Membaca berita-berita media online arus utama belakangan ini, saya kok semakin miris, ya, kasus kekerasan seksual semakin “mengotori” kehidupan sosial kita.
Sebenarnya saya tidak tega, bahkan malu memberikan contoh kasus yang diberitakan media-media tersebut, menyangkut pelecehan dan kekerasan seksual.
Namun, dalam rangka membuka hati dan pikiran kita, apa boleh buat saya terpaksa memberikan contoh kasus-kasus kekerasan seksual yang belakangan ini diberitakan media.
Ini contohnya. Pertama, seorang dukun cabul dari Bondowoso, Jawa Timur, dilaporkan ke polisi akibat perbuatan tidak senonoh yang dilakukan kepada pasien dengan alasan penyembuhan penyakit asam lambung.
Berdasarkan keterangan korban, pelaku memasukkan sebutir telur ke kemaluannya. Selanjutnya pelaku meminta korban mengeluarkan telur itu dengan bantuannya (Soloposdotcom 29/7/2020).
Kedua, pria warga Prajekan, Bondowoso diamankan karena memerkosa gadis di bawah umur yang tidak lain adalah pacarnya (detikdotcom 23/7/2020).
Ketiga, seorang wanita di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan diperkosa secara bergiliran oleh empat pria. Korban yang sudah tidak berdaya dibiarkan terkapar di halaman rumah sejak malam hingga pagi (detikdotcom 6/8/2020).
Keempat, seorang remaja asal Bengkulu ditetapkan sebagai tersangka karena memerkosa kekasihnya yang masih di bawah umur. Sang pemerkosa juga menjadi korban penganiayaan paman kekasihnya yang tidak terima keponakannya diperkosa dengan cara memotong kemaluan pemerkosa (kompasdotcom 19/3/2020).
Kelima, seorang pria ditangkap anggota Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease karena diduga menganiaya dan memerkosa pacarnya hingga tewas (kompasdotcom 22/6/2020).
Keenam, seorang perempuan di Sumba dibawa secara paksa oleh sekelompok pria dalam sebuah praktik yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan ‘kawin tangkap’ atau penculikan untuk perkawinan (kompasdotcom 9/7/2020).
Kasus yang kini ramai dibicarakan adalah kekerasan seksual dalam bentuk berbeda yang dilakukan secara virtual oleh seorang pria berdalih penelitian terkait swinger (berganti pasangan).
Tak bisa dimungkiri, kasus pelecehan dan kekerasan seksual berdasarkan catatan Komnas Perempuan setiap saat terus meningkat. Dalam kurun tak sampai lima tahun, tingkat kenaikan kasus aksi tak senonoh ini hingga ratusan persen.
Itulah mengapa Wakil Ketua MPR dari Partai NasDem, Lestari Moerdijat, merasa perlu dan penting mengadakan diskusi secara virtual dan mengusung tema itu (dikaitkan dengan mangkraknya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual/PKS) lebih dari satu kali di rumah dinasnya di Jl Denpasar 12, Jakarta.
Saya kemarin (Rabu 5/8) kembali mengikuti diskusi secara virtual tersebut. Dari forum itu, lagi-lagi saya selalu menemukan informasi baru (setidaknya menurut sepengetahuan saya) terkait dengan kasus kekerasan sesksual.
Mewakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susyanawati, Pelaksana Harian Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, mengungkapkan hasil survei yang dilakukan Kementerian PPPA.
Jangan kaget! Ratna mengungkapkan, 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Tidak cuma itu! Satu dari 17 anak laki-laki juga pernah mengalami kekerasan seksual; dan 1 dari 11 anak perempuan jadi korban kekerasan seksual.
Apa yang saya tulis di dalam artikel ini merupakan “rekaman” dari apa yang disampaikan para pembicara dalam Diskusi Denpasar 12 yang kebetulan mengangkat tema “Kekerasan Seksual Sebagai Tindak Pidana.”
Dilatarbelakangi fakta-fakta itulah, Kementerian PPPA, menurut Ratna, akan mengawal mulai dari hulu sampai hilir RUU PKS yang nasibnya sampai saat ini masih terkatung-katung.
