan perang. Kata Nabi, perang melawan hawa nafsu adalah jihad akbar. Perang fisik melawan orang kafir adalah jihad kecil. Memaafkan jauh lebih tinggi derajatnya daripada membalas dendam.

Tuduhan “kehilangan ruh jihad” terhadap mereka yang memperjuangkan perdamaian harus dihapus dari buku-buku pendidikan agama dan tarikh (sejarah) Islam. Karena ruh jihad yang sebenarnya adalah kemampuan menahan diri dari nafsu untuk berkelahi dan memusuhi orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya.

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.