Di tepi lapangan Wembley yang berlubang-lubang, oleh pertandingan-pertandingan internasional Liga Antarnegara Eropa yang tak jelas untuk apa itu, juga oleh rasa senang para pendukung timnas Inggris yang entah oleh apa, Mauricio berpelukan dengan Maurizio. Pochettino dan Sarri berhadapan untuk pertama kalinya di Liga Inggris, dalam derbi London.
Sama-sama seorang bek di masa mudanya, tapi bakat tampaknya membedakan perjalanan karir keduanya. Nama pertama adalah bek yang kehebatannya melekat pada legenda seorang Marcelo Bielsa dan kejayaannya bersama Newell’s Old Boys. Sementara yang kedua adalah bek gagal, yang tak diterima Torino dan Fiorentina, lalu terjebak jadi pemain amatir di klub tak jelas bernama Figline, sebelum berakhir sebagai seorang bankir.
Kemampuan Pochettino dan Sarri yang berbeda sebagai bek di masa muda tentu saja tak tecermin dari bagaimana cara tim masing-masing bermain: keduanya adalah para pemuja sepakbola terbuka; keduanya adalah idola para moralis bola. Malah, sebelum pertandingan dimulai, untuk seorang bek yang bermain di level keenam sepakbola Italia, Sarri membawa Chelsea sebagai tim dengan pertahanan terbaik ketiga setelah Man City dan Liverpool. Tapi jelas sekali, derbi London akhir pekan kemarin ditentukan oleh kemampuan bertahan. Dan kali ini, Mauricio menang atas Maurizio. “Berantakan,” kata Sarri sendiri soal barisan pertahanan timnya.
Kekalahan di Wembley adalah kekalahan pertama Chelsea musim ini. Jadi, tak perlu ada yang terlalu dikhawatirkan. Tercecer di urutan empat, Chelsea akan tetap bersaing di empat besar di sepanjang musim. Meski, pada saat yang sama, Arsenal di urutan kelima semakin mendekat, setelah menang atas Bournemouth. Tiga tim London sepertinya akan saling mengintai, dan mungkin saling tikam, untuk ada di zona Liga Champions.
Tapi mungkin hanya empat besar, sebab juara sepertinya akan dikapling oleh Manchester City, dengan Liverpool tampak menjadi satu-satunya tim yang bisa mengganggu. (Ini pasti simpulan yang terlalu pagi, tapi adakah tebak-tebakan sepakbola yang tepat waktu?) Mereka dengan sangat mudah menghancurkan West Ham, tim yang membuat MU babak belur.
Setelah bertahun-tahun, Liga Inggris sepertinya akan punya tim yang akan mempertahankan gelar, setelah terakhir MU melakukannya pada musim 2008 dan 2009. Setelah MU musim 1999, City musim 2018 adalah tim paling komplet dan meyakinkan untuk melakukan back to back. Mereka menang 0-4 dalam laga tandang, meskipun striker utama Sergio Aguera gagal mencetak gol. David Silva… ya Tuhan, mungkinkan dia Benjamin Button di dunia nyata? Dan tim ini, di sebagian besar pertandingan sejauh ini, turun tanpa Kevin de Bruyne.
Laga-laga melawan para pesaing terdekat dilewati dengan mulus; mereka menggasak Arsenal dan Spurs di laga tandang, dan mampu menahan Liverpool di Anfield. Chelsea, tim empat besar satu-satunya yang belum dihadapi di Liga, mereka kalahkan di Charity Shield. Kecuali hasil imbang dengan Wolves, melawan tim-tim kecil, saat biasanya City tergelincir, sepertinya menjadi kemenangan yang rutin—dengan skor-skor besar.
Tim ini bahkan punya hal yang musim lalu tak dimiliki: pertahanan yang tenang dan bersih. Bersama Liverpool, mereka baru kebobolan lima gol. Sebagaimana Van Dijk di Liverpool, John Stone dan Aymeric Laporte musim ini membuktikan kenapa mereka berharga mahal ketika dibeli City. Satu-satunya hal yang membuat kita tak terlalu kagum adalah karena tim ini telah tampil begitu hebat di musim lalu.
Lalu MU-nya Mou? Gerbong kereta yang mengangkut tim empat besar sudah berangkat dan semakin menjauh, dan Mou masih terus sibuk menyalahkan para pemainnya karena tak membawa bekal yang cukup. Mereka mungkin sebaiknya menunggu seorang pangeran Arab datang dengan jet pribadi dan uangnya, agar Mou bisa membeli tim yang baru; tim yang semoga lebih disukainya.
***
Di Municipal de Ipurua, kandang Eibar yang mungil itu, sebuah pelajaran besar bisa dipetik oleh bos mana pun: jangan gampang terpikat dengan anak magang; boleh jadi ia cuma menginginkan pesangon. Tidak, saya sedang bercanda.
Tapi, serius, mengapa Santi Solari mesti membuat saya berpikir demikian?
Ia mengawali pekerjaannya sebagai pelatih interim dengan bagus, bahkan sangat bagus: empat kemenangan di empat pertandingan pertama adalah statistik langka yang pernah dilakukan pelatih Real Madrid yang datang dan pergi. Begitu ia diangkat jadi pelatih tetap, langsung rontok—dengan cara mencolok. Kekalahan dari Eibar adalah kekalahan pertama Madrid dari tim tersebut di sepanjang sejarah pertemuan keduanya.