Para peserta diskusi sepakat bahwa kekerasan seksual layak dimasukkan ke dalam tindak pidana. “Semoga RUU PKS bisa menjadi terobosan hukum baru terhadap kasus kekerasan seksual, utamanya terhadap perempuan dan anak,” kata Ratna.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, menegaskan bahwa perangkat hukum yang sekarang ini ada, belum memberikan perlindungan kepada para korban. Perangkat hukum yang ada selama ini belum membuat para pelaku jera.
Karena itu, menurut Rerie — panggilan akrab Lestari Moerdijat — lewat RUU PKS, kekerasan seksual harus dipidanakan. Lewat UU itu nantinya, negara diharapkan hadir memberikan perlindungan kepada warga negaranya.
Martabat Kemanusiaan
Lebih spesifik, Nini Rahayu, Komisioner Ombudsman, mengingatkan bahwa negara adalah menjaga martabat kemanusiaan. Ini sesungguhnya adalah perintah konstitusional. Tidak bisa ditolak atau dilarang, sebab kekerasan seksual adalah tindakan merendahkan martabat kemanusiaan.
Boleh jadi, apa yang disampaikan Nini berikut ini bakal memunculkan pro dan kontra. Dalam diskusi yang diikuti 90 peserta itu, Nini juga melihat dari sisi pelaku. Karena pelaku tak bermartabat, maka ia juga harus dipulihkan agar ke depan ia bisa menjadi manusia yang bermartabat. Caranya, ya pidanakan pelaku. Penjarakan mereka.
Konkretnya, pelaku harus diberikan sanksi agar jera, dikembalikan kemuliaannya sebagai manusia.
Mengapa kasus kekerasan seksual berulang-ulang? Ya, itu tadi, hukum selama ini memang permisif terhadap kasus-kasus seperti ini dengan beragam variannya.
Aparat penegak hukum sendiri tampaknya tak berdaya manaka menghadapi kasus seperti ini. Sebagaimana diungkapkan Era Purnama Sari, Wakil Ketua YLBHI, dalam kasus perkosaan misalnya, polisi umumnya tidak menindaklanjuti kasus yang dilaporkan apabila “perkosaan” dilakukan berulang-ulang.
Lho, kok begitu? Ya, sebab polisi menganggap jika kasus (maaf) hubungan suami istri (meski dengan kekerasaan) jika dilakukan berkali-kali, bukan perkosaan, melainkan suka sama suka.
Dihadapkan pada kenyataan seperti itu, Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak, mempertegas bahwa hukum dan kelak UU PKS harus jelas orientasinya untuk kepentingan siapa? RUU PKS harus berorientasi pada kepentingan korban yang sudah menderita lahir dan batin. Jangan sampai korban menderita lahir dan batin dua kali lipat.
Dari pandangan filosofi hukum, pakar hukum tata negara, Atang Irawan, mengingatkan bahwa saat negara dibentuk, tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada setiap warga negara, siapa pun dia.
Kalau dalam kasus kekerasan seksual — dikaitkan dengan RUU PKS — negara seolah tidak peduli melindungi warga negaranya, maka ada pertanyaan besar, ada apa dengan negara kita?
RUU PKS yang kini dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas DPR, seperti disinggung Atang, adalah masalah kita bersama. Kepentingan kita bersama. Kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan yang kini masif, terstruktur dan masif. Ini bukan lagi ranah pribadi. Negara wajib hadir.
Sayangnya, seperti diungkap wartawan senior, Saur Hutabarat, dalam proses pembahasan RUU PKS, negara tidak berani mengambil posisi atau sikap di tengah-tengah opini pro dan kontra.
Kalau negara kalah terhadap yang kontra RUU PKS, maka ini jelas keterlaluan. Pasalnya, menurut Saur, proses pembahasan dan lahirnya RUU ini tidak berkait dengan rivalitas politik. Ini hanya demi kepentingan melindungi warga negara. Jadi tidak ada secuil pun alasan untuk tidak menyetujui RUU ini. Sayang kalau negara takhluk kepada mereka yang menolak RUU tersebut.
Astaga! Iseng seusai menulis artikel ini, saya membuka situs berita terkenal, ada berita dua pria di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, ditangkap polisi setelah memerkosa wanita muda (19 tahun).
Salah seorang pelaku mengaku menyesal telah memerkosa gadis itu sembari membawa istrinya. Aneh bin ajaib. Masih tega memetieskan RUU PKS?