Adalah lumrah Liverpool memimpin klasemen di pembuka musim. Yang tidak lazim, mereka melewati tiga pertandingan pertama musim ini tanpa kebobolan. Ini aneh untuk tim yang musim lalu menjadi tim empat besar dengan rekor pertahanan terburuk. Bagi para pembenci The Reds, yang selalu menunggu kesalahan yang dilakukan oleh Dejan Lovren, atau Ragnar Klavan, atau Joel Matip, atau sang kiper (siapa pun yang dipasang) untuk kemudian mengejeknya (dan memang patut diejek), jelas ada yang ganjil.
Keberadaan Virgil Van Dijk, pemain belakang yang dibeli Januari lalu dengan harga tak masuk akal, 75 juta Pound, adalah penjelasan yang diberikan Jurgen Klopp. “(Untuk kemenangan ini) Virgil sangat penting,” kata Klopp, setelah menang susah payah pada pertandingan kedua dari Crystal Palace. Mencoba merasionalkan harga transfer Van Dijk, tak lupa dia memberi penjelasan tambahan. “Seperti mobil, ada rupa ada harga. Demikian juga pemain.”
Terdengar seperti mengutip Mourinho ketika bicara Pogba? Mungkin. Yang jelas, terdengar sangat Jerman!
Alisson Becker menjadi penjelasan berikutnya. Liverpool melewati musim 2017-18 dengan kesalahan-kesalahan memalukan dari kiper mereka, yang berpuncak pada horor di Kiev. Itu yang membuat mereka melawan siapa pun dan mengeluarkan berapa pun untuk mendapatkan Alisson, kiper AS Roma, yang juga kiper utama Brasil di Piala Dunia Rusia 2018.
Alisson membuat penyelamatan bernilai tiga poin di menit-menit akhir saat ia menggagalkan sundulan jarak dekat Pascal Gross, sehingga Liverpool tetap mempertahankan keunggulan 1-0 atas Brighton, Sabtu malam lalu. Yang tidak lazim, bukan penyelamatan itu yang banyak dibahas, melainkan kenyentrikan Alisson dalam meredam ancaman. Pada menit ke-68, Van Dijk melakukan back-pass yang terlalu pendek ke arah kiper. Sementara striker Brighton Anthony Knockaert berlari menyerbu, Alisson, mencungkil bola, melewati kepala Knockaert, sebelum dengan wajah datar memberikan bola kembali kepada Van Dijk.
“Ia tidak sedang unjuk kebolehan. Ia melakukan (trik itu) di saat yang tepat,” jelas Klopp soal kipernya. Coba diingat, kapan terakhir Klopp membahas kehebatan kiper Liverpool?
Namun, tak ada yang lebih aneh melebihi fakta bahwa Liverpool kini, sejauh ini, bisa menang meskipun bermain buruk. Sebelumnya, setiap bermain buruk, mereka biasanya kalah. Dan itulah yang membuat Klopp masih tanpa gelar di musim keempatnya di Anfield.
Jika kita masih percaya Liverpool adalah band heavy metal berikutnya yang dibentuk Klopp, setelah Dortmund dan Mainz, mungkin kita mesti mulai menyimpulkan: belanja besar di pertengahan musim lalu dan awal musim ini semata bertujuan agar band ini bisa memainkan musik apa pun.
Dan mungkin kita akan mendengar pembelaan yang berbeda dari penggemar Liverpool musim ini, yang sebelumnya hanya mungkin didengar dari penggemar Chelsea atau belakangan penggemar MU: “Yang penting menang!”
Setelah 28 musim, itu pasti terdengar aneh sekali.
***
Para Milanisti tak akan heran melihat timnya main bertahan dan kemudian mencetak gol lewat serangan balik. Itu sudah terjadi berdekade-dekade, sejak The Dream Team-nya Ariggo Sacchi tak pernah bisa dibangkitkan kembali oleh Silvio Berlusconi dan para pemilik AC Milan setelahnya. Dengan cara itu Carlo Ancelotti memberikan dua gelar Liga Champions kepada Rossoneri. Dan dengan cara itu pula, pelatih-pelatih berikutnya mencoba mempertahankan martabat Milan di level Eropa, sampai masa-masa kemediokeran itu kemudian tiba.
