Sabtu, April 27, 2024

Urgensi Desentralisasi Partai Politik

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
golkar-baru
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Foto: ANTARA)

Tak ada yang bisa menggaransi sejauh ini kalau demokrasi internal partai politik di tingkat lokal atau kepengurusan di daerah akan memperoleh kemandiriannya. Sebab, tidak hanya aturan hukum yang menciptakan kondisi demokrasi internal partai politik menjadi sangat sentralistik, akan tetapi kultur dan sistem di internal partai ikut berperan secara disengaja maupun tidak disengaja mempertahankan kondisi tersebut.

Partai politik di Indonesia telah lama menjadi lumbung demokrasi untuk menggerakkan kehidupan politik bangsa dan negara. Khususnya setelah reformasi berjalan ketika sistem demokrasi langsung dan multipartai diterapkan serta terus disempurnakan. Sayangnya, proses demokratisasi tidak berjalan baik di tubuh partai politik itu sendiri. Partai politik cenderung menjadi antitesis atas demokrasi pada politik pemerintahan.

Tidak bisa dipungkiri kalau partai politik di Indonesia masih bergantung pada sosok-sosok tertentu. Tidak hanya itu, hampir semua keputusan strategis partai dikendalikan oleh orang-orang yang berada di lingkaran elite partai politik. Hal tersebut dapat dilihat hampir di seluruh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai-partai politik, khususnya dalam penentuan kandidat seperti pemilihan kepala daerah.

Kondisi partai politik yang demikian tentu tidak berbanding lurus dengan penguatan demokrasi di tingkat lokal atau daerah. Persisnya sejak tahun 2005 hingga saat ini ketika pemilihan kepala daerah secara langsung dipilih oleh rakyat. Akan tetapi kemandirian partai politik di daerah untuk menentukan siapa calon kepala daerah yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah tidak sepenuhnya otonom. Tidak hanya di AD/ART partai, UU Pilkada pun ikut memperkuat ketidak-otonoman partai politik di daerah.

Jika dicermati, UU Pilkada tiga edisi terakhir, pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang akan diusung oleh partai atau gabungan partai politik harus mendapatkan tanda tangan dari ketua umum pengurus pusat partai politik. Aturan inilah yang kemudian secara tidak langsung mengikat pengurus partai di tingkat lokal dan tidak dapat secara otonom menentukan siapa calon kepala dan wakil kelapa daerah.

Dapat dikatakan aturan tersebut tidak tersentuh dalam dua kali proses revisi UU Pilkada (UU No. 8/2015 dan UU No. 10/2016). Aturan yang demikian tentu akan semakin mempertahankan praktik yang sentralistik klientelistik dan oligarkis di tubuh partai politik. Sebab, mereka yang maju dalam gelanggang pertarungan pilkada seringkali adalah orang-orang yang dekat dan dikenal oleh pengurus pusat partai politik. Bukan orang-orang yang dimajukan berdasarkan pertimbangan keinginan publik.

Sudah menjadi rahasia umum kalau praktik penentuan kandidat dalam pilkada juga harus disertai dengan sejumlah mahar. Meski banyak partai yang membantah adanya praktik tersebut, publik telah telanjur percaya bahwa “”tak ada makan siang gratis” dalam politik”. Ada harga yang harus dibayarkan untuk setiap keputusan politik oleh pihak yang akan diuntungkan dari keputusan politik tersebut.

Ketidak-otonoman partai politik di daerah karena terikat aturan berimbas pada terjebaknya pengurus partai politik di tingkat daerah ke dalam konflik internal partai di tingkat pusat. Kepengurusan partai di tingkat daerah ikut terbelah seiring terbelahnya kepengurusan partai di tingkat pusat. Dengan kondisi demikian, tensi konflik internal partai politik di pusat maupun di daerah akan semakin meningkat seiring masuknya agenda pilkada.

Sebab, partai-partai yang terjebak dalam konflik sama-sama akan menggunakan kekuasaannya untuk mengusung calok kepala dan wakil kepala daerah. Berkaca dari pengalaman pilkada serentak tahun 2015 lalu, meski Komisi Pemiihan Umum (KPU) hanya menerima pencalonan kepala dan wakil kepala daerah yang diusung oleh partai politik yang di-SK-kan oleh Kementerian Hukum dan HAM, peraturan KPU tersebut tidak dapat dengan mudah dilaksanakan. Karena pengurusan partai di daerah yang terbelah berebut untuk mencalonkan kandidatnya dalam pilkada.

Untuk mewujudkan sebuah kepengurusan partai dengan kewenangan yang desentralistik atau menciptakan sebuah demokrasi di tingkat lokal pada partai politik, tidak dapat hanya dilakukan dengan pendekatan institusional melalui perubahan aturan hukum. Akan tetapi, sangat dibutuhkan sebuah pendekatan komprehensif untuk dapat menghentikan buruknya praktik demokrasi internal partai yang sangat sentralistik, klientelistik serta oligarkis.

Tantangan pertama adalah kesiapan dan kerelaan partai poltik sendiri untuk membangun sebuah sistem dan kultur yang demokratis di internalnya. Hal ini tentu tidak mudah, sebab kontrol terpusat partai sering diasumsikan berbanding lurus dengan upaya menjaga arah ideologi dan kebijakan partai yang sesuai dengan visi dan misi partai. Selain itu, sistem dan kultur yang terpusat dapat juga dipandang sebagai lemahnya sumber daya manusia yang dimiliki partai dalam setiap tingkat di daerah.

Kedua adalah tantangan yang tidak dapat dihindari, yaitu survei. Survei hari ini merupakan primadona bagi dunia politik, khususnya mendekati hari pemilu. Ketidak-otonoman partai politik di daerah semakin tersudutkan oleh praktik survei. Sebab, bagaimanapun pengurus partai di dearah mengklaim lebih tahu tentang peta politik dan bursa calon dalam pilkada, pengurus pusat partai dapat mengujinya dengan survei.

Argumentasi politik pengurus partai di tingkat daerah bisa dibantah dengan memunculkan data survei yang prosesnya telah dilakukan sesuai kaidah akademis yang benar. Selama ini survei memang telah banyak membantu kehidupan berdemokrasi. Namun, di sisi lain, survei juga menjadi bumerang bagi keotonoman partai politik di daerah.

Tantangan ketiga adalah kemandirian partai di tingkat daerah dari sisi finansial. Kemandirian dari sisi finansial biasanya paling menentukan bagaimana partai di daerah berpartisipasi dalam pilkada. Faktor finansial bukan yang paling utama untuk menghadapi sebuah perhelatan pilkada bagi partai politik, akan tetapi kebutuhannya tidak dapat dipungkiri. Artinya, membangun sebuah kemandirian dari sisi finansial partai di daerah sangat mutlak dibutuhkan.

Tiga tantangan tersebut harus dapat terjawab jika ingin mewujudkan sebuah demokrasi di internal partai politik. Khususnya terkait upaya membangun desentralisasi kewenangan partai politik dalam menentukan proses kandidasi dalam pilkada. Dengan melihat partai sebagai organisasi badan hukum publik yang merupakan salah satu instrumen demokrasi, partai politik semestinya sudah memulai mendemokratiskan internalnya jika tidak diingin ditinggalkan oleh masyarakat serta memiliki cita-cita memperbaiki demokrasi Indonesia.

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.