Di tengah sesak napas perjuangan tenaga kesehatan menangani pasien yang terkena Covid-19, kita dihebohkan oleh sebuah kabar baik donasi yang diberikan oleh keluarga almarhum Akidi Tio. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, Rp. 2 triliun. Sebagaimana diberitakan di banyak media arus utama dan media sosial beberapa hari lalu, Pemprov Sumatera Selatan mendapat bantuan dana hibah sebesar Rp2 triliun untuk penanggulangan Covid-19 dari keluarga almarhum Akidi Tio, seorang pengusaha asal Aceh yang bergerak di dunia kontraktor, kontainer, dan besi. Sayangnya, berita bagus ini harus berhadapan dengan fakta bahwa donasi raksasa ini ternyata bodong dan diduga berbau penipuan.
Di tengah misteri di balik sosok Akidi Tio dan kekecewaan sejumlah pihak atas kasus ini, bangsa ini membutuhkan semangat volunterisme dari segenap masyarakat, terutama dari mereka yang dianggap sebagai orang-orang kaya, miliuner, crazy rich atau taipan di negeri ini. Volunterisme adalah tindakan pengabdian atau pemberian bantuan secara sukarela, bukan karena aturan yang mengharuskan seseorang atau perusahaan untuk berbagi setelah selama ini menikmati berbagai kentungan atau fasilitas. Di level perusahaan, salah aksi berbagai karena memang diharuskan undang-undang adalah CSR (corporate social responsibility).
Syukurnya, kita menyaksikan di Tanah Air bahwa volunterisme (kesukarelawanan) tidak selalu berkaitan dengan kemapanan finansial. Tidak ada bukti yang kuat adanya relasi antara kesukarelawanan dan kemapanan material. Semangat suka rela berangkat dari keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan melahirkan sesuatu yang berbeda dan penghargaan. Faktor kebermaknaan ini, meskipun bukan alasan eksplisit untuk menjadi sukarelawan, menunjukkan bahwa kebutuhan timbal balik (resiprokal) menjadi penting bagi seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan psikologis pasca perolehan materi. Material gain is tantamount to psychological containment!
Stabilitas emosi bisa terjaga sebab aksi-aksi voluntir membuat siapa pun yang terlibat di dalamnya lebih kuat dalam mengatasi kisah sedih yang mereka dengar setiap hari di media. Orang-orang menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan sebagai antisipasi bahwa mereka juga membutuhkan bantuan di masa depan jika mereka terkena virus. Rasa solidaritas dapat dibangun lewat bergabung dengan orang lain dalam bekerja menuju tujuan bersama.
Dalam krisis saat ini, menjadi sukarelawan fungsional menghibur dan membantu orang mengatasi perasaan tidak berdaya (terpisah dari orang yang dicintai karena mengalami isolasi dan menyaksikan laporan tentang kerusakan infrastruktur dalam menangani Covid-19– perawatan kesehatan, pemerintah, persediaan makanan). Seseorang yang terhubung dengan suatu tujuan dapat menjadi pendorong utama, di samping sebagai katarsis emosional lebih-lebih ketika punya pengalaman terdampak secara pribadi. Ia akan menemukan pelipur lara dari berkolaborasi dengan orang lain menuju tujuan yang sama.
Keberadaan sukarelawan ini amat sangat dibutuhkan terutama di kawasan luar Jawa dan Bali yang terkendala secara infrastruktur, peralatan kesehatan dan sumber daya manusia. Di Papua, seorang pejabat dinas kesehatan provinsi mengatakan rumah sakit dibebani dengan kapasitas yang penuh, memaksa petugas kesehatan untuk merawat pasien di tenda-tenda. Di Lampung dan Kaltim tingkat hunian tempat tidur (bed occupancy rate) melonjak di atas 85 persen, sementara di beberapa daerah di NTT angkanya mendekati 90 persen di tengah lonjakan kasus Covid-19.
Bahkan sebelum pandemi, disparitas antara Jawa-Bali dan seluruh Nusantara di bidang kesehatan sudah menjadi perhatian. Di Jakarta terdapat 170 dokter untuk setiap 100.000 penduduk, yang merupakan 17 kali rasio di Sulawesi Barat. Banyak yang mengaitkan kepincangan ini dengan fakta bahwa sebagian besar fakultas kedokteran berlokasi di Jawa.
Sebagai bagian dari modal sosial, kesukarelawanan dapat meningkatkan kesejahteraan, khususnya di antara mereka yang memiliki koneksi sosial. Dengan memperluas jaringan melalui kegiatan sukarela, seseorang dapat merasa menjadi bagian dari komunitas yang meningkatkan modal sosialnya, misalnya sumber daya atau kontak yang dapat dihubungi untuk meminta bantuan. Membangun ikatan sosial menghasilkan kepercayaan dan mendorong orang untuk merasa lebih aman. Sebaliknya, ikatan atau koneksi sosial juga dapat memfasilitasi kegiatan sukarela, sehingga mereka yang memiliki jaringan sosial yang sudah ada atau berkembang dengan baik menjadi lebih terbuka dan berpeluang menjadi sukarelawan. Karenanya, aksi volunterisme dan ikatan sosial memiliki hubungan timbal balik satu sama lain.
Keterlibatan warga dalam volunterisme dalam penanganan Covid-19 ini sejatinya diikat dengan panggilan jiwa yang sama; pentingnya kebermaknaan atau kebernilaian (mattering). Piliavin dan Siegl (2007) membedakan antara kesejahteraan hedonis (kebahagiaan dan kepuasan dari perasaan baik tentang situasi seseorang, yang mungkin datang dari berbagai bidang kehidupan, termasuk bersosialisasi dengan teman dan hobi) dan kesejahteraan eudaimonia (merasa baik tentang diri sendiri dengan melayani orang lain).
Ada berbagai kegiatan yang membuat seseorang merasa baik, tetapi menjadi sukarelawan memungkinkan seseorang untuk merasa baik tentang diri sendiri. Hal ini berkaitan dengan gagasan kebermaknaan atau kebernilaian (mattering), sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan dihargai dan mampu menambah nilai. Ia mengacu pada persepsi bahwa kita memiliki peran di dunia, di mana kita merasa diperhatikan dan dihargai, dan memberi nilai kepada orang lain. Ini telah dikaitkan dengan harga diri yang lebih baik, penerimaan diri, dan lebih sedikit depresi. Apa yang dilakukan oleh keluarga besar Akidi Tio atau Nurhayati Subakat sebagai produsen Wardah beberapa waktu lalu guna membantu mengatasi pandemi Covid-19 tak bisa dilepaskan dari aspek kebermaknaan atau kebernilaian ini.
Respons publik yang mengesankan selama pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa ada kelompok masyarakat yang relatif besar, berpotensi tapi belum dimanfaatkan sebagai gerakan sukarelawan yang bisa direkrut mendukung mengatasi Covid-19—mengangkut peralatan medis, mengantarkan obat-obatan kepada orang-orang yang membutuhkan, mengantar pasien ke dokter, atau membuat panggilan telepon ke mereka yang menjadi isolasi di rumah. Kita perlu memanfaatkan antusiasme nasional saat ini untuk menjadi sukarelawan, karena negara ini harus menghadapi dampak sosial dan ekonomi dari Covid-19.