Namun, melihat Milan bermain bertahan, sangat dalam, unggul dalam penguasaan bola tetapi nyaris sepanjang pertandingan hanya memainkan bola di belahan lapangannya sendiri, lalu unggul dua gol, bertahan lebih dalam lagi, dan akhirnya kalah, itu sungguh aneh.
Jelas bahwa Napoli dalam beberapa tahun terakhir ini lebih kuat dibanding Milan; Milan tak pernah menang melawan Napoli sejak 2010. Tapi Milan seharusnya tetap Milan, salah satu patriark sepakbola dunia—atau setidaknya pernah begitu. Milan semestinya tak main sebagai tim underdog macam Chievo atau Catania atau Cagliari.
Atau, meskipun akan sulit diakui oleh para pendukungnya, jangan-jangan sekarang Milan memang ada di level itu: sebuah tim yang lebih khawatir menengok ke bawah klasemen dibanding mendongak ke atas. Meskipun lebih karena berkait skandal pengaturan skor, mereka pernah degradasi di musim 1980—degradasi satu-satunya yang pernah mereka alami. Dan tim yang kini jatuh dalam kepemilikan sebuah perusahaan penyedia modal asal Amerika, yang punya julukan mengerikan sebagai perusahaan burung bangkai itu, boleh jadi khawatir akan mengalaminya kembali.
Tapi mungkin itu menjadi cukup lumrah jika kita melihat ke bangku cadangan Milan, tempat Gennaro Gattuso berdiri dengan gelisah, berteriak, dan sesekali menggampari pemainnya.
Milan mencintai Gattuso, tentu saja. Tapi jelas, ia tak dicintai karena skilnya atau kecerdasannya—sebagaimana Zvonimir Boban atau Rui Costa atau Andrea Pirlo atau bahkan Filippo Inzaghi dicintai Milan. (“Pirlo itu Nutella, sementara aku cuma lumpur,” begitu kata si Badak sendiri, suatu kali.) Ia juga tak dipuja karena karismanya, seperti Costacurta atau Kaka, apalagi Baresi atau Maldini. Dan, jelas sekali, ia bukan pelatih yang diimpikan Milan dan Milanisti.
Itulah kenapa, di musim pertamanya melatih, Gatusso dibayar Milan dengan gaji seorang pelatih tim primavera.
Meski begitu, pemandangan lebih aneh—lebih-lebih bagi pendukung Milan—sebenarnya ada di bangku cadangan Napoli. Sebab di sana ada Carlo Ancelotti, orang yang mengangkat piala kuping besar empat kali untuk Milan, baik sebagai pemain maupun sebagai pelatih.
Ancelotti sudah meninggalkan Milan sejak 2009, tapi inilah pertandingan pertama Ancelotti melawan Milan setelah 17 tahun. “Aku bahkan tak perlu bayar tiket,” komentar Ancelotti, selesai pertandingan yang disebutnya indah dan emosional itu.
Aneh, kan? Tapi yang terasa paling aneh, ia mengalahkan Milan setelah tertinggal dua gol.
***
Cristiano Ronaldo pindah ke Turin, dan belum ada tanda-tanda masuknya penyerang baru ke Real Madrid. Robert Lewandowski sepertinya tak akan pergi, sementara Mo Salah sudah memutuskan untuk tidak pindah. Dan Neymar atau Kylian Mbappe tak menunjukkan tanda-tanda. Karim Benzema, striker yang disiuli oleh para Madridista sepanjang musim lalu, kemudian menjadi penyerang utama.
Di pertandingan kedua musim ini, jumlah gol Benzema sudah menyamai jumlah gol yang dicetaknya dalam setengah musim di tahun lalu. Aneh? Tidak, jika kita melihat kembali ke belakang, kenapa Benzema dibeli Madrid 35 juta Euro dari Lyon di usianya ke-21, sembilan musim lalu.
Di Juventus Stadium, di depan kursi yang penuh sesak, di pertandingan keduanya di Serie A, Ronaldo mencetak asis pertamanya—sebuah bola liar yang gagal dimasukkannya ke gawang kosong.
Ganjil? Sama sekali tidak, jika kalian cukup mengenal Liga Italia, dan sedikit paham soal betapa sulitnya menjadi striker di sana.