Jumat, April 26, 2024

Ustadz Abdul Somad dan The Whirling Dervish

Masduki Baidlowi
Masduki Baidlowi
Ketua MUI, Wakil Sekjen PBNU.

Jika menyaksikan Ustadz Abdul Somad (UAS) berpidato, saya teringat pada Almarhum KH. Zainuddin MZ. Laksana aktor panggung, ia menyihir ribuan pendengarnya. Terkadang UAS membuat sentilan kocak sehingga penonton terbahak-bahak.

Tetapi dalam narasi selanjutnya penonton dibuat tersedu dan sedih, karena pidatonya berkisah tentang ajaran agama yang berkait dengan siksa kelak di akhirat. Sepeninggal KH Zainudin MZ, baru kali ini saya menemukan seorang mubalig atau dai yang lengkap.

Dari materi-materi tabligh atau pidatonya, sangat terlihat UAS memiliki kedalaman ilmu agama atau layak disebut alim (tafaqquh fiddiin). Terutama untuk basis keagamaan ahlussunnah wal jamaah, seperti yang dianut Nahdlatul Ulama (NU) dan mayoritas umat Islam di Indonesia.

Kedalaman ilmu agama UAS bisa dipahami dari latar belakang pendidikannya. Ia memulai pendidikan keagamaan sebagai santri di pesantren di kampung halamannya, Riau. Lalu melanjutkan studi sarjana di Mesir dan magister di Maroko.

UAS juga cakap menyelipkan humor-humor jenaka yang segar tanpa mengesampingkan substansi tablignya. Itu menunjukkan bahwa ia seorang yang kreatif karena membuat humor yang jenaka dan segar bukan hal mudah.

Cara bertuturnya pun runut, jelas, lembut dan nyaman di telinga pendengarnya karena ia mempunyai kekuatan diksi. Sebagaimana khas budaya lisan tempat asalnya dan masyarakat Melayu pada umumnya yang pandai bersyair.

Kelebihan lainnya, UAS telah berdakwah dengan cara modern. Tidak sebatas dari satu forum pengajian ke forum pengajian lainnya, tapi ia menggunakan internet dan media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, dan Twitter. Ini dapat dilakukan karena UAS mempunyai tim khusus diseminasi media sosial.

Dari 265 juta penduduk Indonesia, saat ini lebih kurang 150 juta orang Indonesia berinternet, 90 persen di antaranya menggunakan smartphone untuk bermedia sosial. Maka, wajar bila dakwah UAS mendapat perhatian sangat luas melebihi dai-dai lain, baik di kalangan orang tua yang disebut baby boomers maupun kalangan anak kekinian atau milenial.

Peran UAS atau dai lain dalam menyampaikan kebenaran di media sosial saat ini sangat penting, mengingat kita hidup di tengah pabrikasi dan penyebaran hoaks secara sistemik oleh cyber army. Ini tak terhindarkan karena sistem politik demokrasi meniscayakan persaingan dua belah pihak yang mau tak mau menggunakan media sosial sebagai salah satu alat untuk melemahkan lawan. Konten hoaks adalah senjata dalam media sosial untuk mematikan lawan dalam persaingan tersebut.

Ketika sepuluh kebenaran disampaikan, di saat bersamaan akan dibalas dengan ratusan hoaks dan begitu terus berlaku kelipatannya. Akibatnya, pembaca media sosial tidak bisa lagi membedakan mana kebenaran dan mana berita hoaks. Akibat berikutnya, setiap ada kabar kebenaran yang disampaikan dalam bentuk berita misalnya, tidak mendapatkan kepercayaan dari publik lagi karena di saat bersamaan ada ribuan hoaks bermunculan.

Inilah yang biasa disebut sebagai era post-truth alias pascakebenaran. Era di mana hal yang obyektif (kebenaran) kalah bersaing dengan keyakinan—walau keyakinan tadi dibangun berdasarkan asumsi-asumsi dan kebohongan. Tidak jarang, bangunan kebohongan itu memakai baju agama dan politik. Inilah yang banyak menyesatkan masyarakat.

Di era post-truth seperti itu, Ustadz Abdul Somad bisa menjadi sosok penting dari sedikit tokoh yang menyampaikan kebenaran dan dipercaya di tengah banjirnya berita bohong (hoaks). Terutama, terkait pesan profetik keagamaan dan pesan moral guna menghindarkan umat Islam dari serangan hoaks. Apalagi selama ini ada sekelompok kecil dari umat Islam Indonesia yang mempunyai paham keagamaan menyempal. Kelompok ini tidak setuju dengan paham kebangsaan, dan sengaja melakukan gerakan untuk menggugat keutuhan NKRI dengan memakai baju agama.

Logika yang dibangun sederhana: apakah mau ikut sistem khilafah yang islami atau NKRI yang tagut? Logika awam akan mudah mengatakan: mendingan cari selamat ikut sistem pemerintahan khilafah yang islami. Dalam logika awam, tak ada lagi diskusi misalnya bahwa ber-NKRI itu bisa lebih islami.

Dengan agenda yang disembunyikan, mereka mendekati tokoh-tokoh berpengaruh seperti UAS dan lain-lain. Harapan mereka UAS bisa diajak serta dalam gerakan dan mempertentangkan antara agama dan paham kebangsaan untuk kemudian membangun sistem pemerintahan alternatif model khilafah tadi. Dengan memanfaatkan popularitas UAS, diharapkan umat Islam akan mudah terpedaya oleh konsep negara Islam dengan paham khilafah tersebut.

Tetapi, rupanya UAS sangat sadar bahwa posisinya dimanfaatkan sedemikian rupa oleh kelompok gerakan sempalan itu. Akhirnya ia pun membuat langkah: sowan sekaligus baiat Tarekat Qadiriah kepada Habib Luthfi bin Yahya, di Pekalongan. Tak hanya itu, langkahnya dilanjutkan sowan ke Kiai Maimun Zubair di Rembang. Dan akhirnya, perjalanan UAS dipungkasi dengan silaturrahim ke KH Salahuddin Wahid di Tebuireng, Jombang.

Langkah “The Wirling Dervish” (santri keliling) ini bisa dimaknai satu hal: Ustadz Abdul Somad ingin meneguhkan posisinya sebagai mubalig berhaluan ahlussunnah wal jamaah yang moderat dan berkomitmen menjaga NKRI. Dengan kata lain, ia ingin menegaskan bahwa dirinya jangan dikait-kaitkan lagi dengan gerakan Islam sempalan yang ingin mengganti NKRI dengan negara berbaju agama.

Untuk itu, ia sengaja mendatangi para ulama yang memiliki komitmen kuat menjaga harmonisme kehidupan berbangsa dan bernegara demi tegaknya NKRI. Itulah kiranya arti simbolik dari perjalanan keliling UAS mengunjungi para tokoh besar Nahdlatul Ulama.

Masduki Baidlowi
Masduki Baidlowi
Ketua MUI, Wakil Sekjen PBNU.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.