Gol-gol Eibar, tiga jumlahnya, masing-masing dari Gonzalo Escalante, Sergi Enrich, dan Kike, tercetak dengan kocak. Dan menjadi lebih kocak lagi karena dua bek tengah Madrid yang bermain sore itu, Ramos dan Varane, diisukan masuk sebagai kandidat Pemain Terbaik Dunia 2018. Apa Thibaut Courtois juga masuk nominasi?
Sedikit beruntung bahwa Madrid, yang kini ngelimpruk di posisi enam, masih bisa menyaksikan Barca tertahan di sisi Madrid yang lain, lebih tepatnya di Wanda Metropolitano-nya Atletico. Dembele, remaja malang yang dihargai kemahalan, di menit terakhir pertandingan, menyelamatkan Barca dari kekalahan keduanya secara beruntun. Terpaut lima angka dari Barcelona selalu saja terlalu jauh, tapi itu jelas lebih baik dibanding sepuluh. Lagipula, bukan Barcelona yang ada di puncak klasemen, melainkan Sevilla.
Akan sangat menyenangkan jika Sevilla bisa tetap di puncak hingga akhir musim, tapi itu akan jadi keajaiban sepakbola berikutnya setelah Leicester City. (Dan Pablo Machin mungkin akan jadi pelatih paling hot di awal musim berikutnya.) Maka, jika tak ada hal-hal yang terlalu luar biasa, Barcelona akan mempertahankan gelarnya—seperti yang berkali-kali ditulis di kolom ini. Pengganggu-penggangu tradisonalnya, Atleti dan Madrid, sedang punya masalahnya sendiri-sendiri; inkonsistensi untuk tim pertama dan transisi yang acak-adut di tim kedua.
Tapi hanya sampai di situ saja, seperti nasib mereka dalam tiga musim terakhir. Messi memang masih belum lagi turun derajat menjadi manusia biasa, tapi tanpa Iniesta tim ini jelas lebih lemah dari musim sebelumnya. Pemain-pemain baru yang didatangkan di era Valverde tak bisa menambal lobang di belakang Messi. Tim ini jauh dari superior.
Dan Barca yang tidak superior belum akan kembali ke gelar Eropa-nya.
***
Jika tidak melakukan kebodohan seperti saat kalah di kandang dari MU beberapa pekan lalu, Juventus mungkin pada akhirnya akan memenangkan final ke delapnnya di Liga Champions. Tim ini punya segalanya, kecuali—mohon maaf—sejarah.
Tapi Juve bisa pinjam buku sejarah Eropa milik Ronaldo. Toh Ronaldo, di giornata ke-13 Serie A musim pertamanya, sudah menjadi bagian sejarah Juve ketika menjadi pemain Juve yang berhasil mencetak 10 gol tercepat. Dan, boleh jadi, ia akan bikin sejarah lain: menjadi pencetak gol terbanyak di tiga Liga paling top di Eropa. (Dan penulis kolom ini akan menelan kembali kalimat-kalimat ejekan yang pernah dituliskannya.)
Juve, dengan Ronaldo-nya, menjadikan Serie tampak semakin memilukan dari pekan ke pekan. Nyonya Tua tidak sedang ada di gelanggang pacuan. Ia duduk di taman, sendirian. Tak ada yang mengganggu, dan tak bisa diganggu. Hasil imbang dari Genoa di pekan kesembilan hanya kecelakaan. Kemenangan dari SPAL untuk Juve dan hasil imbang dengan tim buncit Chievo bagi Napoli membuat dua pemuncak klasemen dipisahkan delapan poin. Di pekan ke-13!
Inter kembali ke jalur kemenangannya lagi, setelah digasak Atalanta sebelum jeda internasional. Tapi, sungguhkah Inter bisa meramaikan persaingan? Tidak. Inter mungkin bisa menggangu Napoli, tapi tidak Juventus. Sementara Lazio dan Milan, yang bermain imbang 1-1 di Olimpico, hanya akan saling mengunci. Siapa yang beruntung, akan masuk empat besar. Itu jika Parma tak menyatroni mereka.
Dari Jerman, Dortmund akan kembali menjadi tim yang paling menarik diawasi, sejak kepergian Jurgen Klopp pada 2015. Bertumpu pada kebangkitan kembali sang kapten Marco Reus, dan pemain-pemain pinjaman dari Spanyol seperti Paco Alcaser dan Achraf Hakimi, juga Jadon Sancho, remaja Inggris yang boleh jadi akan membuat heboh pasar transfer di musim panas mendatang, Die Borussen tampak akan memenangi gelar Liga kembali. Dan, boleh jadi mereka akan kembali menantang Eropa. Mereka memang hanya unggul empat angka dari Monchengladbach, tapi mereka sangat jauh dari Munchen—yang mereka kalahkan di laga Klassiker dengan cara klasik.
Munchen, dari hasil imbang 3-3 di kandang dengan tim pupuk bawang Fortuna Dusseldorf, menunjukkan bahwa mereka jelas sedang punya persoalan. (Mengingat separuh lebih pemain inti mereka adalah juga pemain nasional, mungkinkah ini persoalan yang sama yang menghinggapi timnas Jerman yang sedang mengalami titik terendahnya itu?) Mereka punya persoalan di depan, tapi terutama di belakang. Di lima besar, mereka menjadi tim terseret dalam memasukkan dan terboros dalam kebobolan. Padahal mereka Munchen.
“Tak ada kata lain selain marah,” kata Niko Kovac, setelah hasil imbang itu. Dan, jelas ia tahu, siapa yang berhak paling marah atas hasil buruk Munchen.